Hukum Laiknya Jaring Laba-Laba

Umar Sholahudin(Kasus Kebakaran Hutan)
Oleh :
Umar Sholahudin
Mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial Pascasarjana FISIP Unair,Dosen SosiologihukumUnmuh Surabaya

Ketimpangan dan perlakuan tidak adil seringkali dipertontonkan aparat penegak hukum kita, mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan. Kasus-kasus gurem yang melibatkan kelompok kecil, hukum begitu keras dan menindas. namun berbeda dengan kasus-kasus yang melibatkan masyarakat pemilik modal dan kekuasaan, hukum seringkali terlambat dan tertambat dengan banyak alasan yang tidak masuk akal. Masyarakat miskin kerapkali menjadi korban ketidakadilan hukum ini. Sementara orang kaya begitu mudah membeli hukum. Penegakan hukum kita laiknya pedang; tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Pernyataan preskriptif tersebut menemukan relevansinya ketika kita melihat realitas penegakana hukum di Indonesia saat ini. Bagaimana hukum bekerja atau memperlakukan pelaku yang melakukan pelanggaran hukum, yakni antara si kaya dan si miskin. Bagi si kaya hukum laiknya barang murah yang bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Sementara bagi si miskin hukum laiknya barang mahal yang sulit untuk didapat.
Masih ingat kasus nenek Asyani (NA), yang dituduh mencuri 7 batang kayu jati milik Perhutani di Situbondo. Setelah melalui proses hukum yang cukup panjang dan melelahkan (kepolisian-kejaksaan-pengadilan), akhirnya majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Situbondo menjatuhkan vonis hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 15 bulan dan pidana denda sebesar Rp 500 juta kepada NA. NA tidak ditahan, namun jika dalam waktu 15 bulan NA melakukan tindak pidana yang sama, maka NA harus menjalani hukuman. NA didakwa mencuri 7 batang pohon jati milik Perhutani di lingkungan rumahnya di desa Jatibanteng Situbondo, Jawa Timur. NA didakwa dengan Pasal 12 huruf d UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), dan dituntut 1 tahun 18 bulan. NA merasa tidak mencuri kayu milik Perhutani, kayu yang ia tebang adalah kayu miliknya yang sudah puluhan tahun ada di sekitar rumahnya.
Kasus Pembakar Hutan
Pencuri tujuh batang kayu tak bisa lolos dari jeratan hukum, bagaimana dengan kasus pembakar hutan.  Dalam persidangan gugatan perdata Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutan terhadap PT. Bumi Mekar Hijau di Pengadilan Negeri Palembang, menyatakandan memutuskan menolak gugatan Kementerian LHK terhadap PT Bumi Mekar Hijau. Dalam putusannya, majelis hakim menganggap gugatan kasus kebakaran hutan dan lahan oleh PT Bumi Mekar Hijau di Ogan Komering Hilir, tidak dapat dibuktikan. Padahal, Kemeterian LHK telah menunjukkan bukti dan fakta di lapangan yang cukup kuat. Dan yang lebih menyedihkan, Parlas Nababan selaku ketua majelis hakim, mengeluarkan pernyataan yang membuat banyak pihak berang. Menurut Parlas Nababan, membakar hutan tidak merusak lingkungan hidup karena masih bisa ditanami lagi
Selain itu, pada September 2015, dalam kasus kebakaran hutan di Sumatera, pihak kepolisian RI telah telah menetapkan 140 tersangka, tujuh di antaranya ialah korporasi. Ketujuh perusahaan itu adalah PT RPP di Sumatra Selatan, PT BMH di Sumsel, PT RPS di Sumsel, PT LIH di Riau, PT GAP di Kalimantan Tengah, PT MBA di Kalimantan Tengah, dan PT ASP di Kalteng.Selain menetapkan ketujuh perusahaan itu sebagai tersangka, Badrodin mengatakan ada 20 perusahaan lainnya yang berada dalam proses penyidikan.Adapun yang menjadi dasar hukum dalam proses penyidikan ialah Undang-Undang Perkebunan 39 tahun 2014 pasal 108, Undang-Undang Kehutanan pasal 78, dan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 116. Akan tetapi sampaisaatini, proses hukum atas mereka nyaris ditelan bumi, tidak ada perkembangan sama sekali.
Mengapa Sulit Dijerat?
Mengapa para pembakar hutan sulit dijerat hukum? seperti skandal kejahatan kerah putih lainnya, seperti skandal Century atau Hambalang, kasus kejahatan terhadap lingkungan (baca: kebakaran hutan),  memiliki pola dan karaktaristik yang hampir sama, yakni bersifat struktural, sistemik, dan massif.  Kasus-kasus White Collar Crimemesti melibatkan tiga aktor utama, yakni penguasa (birokrasi), politisi, dan pengusaha. Dan juga melibatkan aparat penegak hukum itu sendiri.
Kejahatan yang melibatkan ranah-ranah kekuasaan seperti inilah yang menjadikan mudah lepas dari jeratan hukum. Banyak kepentingan politik-hukum yang bermain. Antar simpul jaringan dan jejaring kekuasaan saling melindungi dan jaga kuda-kuda. Hanya oknum kelas teri yang dikorbankan. Secara teoritis kejahatan struktural memiliki hukum kekuasaan sendiri sehingga sulit untuk diurai menggunakan hukum positif konvensional. Menurut Star dan Collier (1985:3), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi merupakan “sesuatu” yang diciptakan oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberi keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang yang lain. Hukum bagi pendekatan kritik sebagai cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain. Sementara dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980:99), hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang berkuasa.
Sementara dalam perpektif  Marxist; negara pada hakekatnya merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi dan politik. Karena itu menurut Marx, negara bukanlah lembaga tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dari tangan kelas-kelas atas berkuasa untuk mengamankan kekuasaan mereka. Wajah negara seperti itu sangat kapitalis, ia berusaha menjamin dan melindungi kepentingan dan kebutuhan politik dan ekonomi elit kekuasaan, pada saat yang sama negara menindas kepentingan masyarakat kecil atau lemah. Negara dalam pandangannya Marx selalu berpihak dan mengangkat pada kelas berkuasa, dan menekan kelas bawah. Negara dianggap institusi yang memiliki keabsahan secara moral dan hukum untuk berbuat apa saja, demi untuk menjamin dan melindungi kebutuhan dan kepentingan kekuasaannya (Suseno, 2003:120).
HukumLaiknyaJaringLaba-Laba
Bagi negara kekuasaan, penyimpangan dan pelanggaran oleh kelas elit kekuasaan dianggap sesuatu yang biasa karena menilai dirinya yang memiliki otoritas kekuasaan. Hukum adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah hukum itu sendiri. Ini yang menurut Marx sebagai wajah original kekuasaan negara yang sangat kapitalistik. Hukum merupakan pencerminan kepentingan kelas yang berkuasa (Sunarto, 1993:82). Hukum dimanfaatkan sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya (Wignjosoebroto, 2002: 23). Hukum adalah representasi dari kepentingan elit yang berkuasa. Kondisi ini mengingatkan kita pada Ungkapan hukum dari Anarcharsis, Filsuf Yunani pada abad 7 SM yang menyebut: “Hukum itu adalah jaring laba­laba, ia hanya mampu untuk menjaring orang­orang miskin, tetapi tidak mampu menjaring orang­orang kaya. Bahkan oleh orang­orang kaya, jaring laba­laba itu akan dirobek­robek olehnya.

                                                                                                     —————— *** ——————

Rate this article!
Tags: