Hoax, Ngerumpi Kekinian ala Emak Emak

Wahyu Kuncoro

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Praktisi media , Dosen Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bhayangkara (Ubhara), Surabaya 

Menyimak Headline Jawa Pos edisi Senin (12/11) yang berjudul Penyebar Hoax Mayoritas Ibu Ibu, awalnya penulis menduga itu hanya berita lebay yang sekadar mengikuti tren untuk mengulik semua yang berkaitan dengan cerita emak-emak . Term ’emak – emak’ menjadi bahasan yang seksi apalagi bila dikaitkan dengan pertarungan wacana antar dua kubu yang sedang memainkan isu emak-emak untuk meraup dukungan dalam Pilpres 2019. Namun, begitu penulis baca lebih detail, ternyata judul tersebut bukan sedang menari mengikuti genderang kendang Pilpres. Judul tersebut sesungguhnya lebih merupakan bacaan atas perilaku sosial masyarakat khususnya kalangan ibu-ibu yang terjadi hari ini.
Secara sosial, judul tersebut sesungguhnya tidak mengagetkan bahkan cenderung lumrah dan bukan barang baru. Hanya memang, menjadi menarik karena sepintas judul tersebut seolah-olah mempertontonkan betapa ibu-ibu menjadi sangat gagah dan berani mengambil risiko dengan menjadi penyebar hoax. Padahal kalau ditelisik lebih jauh penyebutan sebagai penyebar hoax tak lebih dari sekadar transformasi budaya di dunia nyata yang dibahwa ke media sosial. Artinnya, hoax bagi ibu-ibu tak lebih dari kebiasaan ngerumpi didunia nyata yang dibawa ke dunia maya. Lantas apa masalahnya?
Hari-hari belakangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) disibukkan dengan berbagai berita hoax yang berseliweran di media sosial. Dari persoalan penculikan anak, persoalan gempa hingga musibah jatuhnya Lion Air PK LQP menjadi menu hoax yang membuat berisik. Kementerian Kominfo pun harus berkeringat untuk mengklarifikasi berbagai berita yang mengalir deras di media sosial. Yach, hari ini kita sedang berada dalam kondisi darurat informasi bohong alias hoax. Ancaman pidana 6 (enam) tahun penjara dan denda Rp 1 miliar –sesuai ketentuan UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)– bagi setiap pelaku penyebaran hoax ternyata tidak membuat banjir hoax di media sosial mereda. Bahkan kian menunjukkan gejala yang mencemaskan
Berita hoax dapat tersebar cepat karena tingkat penetrasi pengguna internet di Indonesia yang tinggi. Budaya orang Indonesia yang bangga ketika dapat menyebarkan berita pertama kali, baik itu berita benar atau tidak, juga menjadi salah satu sebabnya. Pada wilayah lain, perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat tidak diimbangi dengan literasi dan edukasi terkait dengan dunia digital. Akibatnya, kebiasaan ngerumpi di dunia nyata yang ‘biasa’ dilakukan ibu-ibu pun terbawa di dunia nyata. Implikasinya, media sosial pun jadi ajang ‘ngerumpi cantik’ ala ibu-ibu.
Pemerintah harus serius menangani penyebaran berita hoax ini. Revisi UU ITE yang baru saja berlaku sebenarnya dapat menjadi landasan hukum untuk menjerat tidak hanya pembuat berita hoax, tetapi juga mereka yang menyebarkannya. Namun demikian, sungguh disadari bahwa ancaman pidana ini menjadi serba dilematis karena penyebaran berita hoax sudah sangat masif dan dilakukan hampir oleh seluruh masyarakat pengguna internet.
Selama ini, jika ada hoax atau konten negatif lain, platform seperti Facebook hanya diminta untuk memblokir konten ataupun akun yang bersangkutan. Bila platform menolak, akan diberi sanksi administrasi berupa teguran hingga pemblokiran sementara, seperti yang sempat dialami Telegram. Namun nampaknya langkah tersebut tidak memadai, Pemerintah harus lebih berani mengintervensi dalam melakukan penataan medsos. Indonesia perlu secara khusus belajar ke Jerman dan Malaysia karena kedua negara tersebut berani membuat regulasi yang mengatur penyelenggara sistem elektronik, baik dalam menjaga data penggunanya ataupun menghindari ujaran kebencian. Kita semua tak ingin Indonesia bernasib sama dengan Myanmar, di mana kekerasan terhadap etnis Rohingya diperparah oleh provokasi melalui media sosial. Inilah momentumnya pemerintah menata dan menertibkan media sosial.
Literasi Digital dan Partisipasi Publik
Fakta tentang dominannya ibu-ibu sebagai penyebar hoax mengindikasikan bahwa perlu ada edukasi yang lebih untuk kalangan ibu-ibu. Kebiasaan ngerumpi didunia nyata diharapkan tidak serta merta menjadi kebiasaan yang sama di dunia maya (baca : medsos). Kesadaran akan bahaya dan dampaknya yang luar biasa ketika hoax disebarkan di media sosial inilah yang harus terus disampaikan. Kita sungguh percaya, bahwa ibu-ibu yang menyebar hoax tersebut sangat mungkin tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan termasuk sebagai kategori menyebar hoax, karena bisa jadi yang dilakukan para ibu-ibu ini adalah menyebarkan informasi yang tujuannya adalah berbagi informasi. Namun, juga tidak bijak kalau dibiarkan saja. Karena sudah banyak korban yang jatuh akibat hoax yang tidak sengaja ini. Setidaknya informasi yang tidak benar itu hanya akan memperkeruh suasana, terlepas bahwa penyebaran hoax tersebut tidak diniatkan untuk itu. Contoh hoax adalah mengenai gempa besar yang pernah beredar di grup-grup aplikasi WhatsApp, atau hoax yang beredar ketika ada musibah jatuhnya Lion Air PK LQP JT610. Dalam suasana sedang bingung terus ditambah dengan hoax yang beredar tentu akan semakin memperkeruh suasana.
Literasi digital kepada masyarakat guna memerangi kabar bohong atau hoax yang beredar di media sosial hingga portal-portal berita palsu harus terus dilakukan. Semua lapisan masyarakat harus berpartisipasi dalam memanfaatkan media sosial secara bijak. Tak hanya itu, pemerintah juga akan fokus menata penyelenggara platform media sosial, termasuk perlu melakukan pembatasan-pembatasan akses sebagaimana diamanatkan Undang-Undang. Itu jika diperlukan pembatasan. Penyelenggara platform media sosial juga bertanggung jawab untuk senantiasa ‘membersihkan’ platform-nya dari hoax atau konten-konten negatif.
Dalam situasi darurat hoax seperti hari ini cukup menjadi alasan bagi pemerintah, Polri dan Kominfo melakukan tindakan tegas menangkap orang-orang yang duduga menyebar hoax dengan men-take down akun-akun yang dianggap menyebarkan hoax. Meski perang terhadap hoax harus digencarkan, kebebasan berdemokrasi tidak boleh dibatasi pemerintah. Misalnya, jika ada akun medsos yang ditutup, pemerintah juga perlu mempersiapkan mekanisme agar pemilik akun tersebut dapat membela diri. Ada hal yang perlu disiapkan oleh pemerintah seperti sekarang yang sedang dilakukan oleh Uni Eropa dan facebook Eropa yaitu membuat mekanisme yang memungkinkan orang-orang yang akunnya di-take down itu membela diri. Jadi menurut saya mekanisme itu yang perlu dipikirkan yaitu hak pemilik akun untuk membela diri, yang di-take down itu akunnya atau statusnya saja.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: