Hybrid Learning : Menjadi Efektif atau Menjadi Beban?

Oleh :
Oky Firman Wahyudi
Mahasiswa Sosiologi FISIP UMM

Masifnya perkembangan zaman di era saat ini tidak bisa dihindari lagi oleh siapa pun dan oleh negara manapun, terutama dalam segi teknologi yang saat ini mengalami perkembangan yang sangat masif di beberapa negara di dunia. Tidak dipungkiri juga di Indonesia, Indonesia saat ini juga mengalami pesatnya teknologi mulai dari segi ekonomi, transportasi, kesehatan, bahkan dari segi komunikasi. Terlebih lagi saat munculnya pandemi COVID-19 yang masuk ke Indonesia diawal tahun 2020 ini menuntut masyarakat untuk semaksimal mungkin memanfaatkan teknologi, terutama teknologi komunikasi. Salah satu contoh dari pemanfaatan teknologi saat pandemi ini adalah proses kegiatan Hybrid Learning atau Blended Learning atau dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal “Pembelajaran Campuran” (online and offline) saat proses belajar-mengajar di sekolah maupun di tingkat kuliah. Hybrid Learning menurut Semler (2005) mengatakan bahwa metode ini menggabungan pembelajaran daring dengan tatap muka, dan penyelesaian tugas-tugas oleh siswa dapat dilakukan di kelas maupun di luar kelas secara mandiri.

Metode pembelajaran apapun itu hanya bertujuan untuk membantu orang belajar dalam proses menyerap informasi baru atau mendapatkan pengetahuan baru, akan tetapi tidak ada suatu metode yang sempurna dalam implementasinya dan setiap metode pasti memiliki kelemahan tersendiri. Oleh sebab itu timbul suatu pemikiran untuk menggabungkan tiap-tiap metode tersebut sehingga lahirlah metode hybrid/blended learning. Dalam menjalankan metode ini harus di perhatikan juga aspek pendukung mulai dari Trainer/Teacher, Device, Time, and Internet Connection, mengingat bahwa metode blended seperti ini memerlukan beberapa aspek tersebut demi menunjang proses belajar-mengajar yang diharapkan. Trainer menjadi aspek utama dalam metode ini, karena sumber materi yang dipaparkan berasal dari trainer sehingga harus maksimal dan tidak boleh mementingkan satu kelompok dalam penyampaianya sehingga bisa diterima oleh peserta belajar keseluruhan. Tidak hanya Indonesia sebenarnya yang menggunakan metode ini, di beberapa negara yang terdampak pandemi virus corona juga menggunakan metode yang sama. Salah satu contohnya adalah negara dengan sebutan Paman Sam.

Amerika bahkan melakukan metode blended learning ini sejak tahun 2015 di Thomas Rusell Middle School di kota kecil Milpitas, di California. Sekolah negeri ini menggunakan metode tersebut agar sistem pendidikan lebih berorientasi kepada murid, terbukti bahwa pihak sekolah memberikan pinjaman laptop dengan cara (satu laptop satu murid). Tidak hanya di sekolah menengah namun metode ini juga di gunakan di sekolah dasar di Milpitas, dalam proses mengajarnya sang guru menggunakan pendekataan yang berbeda pada setiap murid, hal ini dikarenakan daya tangkap murid berbeda-beda. Hal itu juga menjadi perhatian khusus terhadap guru, terlebih lagi pasti ada murid yang membutuhkan perhatian khusus (nakal) sehingga diberikan bimbingan tambahan terhadap mereka yang masuk ke dalam kategori tersebut. Lantas bagaimana tentang biaya yang dikeluarkan? Biaya yang dikeluarkan tentu tidak sedikit karena berhubungan dengan teknologi, biaya yang dikeluarkan merupakan biaya yang berasal dari pajak masyarakat setempat yang sepakat dengan adanya program tersebut demi menunjang pendidikan yang lebih baik dan modern. Jika dibandingkan di Indonesia dengan penerapan metode ini sebelum adanya pandemi COVID-19, maka akan sulit untuk mencapai kesepakatan bersama. Mengingat bahwa masyarakat Indonesia akan sulit mempercayai orang yang mempromotori program tersebut karena masih merebaknya budaya korupsi di Indonesia. Perdebatan hybrid learning di Indonesia saat ini menimbulkan beberapa pertanyaan-pertanyaan seputar fungsi dan dampak yang akan di timbulkan, ada sekelompok orang beranggapan bahwa kegiatan hybrid learning ini akan menimbulkan ketidakmampuan siswa atau audience dalam mencerna materi belajar dengan maksimal.

Menurut Jurgen Habermas, bahwa interaksi manusia dalam satu bentuk dasarnya bersifat komunikatif dan bukan bersifat strategis, artinya bahwa interakasi antar individu maupun kelompok itu memiliki bentuk dasar yaitu komunikatif sehingga yang menjadi perhatian adalah proses output dan input komunikasi tersebut bisa dikeluarkan dan diterima dengan lancar. Bayangkan jika hybrid learning mengalami beberapa kendala jaringan dan perangkat yang digunakan, maka proses interaksi dan proses penyampaian materi akan mengalami kendala dan tidak maksimal. Karena indikator manusia terdidik pada era digital seperti ini bukan lagi mampu atau tidaknya seseorang mencerna pengetahuan, namun bagaimana ia memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk mentransformasikan kepada dirinya sendiri.

Lalu apakah Hybrid Learning akan efisien untuk waktu yang lama?

Perdebatan tentang persoalan metode ini juga menanyakan tentang efisiensi waktu dan penyerapan ilmu dalam menyampaikannya kepada siswa/mahasiswa. Efisiensi yang diberikan metode ini mengorbankan interaksi langsung karena metode ini dipilih untuk menghindari kontak langsung antar individu maupun kelompok, terlebih lagi untuk penyelanggara belajar seperti guru atau dosen harus memfasilitasi metode ini dengan menyediakan proyektor, laptop/komputer, kamera, dan internet. Jika ditanya tentang efisiensi waktu terhadap metode ini maka akan mengacu terhadap kualitas input materi dari para siswa maupun mahasiswa yang terjebak dalam metode hybrid learning ataupun blended learning ini. Karena jika metode ini dilakukan dengan waktu yang lama maka daya terima siswa/mahasiswa akan mengalami perubahan dan akan nyaman, namun bukan nyaman terhadap metode ini melainkan nyaman karena menggantungkan perangkat yang digunakan. Maksudnya adalah siswa/mahasiswa jika disuruh memilih 2 opsi antara online (daring) atau offline (luring) maka kebanyakan mereka akan memilih online.

Dilihat dari sudut pandang sosiologi, hal ini berkaitan langsung prespektif postmodernsme yang bertransisinya dari modern ke postmodern, maksudnya adalah didekontruksi dengan menemukan metode-metode baru yang bisa menggantikan motode yang dianggap efektif sebelumnya, nah kita bisa lihat bahwasanya metode hybrid learning ini hadir untuk menggantikan metode sebelumnya yang sudah dianggap tradisional. Jadi kesimpulannya dari pertanyaan tersebut adalah keadaan yang memaksa dengan menggunakan metode ini, namun tidak bisa di gunakan dengan waktu lama karena akan mempengaruhi daya tangkap terhadap materi belajar yang disampaikan. Sehingga pemerintah harus bergerak cepat dalam penanganan COVID-19 agar masyarakat terbebas dari virus tersebut, namun jika penanganan kasus virus corona memakan waktu yang lama maka hal ini akan mengacu kepada habit atau kebiasaan New Normal in The Era of Pandemic. Jika hybrid learning diberlakukan dalam jangka panjang maka hal ini juga akan berpengaruh terhadap kualitas per-individu dan jika metode ini ditiadakan sehingga beralih ke metode luring maka akan menimbulkan kekhawatiran tertularnya virus corona bahkan muncul varian virus corona baru, masalah ini menjadi PR bagi pemerintah dalam menangani masalah tersebut agar cepat terselesaikan.

——– *** ——–

Tags: