Hoax Surat Suara

Berita bohong (hoax) berkait pilpres kembali beredar sangat luas. Bagai “bombardir” kesejukan awal tahun 2019. Hoax ditebar dilengkapi suara telepon yang memberitakan seolah-olah telah datang (di Tanjung Priok, Jakarta) tujuh kontainer surat suara pilpres. Hoax juga menyatakan, bahwa surat suara sudah dicoblos. Sasaran hoax bukan hanya men-diskredit-kan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tetapi juga bertujuan meruntuhkan kredibilitas penyelenggara Pemilu.
Berdasar jadwal kerja Pemilu, surat suara pilpres (pemilihan presiden) masih dalam proses desain bentuk. Belum pula dicetak. Namun hoax telah ditebar, surat suara telah datang di Tanjung Priok. Konon, surat suara berasal dari China diangkut dengan kapal. Isu dari China, mirip dengan isu sebelumnya dengan tema tenaga kerja asing. Sehingga cukup sensitif. Walau hanya berita bohong, tetapi konstruksi isu surat suara dibangun berdasar “pondasi” yang telah ada.
KPU (Komisi Pemilihan Umum), menjadi sasaran utama hoax surat suara. “Tembakan” pertama, berupa isu kotak suara yang terbuat dari kardus. Padahal kotak suara yang sama telah digunakan pada Pilkada sejak tahun 2015. Ternyata, “tembakan” terhadap KPU tidak cukup menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara Pemilu. Maka sindikat hoax, mem-bombardir dengan isu surat suara palsu.
Berdasar pemeriksaan petugas gabungan (Bea Cukai, Adpel, TNI-AL, dan Bawaslu) tidak terdapat kiriman dari China. Berdasar isu hoax, andai dihitung, tujuh kontainer bisa mengangkut sebanyak 70 juta surat suara. Jumlah itu lebih dari 36% total pemilih dalam pilpres (serentak dengan pileg). Jika tidak segera diungkap maka hasil pilpres akan “digugat” telah disusupi surat suara palsu yang sudah dicoblosi. Ujung-ujungnya, Pilpres akan dituding tidak sah.
Merasa sebagai sasaran hoax (dan sangat membahayakan), KPU melaporkan isu surat suara dari China ke Kepolisian. Wajar, “tembakan” yang membidik KPU terasa sistemik, terstruktur, dan masif. Dimulai dengan isu penggelembungan pemilih (dalam DPT), materi debat Capres, dan kotak suara. Laporan KPU patut direspons oleh Kepolisian. Serta perlu kerja lebih keras BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara). Juga penegakan hukum penyebar hoax, yang cukup men-jera-kan.
Keberadaan Komisi Pemilhan Umum (KPU) merupakan penguatan demokrasi, diamanatkan oleh konstitusi. UUD 1945 pasal 22E ayat (5), menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Untuk melaksanakan amanat konstitusi telah diterbitkan UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Termasuk mekanisme pembentukan KPU setiap lima tahun.
Berdasar amanatkan UU 15 tahun 2011, diberikan kewenang luas kepada KPU Provinsi memiliki kewenangan luas. Namun bukan tanpa batas, dan bisa digugat. Begitu pula ke-tidak netral-an KPU akan mudah diketahui oleh masyarakat luas. Masih ada pula Bawaslu. Andaipun Bawaslu telah “terbeli,” sengketa hasil Pemilu bisa diajukan ke MK (Mahkamah Konstitusi). Walau harus diakui, tak mudah menjaga netralitas, karena banyaknya tekanan dan “iming-iming.”
Maka secara fungsional, KPU merupakan lembaga negara strategis, sebagai “pintu” rekrutmen calon pemimpin nasional dan daerah. Sehingga kinerjanya selalu menjadi perhatian seksama. Namun tak jarang juga coba “di-goyang-goyang.” Bahkan di-intimidasi. Harus diakui pula di berbagai daerah, banyak aparat penyelenggara pemilu, terlibat tindakan kecurangan Pemilu. Tetapi masih terdapat DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), sebagai pengadil. Sudah lebih seratus orang penyelenggara Pemilu dipecat, dan sebagian dijatuhi hukuman pidana.
Maka berita hoax yang menggerus kredibilitas KPU wajib direspons seksama Kepolisian. Termasuk patut diwaspadai pula oleh aparat keamanan (TNI), sebagai benih-benih pengacauan negara.

——— 000 ———

Rate this article!
Hoax Surat Suara,5 / 5 ( 1votes )
Tags: