Hormati Pemerintahan Adat

Pemerintahan Adat (1)NEGARA mengakui status pemerintahan daerah adat. Tata-kelola pemerintahan daerah istimewa (dan khusus) secara adat, tetap diakui dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Bahkan konstitusi negara menjamin, dengan segala hak dan aset asal ulayat. Paradigma politik demokrasi liberal, tidak elok dicampur aduk dalam pemerintah adat. DPRD juga tidak berwenang mencampuri urusan keraton di daerah.
Berdasar sejarah, pembentukan negara kesatuan RI didukung oleh “negara-negara” di berbagai kawasan Hindia Belanda. Berdasar peta pemerintahan kolonial (bekas jajahan Belanda). Termasuk nagari Aceh, dan keraton Mataram (Yogyakarta), melalui pernyataan penggabungan oleh tetua adat serta raja. Republik Indonesia menjadi kuat dengan dukungan “negara adat.” Dengan pernyataan bergabung, berbagai keraton dan nagari  telah melebur menjadi kesatuan.
Sejak awal pemerintahan NKRI diproklamirkan sebagai negara berbentuk kesatuan. Bukan negara federasi. Bentuk negara, dinyatakan pada klausul norma paling awal dalam konstitusi. Yakni, UUD pasal 1 ayat (1), dinyatakan, “Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik.” Klausul deklaratif ini tidak pernah diubah, walau UUD telah mengalami amandemen empat kali oleh MPR hasil pemilu tahun 1999.
Maka tata-kelola pemerintahan menjadi tanggungjawab negara (NKRI). Sedangkan tata-kelola budaya, hukum dan aset (kapita) adat, tetap menjadi Hak (domain) keraton dan nagari. Sehingga negara kesatuan (RI) dan penyelenggara pemerintahan berkewajiban menjaga keamanan, serta “toleransi” ber-pemerintahan.
Amanat konstitusi, UUD pasal 18B ayat (1), menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa ….” Penggunaan frasa kata “mengakui dan menghormati,” merupakan apresiasi negara terhadap fungsi, status, dan (sekaligus) kesejarahan “negara adat.” Yakni, bahwa satuan-satuan pemerintahan daerah tersebut bersifat mandiri (“merdeka”).
“Negara adat,” boleh melaksanakan pemerintahan sesuai adat. Juga pengakuan kekayaan (aset) adat, serta sistem kepemimpinan adat. Termasuk alih kekuasaan pada area internal adat. Pemerintah RI tidak berhak mencampuri “urusan-dalam.”  Misalnya, suksesi pucuk pimpinan serta Wali adat, sepenuhnya menjadi hak adat, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat. Pada masa kolonialisme, rezim mencampuri “urusan dalam” adat, sehingga menimbulkan perpecahan.
Itulah yang harus diwaspadai oleh penyelenggara pemerintahan RI, dan Pemerintahan Daerah. Konstitusi menjamin kemandirian tata-kelola “urusan dalam” adat. UUD pasal 18B ayat (2), menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Namun pemerintahan adat keraton Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat, merasakan terdapat potensi campur tangan pihak luar keraton. Terutama suksesi kesultanan Yogya, serta suksesi kasunanan Paku Alam. Beberapa pengamat politik (pemerintahan daerah)  “kelewat genit.” Yakni, mencampur adukkan hak domain adat dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Di dalam UU, diamanatkan bahwa Gubernur DI Yogya adalah Sultan (Raja).
Ironisnya, UU 13 tahun 2012 tentang DIY, bersifat diskriminatif. Bertentangan dengan konstitusi. UUD pasal 28 ayat (3) menyatakan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Sedangkan dalam UU 13 tahun 2012, dinyatakan secara implisit tertulis Gubernur DI Yogyakarta, harus laki-laki. Padahal, keraton Yogyakarta tidak memiliki pewaris tahta laki-laki. Andai pura Paku Alaman, juga tidak memiliki pewaris tahta laki-laki, apakah Gubernur DI Yogya akan lowong?
Karena itu Sri Sultan Hamengkubuwono X, perlu menyatakan Sabdatama (perintah utama). Bahwa keraton Mataram Yogyakarta dan pura Paku Alaman, merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan. Pihak luar tidak perlu mencampuri “urusan dalam” adat. Kini, pemerintah yang harus mengurus (merevisi) UU 13 tahun 2012. Terutama pasal diskriminatif yang bertentangan dengan UUD.

                                                                                                                          ———   000   ———

Rate this article!
Hormati Pemerintahan Adat,5 / 5 ( 1votes )
Tags: