Hingga Penghujung Tahun, Kasus Kekerasan Seksual di Jombang Naik

Direktur Women Crisis Centre (WCC), Palupi Pusporini saat memberikan pemaparan, Kamis siang (27/12).  [Arif Yulianto/ Bhirawa]

Jombang, Bhirawa
Hingga penghujung tahun 2018 ini, angka kekerasan seksual dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengalami kenaikan. Pada tahun 2017 di Jombang, terjadi 62 kasus terdiri dari 43 kasus kekerasan seksual dan 19 kasus KDRT. Sementara pada tahun 2018 ini, terjadi 80 kasus terdiri dari 52 kasus kekerasan seksual, dan 28 kasus KDRT di Jombang. Data tersebut bersumber data yang dirilis oleh Women Crisis Centre (WCC) Jombang pada Kamis (27/12). Data itu merupakan hasil pendampingan mereka selama satu tahun ini.
“Selama satu tahun terakhir ini, dari pantauan data kasus yang dihimpun oleh WCC, tercatat ada 80 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi. Ini ada peningkatan sekitar 20-an kasus dari tahun 2017,” ujar Direktur WCC Jombang, Palupi Pusporini kepada sejumlah wartawan.
Dengan naiknya angka kekerasan terhadap perempuan menjadikan sebuah keprihatinan bagi WCC Jombang dan masyarakat sipil lainnya ketika angka kekerasan terhadap perempuan yang tinggi tiap tahunnya. Ditanya lebih lanjut apa faktor terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan di Jombang, Palupi menjelaskan, hal itu dipengaruhi adanya faktor relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.
“Di mana adanya budaya patriarkis salah satunya di mana laki-laki masih menganggap perempuan makhluk nomor sekian, sehingga mudah diintimidasi, mudah dipengaruhi, dan ini terbukti dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak, terutama anak remaja SMP hingga SMU, di mana salah satu modus yang terjadi adanya ancaman pelaku kepada korban, karena usia korban lebih muda dari pelaku,” paparnya.
Saat ini lanjut Palupi, pihaknya bersama jaringan gerakan perempuan di level nasional ingin mendorong segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual agar dapat mengakomodir kebututuhan perempuan korban kekerasan seksual mulai dari pencegahan hingga pemulihan perempuan korban kekerasan seksual itu sendiri.
Sementara kata dia, latar belakang faktor ekonomi sebagai penyumbang kasus kekerasan terhadap perempuan tercacat di lembaganya, tidak terlalu signifikan menjadi penyebab.
“Tidak banyak, sekitar 20 persen dari 100 persen latar belakang adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Yang banyak terjadi adalah penelantaran sehingga korban ditinggal, ternyata tercacat, si pelaku menikah lagi,” pungkasnya.(rif)

Tags: