HMI dan Nasionalisme Pemuda Kontemporer

(Refleksi Milad HMI ke 72 Februari 2019)

Oleh :
Umar Sholahudin
Mantan Ketua PTKP HMI Komisariat FISIP Unair (1997-1998), Mahasiswa S-3 FISIP Unair Surabaya.

Tanggal 5 Februari 1947 merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perjalanan organisasi mahasiswa Islam di Indonesia. Persitiwa tersebut menjadi salah satu embrio paling penting dalam sejarah lahirnya Mahasiswa Islam Indonesia (HMI). Organsasi yang memiliki komitmen gerakan keindonesiaan dan keummatan. Indonesia. Organisasi ini lahir melalui proses dialektika pemkiran yang terus berinetraksi denn reaitas politik yang cukup panjang dan penuh rintangan dan tantangan. Adalah seorang pemuda 25 tahun, Lafran Pane, cukup berani dan memiliki visi ke depan bersama mahasiswa lainnya menginisiasi berdirinya HMI. HMI didiirikan untuk berkontribusi untuk negeri ini melalui visi pembinaan menjadi insan pencipta dan pengabdi yang bernafaskan spirit islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
Dari rakhim HMI, telah banyak lahir tokoh-tokoh HMI yang sudah banyak mewarnai perjalanan sejarah dan kamajuan negeri ini. Kini usia organisasi mahasiwa Islam ini telah memasuki 72 tahun. Sebuah usia yang sudah penuh dengan kematangan. Matang secara spiritualias, pemikiran dan gerakan. Di hari miladnya yang 72 ini, diharapakan semua kader-kader umat dan bangsa, khususnya para pemuda-pemudi islam melakukan refleksi dan revitalisasi semangat nasionalisme dan kebangkitan baru menuju bangsa yang lebih beradab dan mandiri.
Arus perubahan besar telah terjadi dan bergerak begitu cepat di seantero dunia. Dan ternyata perubahan besar tersebut tidak sekedar perubahan yang bergerak secara alamiah, namun by design. Ada idiologi dominan yang menggerakan perubahan besar tersebut, yakni kapitalisme. Perubahan besar ini digambarkan secara detail oleh Karl Polanyi (2003) sebagai transformasi besar yang dikendalikan oleh idologi dominan dunia, yakni kapitalisme. Sebuah idiologi yang yang jauh dari spirit keislaman dan keindonesiaan.
Idiologi ini yang coba disemburkan ke berbagai pelosok dunia untuk bisa diterapkan sebagai idiologi tunggal dalam praktek pembangunan. Kita hidup di dalam dunia transformasi yang mempengaruhi hampir setiap aspek dari apa yang kita lakukan. Entah baik atau buruk, kita didorong masuk ke dalam tatanan global yang tidak dipahami sepenuhnya oleh siapapun, tetapi dampaknya dapat dirasakan kita semua. Ini yang disebut oleh A. Giddens sebagai globalisasi (Giddens, 2001: 1).
Kondisi tersebut apa yang digambarkan oleh Futurolog John Naisbit dan Alvin Tofler sebagai gambaran dunia yang semakin sempit. Sebagaimana dikemukakan ahli komunikasi Kanada, McLuhan; dunia bagaikan suatu kampung besar (global village). Dan kehidupan kita tak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Batas-batas teritorial sebuah negara dipahami bukan sekedar batas geografis yang memisahkan sebuah negara dengan negara lain, melainkan batas-batas budaya, yang memisahkan sebuah komunitas budaya yang satu dengan yang lain. Mengikuti integrasi sistem ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi global, dalam aspek budayapun akan terjadi hal yang sama. Globalisasi menuntut adanya pengintegrasian sistem budaya nasional ke dalam sistem budaya global yang liberalistik. Dalam pandangan kaum modernism, globalisasi dan modernisasi akan melahirkan apa yang disebut sebagai homogenisasi kultural (penyeragaman budaya).
Tantangan Pemuda Islam Indonesia
Salah satu tantangan dihadapan mata yang dihadapi para pemuda Islam dan bangsa ini adalah globalisasi dan konsumerisme yang bergerak begitu cepat serta dampaknya bergitu serius. Perlu diingat bahwa globalisasi, kapitalisme dan konsumerisme bukanlah agenda atau proyek global yang tanpa nilai dan kepentingan. Globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme adalah proyek global yang dirancang dan dijalankan secara matang, terstruktur dan sistematis oleh negara-negara industri maju (kapitalis) untuk menata sistem kehidupan global ini menjadi seragam sesuai dengan nilai, ideology dan kepentingan mereka. Konsekwensi dari rancangan global tersebut tentu saja akan berdampak pada hilangnya berbagai kearifan lokal dan beragaman budaya lokal. Dan efek dominonya, akan berdampak pada nasionalisme bangsa.
Homogenisasi budaya yang dirancang dan disemburkan melalui globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme semakin merombak tata laku dan pola perilaku budaya masyarakat (lokal). Keseragaman juga telah menimbulkan kekacauan dan hilangnya identitas sosio-kultural di tingkat masyarakat. Identitas sosio-kultural masyarakat semakin tergerus seiring dengan kuat dan gencarnya penetrasi budaya global (Barat). Contoh yang paling sederhana dalam masalah perilaku dan budaya makan. Masyarakat kita sudah gandrung dengan pola makan instan ala Barat (baca: Mcdonald, KFC, dll). Budaya serba instan juga merembet pada aspek kehidupan yang lain dikalanan kaum muda-mudi. Gaya hidup, norma, dan nilai, adat dan kebiasaan, keyakinan agama, pola kehidupan keluarga, cara produksi, dan konsumsi masyarakat pribumi rusak akibat penetrasi dan homogenisasi kultur Barat (Sztompka, 2004:108).
Memperkuat Imunitas Nasionalisme
Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Namun demikian, sebagai bangsa yang memiliki nilai dan idilologi Pancasila. Idiologi yang compatible dengan situasi dan kondisi jaman. Para Pemuda islam kita mesti berfikir dan bertindak kritis. Salah satu yang penting dalam merespon dampak globalisasi adalah, bagaimana membangun dan memperkuat imunitas nasionalisme kita di kalangan Pemuda Islam. Nasionalisme yang dibangun dari basis keislaman dan keindonsiaan. Kita sekarang sedang menghadap “perang asimetris” melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kita sangat membutuhkan sikap nasionalisme genuine, bukan kepura-puraan yang sarat dengan pencitraan.
Membangun imunitas nasionalisme Pemuda islam dengan cara menyuntikan “virus kekebalan” ke setiap tubuh pribadi-pribadi anak bangsa. Salah satunya adalah membudayaan sikap mencintai Indonesia seutuhnya. Contoh sederhana; “cintailah produk-produk dalam negeri”. Pada saat yang sama kita butuh masinis-masinis unggul; bangsa ini membutuhkan pemuda-pemudi yang memiliki nasionalisme organik, yakni nasionalisme pemuda Islam yang otentik, genuine yang lahir dari prosess sejarah dan rahim rakyatnya, merasakan penderitaan ibu pertiwi. Para Pemuda Islam yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan rakyat Indonesia, memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat. Pemuda islam yang memiliki ketegasan dan keberanian untuk melawan setiap upaya dari pihak manapun yang akan merongrong dan menghancurkan kedaulatan nasional. Para Pemuda islam berjiwa nasionalisme otentik ini, diharapkan akan dapat membangun kembali nasionalisme baru Indonesia menuju negara yang maju, mandiri dan berdaulat. Inilah pekerjaan rumah kita sekarang dan akan datang.

———- *** ———-

Tags: