Hujan Deras dan Ombak Besar Sempat Menciutkan Nyali

Sebelum berlayar, rombongan menyempatkan diri foto bersama berlatar Kapal Cepat Express Bahari yang akan membawa berlayar menuju Pulau Bawean. [wahyu kuncoro/bhirawa]

Sebelum berlayar, rombongan menyempatkan diri foto bersama berlatar Kapal Cepat Express Bahari yang akan membawa berlayar menuju Pulau Bawean. [wahyu kuncoro/bhirawa]

Pesona wisata bahari di Bawean sudah langsung terlihat begitu kapal cepat Express Bahari berkapasitas 350 penumpang dari Gresik menyentuh bibir dermaga pelabuhan di Bawean. Pantai berpasir putih berjajar memanjang, berlatar bukit menghijau terpaku menanti. Gerimis kecil yang turun di siang itu seolah ingin memberi ucapan selamat datang kepada Bhirawa yang untuk kali pertamanya menginjakkan kakinya di Pulau Bawean, Minggu (29/5/2016).

Wahyu Kuncoro, Wartawan Bhirawa.

Pulau Bawean atau masyarakat setempat lebih suka menyebutnya Boyan merupakan gugusan kepulauan yang berjarak sekitar 128 Km ke utara jika dihitung dari Kabupaten Gresik. Dengan luas 196 km2, pulau ini kesohor memiliki daya tarik wisata bahari yang masih perawan. Bhirawa berkesempatan mencicipi keindahan Pulau  Putri –sebutan lain Pulau Bawean akibat mayoritas laki-lakinya pergi merantau sebagai TKI– saat mengikuti kunjungan kerja Dinas Sosial Jatim ke pulau tersebut..
Begitu tangga kapal cepat Express Bahari terhubung dengan dermaga, beberapa penumpang semburat berlari-lari kecil dari kapal untuk menghindari gerimis kecil yang turun dari langit. Namun sebagian yang lain termasuk Bhirawa, tetap berjalan santai seolah tak memedulikan gerimis yang turun. Kelelahan dan perut mual akibat pelayaran 3,5 jam di atas kapal yang sesekali disertai goncangan ombak segera terhapus oleh kecantikan pesona pulau putri yang merindukan sentuhan.
Sambil menunggu mobil jemputan datang, sesekali Bhirawa  berfoto selfi dengan berlatar kerumunan penumpang di dermaga dan pantai yang indah memesona. Seorang laki-laki paruh baya dengan kulit agak gelap mengenakan jaket berwarna biru lantas menghampiri Bhirawa dan rombongan.
“Rombongan dari Dinas Sosial Jatim ya?” tanya laki-laki yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Yusuf.
“Ya betul, ini Pak Yusuf yaa?” sahut Ketua Bidang Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial Jatim Taufik Hasyim yang menjadi ketua rombongan kunjungan kerja ke Bawean. Selain mengajak Bhirawa, ikut serta dalam rombongan ini beberapa staf Dinsos Jatim Teguh, Novi, Lia, Sudarno dan seorang pendamping khusus program ‘Jatim Bebas Pasung 2017’ dari Kabupaten Gresik Sobirin.
Dari obrolan ringan sambil jalan menuju mobil di parkiran, akhirnya Bhirawa sedikit tahu bahwa Yusuf inilah yang akan melayani transportasi saat di Bawean. Yusuf adalah tokoh karang karuna di Pulau Bawean. Selain aktivis partai, Yusuf juga seorang kontraktor yang siap menggarap proyek apa saja yang ditawarkan.
Tak perlu berbicara lebih lama, rombongan  pun segera dibawa Yusuf menuju penginapan. Lokasi penginapan cukup dekat dari pelabuhan, tidak lebih dari 500 meter dari pintu pelabuhan penginapan itu berada.
Hotel Senja demikian nama hotel tersebut. Menurut Yusuf Hotel Senja termasuk salah satu hotel papan atas yang jadi langganan pejabat yang berkunjung ke Pulau Bawean. Jangan dibayangkan hotel di Bawean seperti hotel-hotel di Surabaya yang besar dan megah. Hotel Senja, tak lebih seperti kost -kost eksekutif di Surabaya. Hotel ini hanya menyediakan 8 kamar saja. 5 kamar VIP dan 3 kamar biasa. Kamar biasa bertarif Rp150 ribu dan kamar VIP bertarif Rp250 ribu.
“Hotel ini baru dibangun awal tahun ini kok mas,” tutur Nando pemilik hotel ditemani istrinya Halimah. Lokasi Hotel Senja yang berada dekat pelabuhan dan berada di sisi Jalan Lingkar Bawean (JLB) membuat hotel ini selalu dipenuhi tamu yang berkunjung ke Bawean. Tidak banyak waktu yang dimiliki, setelah sejenak istirahat sore itu langsung melakukan kegiatan berupa sosialisasi  ancaman narkoba kepada masyarakat Bawean. Usai acara sosialisasi rombonganpun kembali ke penginapan.
Deburan Ombak Menambah Sensasi
Di hari kedua, Senin (30/5/2016)  pagi-pagi sekali rombongan sudah siaga. Agenda hari kedua adalah melakukan kunjungan ke warga masyarakat yang masih dipasung, terus dilanjutkan dengan wisata menikmati keindahan alam Pulau Bawean.
“Tidak banyak memang waktu untuk wisatanya, tetapi sudah lumayanlah untuk mengobati rasa ingin tahu,” kata Taufik Hasyim menghibur anggota rombongan.
Menjelang siang, agenda kunjungan ke warga korban pasung tuntas diselesaikan. Rombongan segera bergegas menuju dermaga penyeberangan ke Pulau Gili – Noko yang berada di Desa Sidogedung Kecamatatan Sangkapura.
Rute yang dilewati adalah menyusuri Jalur Lintas Bawean (JLB). Meskipun JLB merupakan jalur utama di pulau ini namun lebar dan kondisi jalannya jangan dibayangkan seperti jalan utama di Pulau Jawa. Lebar JLB hanya pas untuk mobil berpapasan. Mayoritas jalannya 75 % adalah jalan berpaving.
“Konstruksi tanahnya membuat jalan berpaving lebih tepat. Kalau di-aspal akan cepat rusak,” kata Yusuf sambil mengemudiakan mobilnya. Pemandangan indah sudah bisa dinikmati dari atas mobil ketika baru beberapa menit mobil berjalan.
“Ini adalah pantai Ria yang termasuk wilayah Kecamatan Sangkapura,” tutur Yusuf ketika diseberang kanan jalan nampak pantai dengan pasirnya yang terlihat putih.
“Hampir semua pantai di Bawean kondisinya pasirnya putih seperti ini,” kata Yusuf berpromosi.
Tidak sampai satu jam rombonganpun sampai di dermaga penyeberangan. Saat sampai dermaga kondisi sedang hujan cukup deras. Bukan hanya hujan saja, ombak dipantai juga terlihat tinggi.
“Wah hujan, ombaknya juga tinggi banget,” kata Novi menyiratkan kengerian melihat cuaca yang kurang bersahabat tersebut. Begitu turun dari mobil, kulirik wajah-wajah tegang menyelimuti semua rombongan. Hanya wajah sang ketua rombongan Taufik Hasyim yang terlihat tenang.
Sambil berlari-lari kecil, satu persatu rombongan memasuki sebuah rumah makan Apung 70 yang berdiri tepat disamping dermaga penyeberangan. Sang pemilik rumah makan sekaligus pemilik perahu penyeberangan H Sehan hangat menyambutnya. Sambil istirahat sejenak, beberapa anggota rombongan memesan minuman kopi dan teh untuk menghangatkan suasana yang dingin karena hujan.
“Pak, saya tidak jadi ikut menyeberang ya pak,” kata Lia satu-satunya anggota rombongan yang perempuan mencoba meminta izin tidak ikut menyeberang.
“Saya juga gak berani pak. Saya nggak bisa berenang, saya nunggu di sini saja,” susul anggota rombongan yang lain  Novi. Kondisi cuaca yang kurang bersahabat tersebut hampir membuat batal menyeberang.
“Ayolah, kita berangkat bersama-sama, menyeberang juga harus bersama-sama. Insyaallah selamat,” rayu Taufik menguatkan anak buahnya yang ternyata masih ketakutan untuk ikut  menyeberang ke Pulau Gili Noko karena angin dan gelombang laut yang agak tinggi. Dengan wajah dan ekspresi agak terpaksa, rombongan pun akhirnya beranjak menuju perahu motor yang sudah siap berangkat.
Satu per satu rombongan naik ke perahu motor yang sudah bersiap di bibir dermaga. Perahu motor yang digunakan untuk menyeberang dengan sistem sewa. Perahu motor berkapasitas 30 orang ini sekali jalan pulang pergi diberi bandrol Rp350 ribu. Tetapi kalau tidak menyewa, bisa juga dikenakan tarif per orang dengan perahu motor yang lebih kecil.
“Biasanya untuk perahu yang lebih kecil menggunakan tarif per orang Rp35 ribu,” kata H Sehan sang pemilik perahu sekaligus tokoh yang mengawali membangun dermaga untuk penyeberangan.  Akhirnya perahu diisi 10 orang yang terdiri dari  7 penumpang dan 3 awak perahu.
Sepuluh menit pertama, perahu motor melaju dengan tenang. Ketakutan yang  sempat melanda rombongan sebelum berangkat seolah mencair ketika sudah berada perahu motor. Sambil bergurau sesekali rombongan berfoto selfi di atas perahu motor. Kondisi mulai berubah ketika perjalanan melewati paruh perjalanan. Gelombang laut mulai meninggi. Beberapa kali perahu motor tergoncang saat melintasi ombak yang lebih dari 1 meter.
Semua penumpang yang semula ramai bergurau tiba-tiba diam terpaku. Kedua tangan memegang erat dinding perahu. Ketua rombongan Taufik Hasyim yang awalnya nampak tenag juga terlihat tegang. Wajahnya tertunduk sambil mulutnya komat kamit mengucapkan doa. Hanya Ali sang Nahkoda kapal yang terlihat tenang dan sesekali tersenyum melihat penumpangnya tegang dan dilanda kecemasan. Kecemasan dan ketegangan itu berlangsung sekitar 15 menit. Wajah-wajah yang semula tegang mulai mencair saat Pulau Noko yang dituju mulai terlihat. Pantai berpasir putih dan air laut yang jernih nampak jelas dari kejauhan. Keceriaan dan gurauan mulai muncul dari par penumpang. Begitu perahu sudah mendekat pantai, Ali lngsung meloncat turun untuk menyandarkan perahu di pantai. Tak sabar menunggu perahu menepi, seolah ingin meluapkan kegembiraan dan melepas ketegangan satu persatu penumpang melompat turun. Hanya Taufik Hasyim yang turun dengan dibantu karena kondisi sakit di kakinya. Selain mengabadikan keindahan pantai yang masih perawan tersebut, para anggota berlomba-lomba berfoto selfi berlatar ombak ataupun pasir pantai yang bersih. Ali yang menjadi nahkoda kapal sekaligus guide di Pulau Noko dengan sabar melayani satu per satu permintaan foto.
Dalam pengamatan Bhirawa, kondisi Pulau Noko  memang sepi. Tidak ada bangunan permanen di Pulau itu. Hanya ada satu gubuk kecil yang bisa digunakan untuk berteduh. Bersamaan dengan rombongan Bhirawa ada dua kelompok rombongan yang berada di Pulau Noko tersebut. Satu kelompok adalah sekumpulan anak muda yang baru saja usai melakukan penyelaman (snorkeling) melihat keindahan bawah laut pulau Noko. Bagi yang ingin melakukan snorkling semua perlengkapan bisa disewa saat masih di dermaga, karena saat di pulau tidak ada yang mengelolanya. Dan satu kelompok lagi adalah anak-anak muda yang sedang ingin menikmati suasana romantis bersama pasangannya.
Kondisi pantai pasir yang putih dan air yang jernih tidak didukung dengan kondisi daratannya yang terlihat kotor dengan sampah plastik dan sisa-sisa bekas pembakaran.. Pulau-ini benar-benar tidak ada penghuni. Penjual pun tidak ada di pulau ini. Jadi jangan lupa bawa minuman dan makanan senidiri kalau ingin berlama-lama di pulau ini. Tidak lebih dari satu jam menghabiskan waktu di Pulau Noko, selanjutnya rombongan memutuskan kembali ke Bawean.  Sebelum kembali ke dermaga di Desa Sidogedung, Taufik Hansyim mengajak mampir sejenak ke Pulau Gili yang berada sebelahnya. Dari Pulau Noko ke Pulau Gili tidak  sampai 10 menit bisa dijangkau. Kalau Pulau Noko tidak berpenghunoi, maka Pulau Gili adalah pulau yang sudah berpenghuni. Usai berfoto dan menikmati keindahan pantai Pulau Gili Noko rombonganpun memutuskan kembali ke dermaga. (bersambung).

Tags: