HMI, Globalisasi dan Pluralisme Idiologi

Kongres HMI ke XXXI, Surabaya, 17-22 Maret 2021

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Mantan Ketua Bidang PTKP HMI Komisarat FISIP Unair 1997-1998

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saat ini akan melaksanakan hajatan besar, yakni kongres ke XXXI, 17-22 Maret di Kota Pahlawan, Surabaya. Kongres ini tidak hanya dijadikan ritual tiga tahunan untuk memilih ketua umum PBHMI baru masa bakti 2021-2023 saja, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kongres di tengah pandemi Covid-19 ini mampu menghasilkan pemikiran/gagasan dan program aksi yang visionerm, progresif, dan bernas dalam rangka untuk menjawab tantangan internal dan eksternal organsiasi dalam menghadapi persoalan bangsa ke depan yang semakin kompleks.

Organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini, tentu saja dihuni oleh cerdik pandai yang memiliki basis intelektual yang kuat, spirit kebangsaan dan keummatan yang tinggi, menjadi modal berharga bagi HMI untuk terus berkontribusi pada kemandirian dan kemajuan bangsa dan negara. Secara historis, dinamika pergerakan Indonesia, tak bisa dilepaskan dari peran para pemuda, termasuk di dalamnya adalah HMI. Bapak proklamator kita, Ir. Soekarno pernah mengatakan: “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan aku goncang dunia”. Ungkapan heroik tersebut diserukan, karena melihat potensi yang begitu besar yang ada pada diri kaum pemuda dalam perjuangan untuk membangun suatu bangsa dan negara yang merdeka, maju, dan berdaulat.

Pancasila dan Pluralisme Idiologi

Arus globalisasi yang begitu deras, bersamaan dengan itu idiologi dunia juga ikut merambah ke kawasan global yang siap menyebarkan “virus” perubahannya ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Globalisasi dan demokratisasi di Indonesia saat ini telah memunculkan berbagai macam idiologi alternatif (pluralism idology); baik idiologi liberalisme, sosialisme, kapitalisme dan varian idiologi lainnya. Bahkan muncul berbagai idiologi atas dasar etnisitas, suku, agama dan pemikiran lainnya. Di tengah pluralism idiologi tersebut, menjadikan Pancasila saat ini dirasa sudah tidak lagi bukan menjadi “idiologi tunggal” atau dominan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Bagaikan pasar bebas, Idiologi apapun diberi kebebasan dan kesetaraan, tidak ada yang merasa yang lebih unggul, benar, dan tinggi. Karena sudah saatnya kita melakukan evaluasi kritis terhadap eksistensi idiologi negara ini. Benarkah Pancasila sebagai Idiologi Negara masih sakti, masih kokoh, dan mampu menjaga dan menyelamatkan negara ini dari berbagai ancaman, baik laten maupun manifest. Apakah idiologi Pancasila masih menjadi idiologi negara dan masyarakatnya?

Setiap individu atau kelompok bebas untuk memilih idiologi di “pasar bebas” tersebut. Ini yang menjadikan Idiologi Pancasila menjadi “termarginalisasi” atau “terasing” dari kehidupan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang “pindah ke lain hati” idiologi lain. Bahkan idiologi Pancasila sudah tidak lagi menjadi rujukan bagi bangsa dan negara ini dalam mengatur negara dan masyarakat menuju cita-cita idealnya. Secara normatif, mungkin Idiologi Pancasila masih menjadi Idiologi formal negara, tapi dalam praksisnya masih jauh dari yang diharapkan.

Mengutip pernyataan B. J. Habibie, saat Pidato tentang Pancasila pada 1 Juni 2011 lalu, menyatakan; Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik”. Nasib Pancasila memang mengenaskan. Sebagai Ideologi negara, Pancasila tak ubahnya seperti sebuah kata-kata saja yang diucapkan ketika upacara.

Menurut Habibie, setidaknya ada dua sebab mengapa Idiologi Pancasila mengalami marginalisasi; Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Kedua, terjadinya euforia reformasi sebagai akibat traumatik masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik.

Salah satunya hal ini terwujud dalam kehidupan dan penyelenggaran negara di bidang ekonomi. System ekonomi pancasila yang lebih mendasarkan pada ekonomi kerakyatanan (baca: UUD 1945 pasal 33), misalnya, dalam praktik perekonomian nasional telah berubah wujud menjadi ekonomi kapitalisme. Indikasi yang paling telanjang adalah lahirnya peraturan perundangan-undangan yang pro asing/kapitalis (baca: UU Cipta kerja, UU Migas dan ketenagalistrikan, SDA, dll), menjamurnya pasar-pasar supermodern dan pada saat yang sama regulasi tersebut mengancurkan pasar rakyat/tradisional.

Fakta yang paling telanjang adalah menguatnya pihak asing yang menguasai sumber-sumber ekonomi, industri sumber daya mineral dan energy strategis nasional. Kondisi ini mengusik rasa nasionalisme kolektif kita. Hampir 80 persen sumber-sumber ekonomi strategis tersebut dikuasai pihak asing. Pada saat yang sama, masyarakat Indonesia harus menjadi kuli di negeri sendiri. Sebuah realitas sosial-ekonomi yang sangat ironis dan tragis. Apakah ini yang namakan nasionalisme?. Nasionalisme Indonesia sudah tergadaikan. Belum lagi dibidang politik, sosial, dan budaya, kondisinya juga jauh dari nilai dan dasar Pancasila. Pendek kata, Pancasila saat ini -pelan tapi pasti- sudah mulai ditinggalkan. Para penyelenggara negara ini lebih kagum dengan idiologi dan sistem hidup negara asing

Peran HMI

Secara historis, dalam sejarah pergerakan dan dinamika kebangsaan dan kenegaraan, HMI memiliki saham terhadap tegaknya NKRI dibawah naungan idiologi Pancasila. HMI memiliki peran penting dan strategis dalam menyelamatkan Pancasila dari ancaman idiologi komunis (baca: PKI). Dalam situasi dan kondisi demikian, bagaimana peran HMI dalam menghidupkan Pancasila sebagai dasar idiologi negara tersebut di tengan arus pluralisme idiologi yang semakin deras.

Di tengah problematika bangsa yang kompleks seperti itu, HMI memiliki tanggung jawab moral dan sejarah terhadap keberlangsungan negara Pancasila ini agar mampu menjadi negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Menghidupkan Pancasila bagi HMI adalah membumikan spirit dan nilai-nilai Pancasila dalam kongres XXXI ini. Kongres diharapkan mampu melahirkan pemimpin dan program organsiasi yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme otentik. Para penyelenggara negara harus terus diingatkan dengan pernyataan Jendral Nasution; bahwa Pancasila sebagai ideologi satu-satunya yang menjamin kesatuan nasional dan cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. HM harus mampu memainkan peran lokomotif perubahan progresif. Bahkan tidak sekedar membumikan Pancasila dalam tataran praktis, tetapi juga, dalam bahasa Yudi Latif (2015), HMI perlu melakukan apa yang disebut sebagai revolusi Pancasila, yakni suatu ikhtiar perubahan mendasar (secara akseleratif) pada sistem sosial (meliputi ranah material, mental, political) berlandasakan prinsip-prinsip Pancasila, dalam usaha mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewarganegaraan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (materiil dan spiritual).

———- *** ———

Tags: