Ibadah Fisik dalam Berhaji

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Menjelang pelaksanaan ibadah haji berbagai persiapan telah dilakukan terutama persiapan jamaah haji. Diakui atau tidak, ibadah haji identik dengan ibadah fisik sehingga dapat dikatakan bahwa ibadah haji tidak bisa dipisahkan dengan kesehatan. Hal tersebut dapat ditelusuri sejak awal dimana ditandai dengan mulainya perjalanan dari tempat tinggal jamaah ke asrama haji, embarkasi hingga perjalanan via pesawat selama 9 hingga 12 jam sampai ke Madinah atau Jeddah. Di sisi lain faktor cuaca, iklim dan lingkungan di tanah air dan di tanah suci jelas sangat berbeda, suhu yang menyengat tentu menimbulkan problem lanjutan bila tak segera diantisipasi. Diprediksi cuaca panas ekstrem di Arab Saudi saat musim haji nanti yang diperkirakan mencapai lebih dari 50 derajat Celsius. Rangkaian ibadah haji yang menguras energi membuat jemaah berisiko terkena masalah kesehatan terutama gangguan kesehatan akibat timbulnya penyakit.
Apalagi sekitar 60 persen Calon Jamaah Haji (CJH) didominasi oleh kalangan lanjut usia sehingga kondisi kesehatan sangat menentukan lancar tidaknya dalam menuaikkan ibadah haji. Tak jarang meski sudah dinyatakan lolos pemeriksaan kesehatan namun sebagian mereka adalah kelompok resiko tinggi seperti jantung, diabetes, hipertensi, paru kronis, gagal ginjal dan lain-lain. Bahkan berdasarkan data tahun 2018 prosentase CJH risiko tinggi mencapai 67 persen. Jemaah haji yang sehat dan bugar akan lebih mudah menjalankan rukun dan wajib haji. Kondisi tersebut bisa diperoleh setiap jemaah haji apabila telah menjaga kesehatannya jauh hari sebelum keberangkatan ke tanah suci. Oleh karena itu pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengatur “kemampuan” atau istito’ah Kesehatan sebagai syarat utama (pre-requisite) pemberangkatan calon jamaah haji (CJH). Hal ini berarti bahwa CJH akan mengalami hambatan atau gangguan dalam menjalankan ibadah haji bila tak didukung kemampuan fisik yang prima.
Makna lain adalah istito’ah ibadah haji yang didalamnya mengandung makna kesanggupan baik secara ketersediaan sisi pembiayaan maupun secara perspektif kesehatan (sehat). Oleh karena itu pula faktor kesehatan sebagai bagian dari “memiliki kemampuan” dari calon jamaah dalam menunaikan ritual ibadah haji. Hal tersebut telah diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji dengan tujuan agar CJH mampu beribadah secara aman, nyaman, sehat dan menjadi haji yang mabrur. Dengan kata lain melindungi agar saat melakukan prosesi ritual ibadah haji benar-benar ditunjang dengan kesehatan yang baik. Apalagi kaum para lanjut usia yang sangat rentan terjadi gangguan kesehatan.
Manajemen Resiko
Saat ini Kementerian Kesehatan menyusun inovasi berupa profil kesehatan dimana bertujuan untuk mendapatkan gambaran situasi dan kondisi kesehatan jemaaah haji tahun ini sehingga dapat menjadi acuan dalam mengendalikan faktor risiko kesehatan jemaah haji dan memberikan pelayanan kesehatan yang tepat apabila jemaah haji mengalami gangguan kesehatan saat di Arab Saudi. Profil kesehatan haji memanfaatkan data-data dasar yang tersimpan pada Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) baik yang dimiliki oleh Kementerian Agama maupun yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan (Siskohatkes). Dengan pemanfaatan profil kesehatan haji ini para petugas kelak dapat mengetahui status kesehatan jemaah haji pada lingkup provinsi, embarkasi, nasional, sampai pada area zonasi di Arab Saudi.
Berdasarkan kajian kesehatan haji setidaknya 3 (tiga) aspek gangguan kesehatan yang berresiko menyerang para CJH antara lain pertama, keracunan makanan. Kejadian yang acapkali dialami jamaah haji adalah diare dan kolera yang biasanya berasal dari makanan yang dikonsumsi kemungkinan kurang matang atau dimasak dengan benar. Diare dan kolera dapat dicegah dengan menerapkan pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti cuci tangan, menjaga makanan tetap bersih dan tidak rusak/basi, menghindari sejumlah makanan yang terbuka serta menghindari air yang telah terkontaminasi oleh faeces. Kasus lain, makanan tersebut rentan terkena pertumbuhan bakteri, yang bisa memicu diare, kram perut, dan tubuh melemah.
Kedua, di tengah wabah Meningitis, Ebola dan Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-CoV). Coronavirus yang merebak, jemaah haji rentan terkena infeksi. Namun demikian, penyebab utama infeksi adalah virus influenza yang menyerang saluran pernapasan atas dan bisa memicu penyakit seperti pneumonia. Beberapa langkah pencegahan penting dilakukan untuk mencegah infeksi. Faktor higienitas merupakan langkah pencegahan dini selama berhaji. Mencuci tangan secara rutin, khususnya sebelum dan setelah aktivitas tertentu sangat penting untuk menghilangkan kuman dan mengurangi resiko penyebaran penyakit. Ketiga, penyakit yang ditimbulkan oleh suhu panas. Kondisi cuaca dan iklim di wilayah Arab Saudi yang sangat terik, panas diatas rata-rata cuaca panas di tanah air sehingga sangat memungkinkan terjadinya heat syndrome yakni gejala penyakit akibat paparan panas pada tubuh.
Tahap selanjutnya adalah serangan heat stroke adalah penyakit gangguan panas yang mengancam nyawa yang terkait dengan pekerjaan pada kondisi sangat panas dan lembab. Penyakit ini dapat menyebabkan koma dan kematian dengan gejala dari penyakit ini adalah detak jantung cepat, suhu tubuh tinggi 40o C atau lebih, panas, kulit kering dan tampak kebiruan atau kemerahan, tidak ada keringat di tubuh, menggigil, muak, pusing, kebingungan mental dan pingsan. Suhu ekstrem maka jamaah haji dianjurkan untuk memperbanyak minum air, sering menyemprot wajah atau bagian tubuh dengan air, memakai masker basah, dan membawa payung atau peralatan penunjang lain saat bepergian ke manapun untuk meminimalisasi dehidrasi.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: