Hubungan antara Kyai Kampung dan Kyai Pesantren

Judul Buku : Islam Madura
Penulis : Dr. Mohammad Hefni, M.Ag.
Penerbit : Literasi Nusantara, Malang
Cetakan : I, November 2019
Tebal : 310 halaman
ISBN : 978-623-7511-23-6
Peresensi : Ahmad Fatoni*
Pengajar PBA-FAI Universitas Muhammadiyah Malang
FAKTA yang tak terbantahkan, sosok kyai memiliki tempat yang spesifik di hati masyarakat Madura. Penghormatan kepada kyai tidak hanya karena proses historis, tetapi juga didukung oleh kondisi-kondisi ekologi (tegal) dan struktur permukiman penduduk yang ada. Kondisi-kondisi demikian, kemudian melahirkan organisasi sosial yang bertumpu ada otoritas kyai.
Relasi antara kyai dan umat begitu dekat. Bahkan, peran kyai sangat mendominasi kehidupan masyarakat. Apa yang dikatakan kyai niscaya akan ditaati, meskipun terkadang tanpa perhitungan apakah hal itu baik atau tidak. Dalam kultur orang Madura, kyai memang paling dihormati dibandingkan dengan golongan sosial yang lain.
Pada titik itulah figur kyai di Madura menjadi satu kekuatan pengikat yang menyatukan berbagai elemen masyarakat di Madura. Namun demikian, bukan berarti posisi kyai steril dari resistensi. Seperti yang ditulis dalam buku ini, Mohammad Hefni merekam gesekan yang tak terelakkan antara kyai pesantren yang memimpin komunitas Islam tradisional-akulturatif dan kyai kampung yang memimpin komunitas Islam tradisional-sinkretis.
Komunitas Islam tradisional-sinkretis yang hingga kini masih mempraktikkan ritual-ritual warisan tradisi leluhur, di mata kyai pesantren ditafsir sebagai praktik singkretik. Karena itu, kyai pesantren kemudian melakukan penetrasi kepada komunitas kampung agar tidak menyimpang dari ajaran syariat. Sebagai upaya merespon penetrasi tersebut, komunitas kampung lalu melakukan strategi resistensi dengan merevitaslisasi sebagian ritual keagamaan mereka. Tak pelak, relasi yang terbangun di antara kedua entitas tersebut adalah relasi konflik.
Bagaimanapun, kalangan Islam kampung menunjukkan kesetiaannya untuk melakukan ritual-ritual yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka. Ritual-ritual itu dimaksudkan sebagai negosiasi dengan alam bahkan negosiasi dengan Tuhan (hlm.186). Sekadar contoh, kalangan masyarakat kampung memandang bahwa pelaksanaan ritual beberten sangat fungsional untuk memagari mereka dari gangguan makhluk halus. Karenanya, mereka tetap mempertahankan ritual beberten dan sejenisnya walaupun harus berhadapan dengan misi kyai pesantren untuk memberantas ritual tersebut.
Berbekal modal kultural yang dimiliki berupa ilmu pengetahuan keagamaan, para kyai pesantren tidak mengendurkan semangat untuk melakukan penetrasi Islam kepada kalangan masyarakat kampung. Di sisi lain, karena merasa memiliki modal kultural yang lebih sedikit ketimbang yang dimiliki kyai pesantren, kyai kampung akhirnya menyadari bahwa Islam tradisional-akulturatif sebagaimana yang diajarkan di pesantren adalah sesuatu yang benar.
Secara bertahap, komunitas Islam kampung memaksa diri untuk tidak lagi memertahankan beberapa unsur ritual yang dipandang menyimpang dari ajaran mainstream Islam pesantren. Dalam konsep habitus, mereka menolak determinasi dari struktur yang ada (structuring structure), yakni elemen ritual yang dipandang menyimpang, dan melakukan apa yang disebut sebagai structured structure (menstruktur struktur yang ada), yakni beradaptasi terhadap ajaran yang dikembangkan oleh kyai pesantren. Strategi adaptasi ini dilakukan guna mencairkan konflik antara kyai kampung dan kyai pesantren (hlm.267).
Pengadaptasian itu melalui beberapa strategi, yakni strategi peniadaan unsur-unsur ritual, perubahan makna ritual, dan penambahan ritual-ritual tertentu. Strategi peniadaan dilakukan terhadap ritual-ritual tertentu yang dipandang sebagai syirik, seperti ritual permohonan kepada selain Allah. Misalnya, di masa lalu mereka memohon sesuatu kepada leluhurnya yang dipercaya sebagai Yang Maha Kuasa yang bisa mengabulkan semua permohonan keturunannya.
Dengan menggunakan teori konstruktivisme-strukturalisme ala Bourdieu, buku ini menunjukkan respon kultural Islam kampung yang diwakili kyai kampung atau tokoh adat setempat saat menghadapi kuasa Islam pesantren yang diwakili kyai pesantren. Pertarungan kuasa simbolik antara keduanya bersifat dominasi-subordinasi, terlebih ketika merangsek ke ranah kultural.
Kalangan Islam pesantren sendiri mendaku sebagai pemangku Islam ortodoks, yakni Islam yang sesuai dengan tuntunan Al-Quran, Hadits, dan kitab-kitab klasik. Sedangkan kalangan Islam kampung dalam menjalankan ritual-ritual adaptasi ekologis dianggap sebagai kaum Islam heterodoks yang menyimpang dari sumber otoritatif ajaran Islam. Dalam posisi subordinat semacam itu, kelompok Islam kampung melakukan resistensi sekaligus adaptasi atas dominasi kelompok Islam pesantren (hlm.274).
Ikhtiar buku hasil penelitian di sebuah desa kabupaten Sumenep, ini hendak merevisi pandangan para ahli yang secara dikhotomis membagi masyarakat islam, terutama di Indonesia, ke dalam dua kelompok besar yaitu Islam resmi dan Islam populer. Padahal, di lingkungan Islam populer sendiri terdapat varian tambahan, yakni Islam tradisionalis-ortodoks yang dipersentasikan kalangan Islam pesantren dan Islam tradisionalis-sinkretis yang dipresentasikan kalangan Islam kampung.
——— *** ———–

Tags: