Hoax dan Buzzer di Era Post-Truth

Oleh:
Eko Setiawan, S.I.Kom.,M.Med.Kom
Kasi Sumber Daya Komunikasi Publik Dinas Kominfo Prov. Jatim
Hari-hari ini, Jean Baudrillard, filsuf Perancis itu mungkin sedang tersenyum simpul. Teori Hiperealitas yang ia kemukakan lebih dari dua dekade yang lalu kini menemukan kebenarannya. Bahkan mungkin melebihi ekspektasi Baudrillard sendiri. Dalam Simulations (1983) Baudrillard menulis bahwa realitas telah berubah menjadi sekedar citra (image) untuk kemudian bertransformasi menjadi hiperealitas setelah melalui empat pentahapan. Pertama, citra mencerminkan realitas. Ini citra yang paling ideal. Namun kemudian citra yang hadir malah membelokkan dan menutupi realitas. Terakhir, citra yang lahir tidak berhubungan sama sekali dengan realitas. Inilah apa yang disebut dengan hiperealitas.
Dalam kehidupan sehari-hari hiperealitas ini berupa desas-desus, rumor hingga gosip. Kini hiperealitas itu lebih canggih dengan memanfaatkan perkembangan teknologi indormasi. Sehingga lahirlah hoax. Sebuah informasi berupa gambar, suara, video, broadcast message dan lain-lain yang tidak mempunyai rujukan atau referensi apapun. Semua informasi tersebut dilahirkan berdasarkan fantasi dan khayal si pembuat.
Akhir-akhir ini penyebaran hoax diperparah dengan lahirnya buzzer atau para pendengung. Buzzer mengalami pergeseran makna yang cukup dalam. Di awal buzzer adalah sekelompok orang yang bertugas untuk memasarkan suatu produk dengan cara terus menerus membicarakan tentang produk tersebut. Namun dalam perkembangannya, kontestasi politik akhir-akhir ini juga menggunakan buzzer untuk memasarkan program para politisi. Bahkan pada tingkat yang lebih jauh, para buzzer ini turut menyebarkan hoax untuk kepentingan politik dan juga ekonomi.
Penelitian bertajuk The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation karya Samantha Bradshaw dan Philip Howard dari Universitas Oxford (2019) setidaknya mengungkapkan bahwa partai-partai politik di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.
Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan kenapa hoax begitu mewabah dan pengaruh buzzer begitu besar. Pertama, perkembangan media sosial yang begitu pesat. Media sosial dan aplikasi messager semacam Whatsapp, Telegram dan sejenisnya kini masuk ke dalam ruang-ruang paling privat khalayak. Jika dahulu media masih dikonsumsi secara massal misalnya menonton televisi atau mendengar radio bersama-sama kini media dinikmati secara privat. Di dalam genggaman masing-masing. Dengan demikian, proses konfirmasi juga semakin lemah. Informasi yang masuk lewat gawai masing-masing ditelan bulat-bulat dan mentah-mentah karena tidak ada tukar pikiran sesama khalayak setelah mengkonsumsi media.
Kedua, rendahnya tingkat literasi dan konfirmasi. Rendahnya angka buta huruf tidak berbanding lurus dengan minat baca masyarakat. Budaya lisan semacam ngobrol masih lebih unggul di masyarakat kita. Aktivitas lisan semacam itu kemudian dibawa ke media sosial. Kita lupa bahwa obrolan di media sosial dan grup aplikasi pesan singkat itu bukanlah obrolan di warung kopi yang bisa menguap begitu saja. Percakapan di media sosial itu menyimpan jejak digital yang tak mudah dihapus begitu saja. Tidak hanya disimpan, percakapan itu bahkan bisa disebarluaskan ulang ke berbagai media sosial dan aplikasi pesan singkat lainnya.
Ketiga, era post-truth atau masa pasca-kebenaran yang kini melanda kita. Orang tidak lagi menyetujui untuk kemudian menyebarluaskan sebuah informasi karena informasi itu benar melainkan karena informasi itu sesuai dengan keyakinannya dan keyakinan kelompoknya. Tidak peduli informasi tersebut tidak memiliki rujukan yang benar.
Dengan demikian maka tidak heran jika informasi palsu, berita bohong, hoax atau apapun namanya dapat terdiseminasi sedemikian massif. Media yang beragam, tingkat literasi khalayak yang rendah dan sisi emosi yang lebih menonjol ketimbang rasionalitas sedikitnya turut menyumbang kenapa hoax bisa tersebar sangat luas dan masyarakat begitu percaya dengan ocehan para buzzer.
Setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah penyebaran hoax yang turut disebarkan para buzzer. Sebab hoax kini tidak hadir dengan intensitas yang rendah namun sudah bertubi-tubi dengan frekuensi yang sangat tinggi. Hoax kini hadir dalam bentuk firehose of falsehood atau semburan kebohongan yang jika diumpamakan hujan bukan lagi setetes demi setetes namun sudah berupa hujan deras nan lebat. Hal yang bisa dilakukan ketika hujan melanda bukanlah menepis setiap tetes hujan namun mengembangkan payung atau mengenakan jas hujan yang bisa melindungi kita dari tiap tetes hujan tersebut.
Persis cara untuk menghindari hoax, kita tidak bisa lagi menepis satu per satu kabar bohong tersebut, namun perlu melindungi diri kita dengan mengembangkan “payung” atau memakai “jas hujan” anti-hoax. Untuk itu yang dapat dilakukan saat ini adalah memperkuat literasi media digital masyarakat. Sebab informasi hoax memang banyak tersebar melalui media digital baik media online maupun media sosial.
Implementasi terbaik dari peningkatan literasi digital adalah meningkatkan kemampuan untuk mengkonfirmasi sebuah isu yang diduga hoax. Konfirmasi ke penyebar berita hoax terkadang akan mentok dengan alibi bahwa yang menyebarkan pun tidak tahu keaslian kabar tersebut. Konfirmasi terbaik adalah dengan memeriksa kebenaran kabar tersebut melalui berbagai aplikasi dan website anti-hoax serta bahkan dengan memanfaatkan mesin pencari. Kini tersedia berbagai macam situs penyedia klarifikasi informasi hoax seperti www.turnbackhoax.id , www.stophoax.id atau www.cekfakta.com.
Jika ingin menggunakan mesin pencari untuk memeriksa informasi hoax dapat dengan menambahkan kata “hoax” pada kata kunci yang ingin kita cari di mesin pencari. Misal, ‘telur palsu hoax’ atau ‘mata berdarah karena terlalu lama melihat hp hoax’ dan sejenisnya. Selain itu berbagai media kini sudah menyediakan rubrik anti-hoax yang dapat dimanfaatkan pembacanya. Rubrik “Hoax atau Bukan” di Harian Jawa Pos adalah salah satu yang cukup konsisten hingga kini untuk membantu pembaca dalam mengkonfirmasi isu hoax.
Dailysocial.id, sebuah situs asal Indonesia yang kerap merilis hasil riset seputar perkembangan bisnis teknologi dan gaya hidup teknologi di Indonesia tahun lalu merilis hasil riset yang cukup mencengangkan tentang hoax. Mayoritas responden (75,19 %) yang mereka teliti mengaku kesulitan atau tidak yakin bisa memeriksa keaslian sebuah informasi. Padahal 98,33 % responden mengaku terkadang atau sering menerima informasi hoax.
Melihat tingginya angka ketidakmampuan masyarakat dalam mengkonfirmasi hoax maka meningkatkan kemampuan literasi media digital masyarakat adalah hal utama yang dapat dilakukan untuk menanggulangi hoax. Sebab hoax tidak akan berarti apa-apa jika tidak disebarluaskan. Memutus mata rantai penyebaran hoax dengan meningkatkan literasi digital masyarakat adalah kunci.

Rate this article!
Tags: