Hukuman Kebiri Setimpal Pelaku Kejahatan Seksual

Pelaku Kejahatan SeksualSurabaya, Bhirawa
Rencana pemerintah memberikan hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual pada anak mendapat sorotan dari berbagai pihak. Hukuman tambahan dalam bentuk pengebirian syaraf libido dianngap sudah setimpal meski belum tentu efektif untuk memberikan efek jera.
Hal tersebut diungkapkan pakar sosial dari Universitas Airlangga Bagong Suyanto. Menurutnya, hukuman kebiri cukup bisa dimaklumi dalam perspektif korban. Sebab, kasus pelecehan seksual terhadap anak sesungguhnya lebih kejam dari pada pembunuhan. Kalau pembunuhan korban meninggal dan selesai sampai di situ. Sementara kejahatan seksual pada anak, korban memang masih hidup. Tapi selama hidupnya itu dia akan menanggung trauma selamanya.
“Sangat bisa dimaklumi jika para korban dan orang dekat mereka menyuarakan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku,” tutur Bagong saat dikonfirmasi, Rabu (21/10). Bagong pun sepakat, jika hukuman kebiri ini dijadikan hukuman tambahan di samping sanksi dipenjara yang sudah ada saat ini.
Kendati sudah setimpal, Bagong mengakui hukuman tersebut belum tentu akan memberikan efek jera. Karena hukuman yang berat menurutnya tidak ada hubungannya dengan tingkat kejahatan. “Jangankan dikebiri, kejahatan dengan hukuman mati saja tidak akan menimbulkan efek jera,” tutur dosen sosiologi anak itu.
Seperti diketahui, sanksi tambahan ini telah mendapat persetujuan presiden. Untuk merealisasikannya, sanksi ini akan dituangkan dalam peraturan pengganti undangi-undang. Sebab jika harus mengganti undang-undang, prosesnya akan memakan waktu lebih lama. Sementara tuntutan akan aturan ini telah mendesak.
Di sisi lain, sanksi hukuman kebiri ternyata juga mendapat respon negatif. Seperti diungkapkan Ketua Telepon Sahabat Anak (TeSA) Jatim Isa Anshori. Pihaknya menganggap sanksi tersebut jauh dari asa kemanusiaan. Meski pihaknya juga menyadari, pelaku kejahatan seksual sesungguhnya juga tidak berperikemanusiaan.
“Kejahatan seksual memang harus termasuk extra ordinary crime. Namun, bukan berarti pengebirian syaraf libido itu satu-satunya cara yang tepat untuk memberikan efek jera,” ungkap Isa. Menurutnya, pelaku kejahatan seksual pada anak memang telah merampas hak asasi manusia. Tapi, pemerintah jangan sampai juga melanggar hak asasi manusia dengan dalih sanksi.
“Kalau orang syaraf libidonya diputus, apa tidak lebih baik mati saja dia. Ini penyiksaan seumur hidup namanya,” tutur pria yang juga aktif di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim. Sebagai solusinya, lanjut Isa, pemerintah bisa menggunakan hukuman maksimal bagi pelaku. Sebab selama ini, aparat penegak hukum masih lemah dalam memutuskan hukuman maksimal.
Sejauh ini, Isa mengakui kasus kejahatan pada anak di Jatim sudah cukup tinggi. Data per Juli 2015 disebutnya telah mencapai 263 laporan. Dari jumlah itu, paling besar ialah kasus kejahatan pelecehan seksual terhadap anak. Dan 73 diantara laporan yang masuk, kasusnya terjadi di Surabaya. “Surabaya memang penyumbang terbesar kejahatan seksual pada anak. Khususnya yang paling sering terjadi di lingkungan sekolah,” ungkap Isa. [tam]

Tags: