Hindari “Cukong” Pilkada !

Pilkada serentak 2017, makin gaduh, walau sudah memasuki masa tenang. Banyak “tim siluman,” super aktif bergerak bagai sisi under-cover pilkada. Berdasar UU baru (perubahan ketiga UU tentang Pilkada), terasa memberi peluang terjadinya money politics. Terutama kehadiran “cukong” untuk membiayai pasangan calon. Toleransi sumbangan pihak ketiga dinaikkan nominalnya, sampai Rp 750 juta. Ini plafon sumbangan terbesar di seluruh dunia.
Plafon sumbangan pilkada melebihi toleransi sumbangan di Eropa maupun di Amerika. Lebih lagi jika dibanding dengan pendapatan perkapita (berdasar PDRB, Produk Dosmestik Regional Bruto). Income per-kapita di Amerika Serikat sudah lebih dari Rp 400 juta per-tahun. Sedangkan di Indonesia, masih dibawah Rp 40 juta. Menilik tingkat PDRB, seharusnya sumbangan pihak ketiga untuk pilkada tidak lebih dari Rp 1,3 juta (badan hukum), dan Rp 75 ribu (per-orangan).
Sumbangan pihak ketiga, sangat mempengaruhi pundi-pundi dana kampanye. Dana besar kampanye akan digunakan untuk “membeli suara” masyarakat. Banyak cara membeli suara, diantaranya yang populer, adalah “serangan fajar.” Yakni, uang diberikan kepada pemilik hak suara pada saat menjelang coblosan. Biasanya sehari (H-1) sebelum pemilih menuju TPS. Sehingga pilkada di Indonesia akan berarti “pertarungan uang.”
Politik uang, bukan sekadar bisik-bisik. Melainkan meng-gejala sejak pilkada langsung pertama (tahun 2010). Juga selalu menjadi fakta hukum pada persidangan di MK (Mahkamah Konstitusi). Sampai pilkada serentak tahun 2015 lalu, seluruh sengketa pilkada di MK selalu bermuara pada politik uang. Sebagian memiliki bukti otentik. Namun sebagian terbesar “tersumbat” di tingkat panitia pengawas tingkat kecamatan, tidak dilanjutkan sebagai pelanggaran.
Politik uang, sebenarnya merupakan fenomena gunung es, penyakit politik (demokrasi) endemik. Ironisnya, seolah-olah “difasilitasi” secara sistemik oleh perundang-undangan. Menjadi permisif, dan di-paradigma-kan sebagai kelaziman. Bahkan seolah-olah dianggap kewajiban. Beberapa peraturan dalam UU Pilkada, dijadikan arena permainan politik uang. Walau di dalam UU Pilkada, terdapat pula larangan memberi dan menerima uang.
Politik uang, berhulu pada persyaratan menjadi pasangan calon. Yakni, UU Nomor 8 tahun 2015 (sebagai revisi UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Pilkada) pasal 39 dan dirinci pada pasal 40 ayat (1). Mendaftar melalui parpol maupun pengumpulan KTP (calon independen), harus mengeluarkan biaya besar, sebagai “mahar.” Diantaranya persyaratan 25% suara parpol atau 20% jumlah kursi di DPRD. Persyaratan itulah yang dijadikan kalkulator menghitung “harga” dukungan parpol.
Tidak mudah memenuhi persyaratan 25% total suara parpol di daerah. Karena itu diperlukan koalisi beberapa parpol. Setiap persentase memiliki “nilai jual,” tak terkecuali parpol gurem yang kurang dari 1%. Konon perhitungannya setiap 1% suara dihargai Rp 1 milyar. Yang 0,2% memperoleh Rp Rp 200 juta. Sedangkan parpol dengan kekuatan 2% bisa meraih Rp 2 milyar. Perhitungan ini sulit dibuktikan secara material.
Tetapi setiap pasangan calon pasti mengalami “ditodong” pimpinan parpol (yang beraltar agama sekalipun). Padahal, dalam UU Pilkada terdapat larangan khusus terhadap parpol menerima imbalan. UU Pilkada pasal 47 ayat (1), menyatakan “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.”
Benarkah, parpol bisa bebas dari politik uang pada saat me-rekom bakal pasangan calon? Seperti pepatah joke, “no lunch free,” tidak ada makan siang gratis (dalam rekrutmen politik)?! Sudah ratusan mantan Kepala Daerah masuk penjara. Karena mengutil dana APBD untuk membayar hutang pada cukong, juga dana bansos yang diselewengkan.

                                                                                                        ——— 000 ———

Rate this article!
Tags: