Ibadah Haji ; Puncak Pengembaraan Ruhani

Buku Anggukan RitmisJudul Buku   : Anggukan Ritmis Kaki Kiai
Penyusun  : Emha Ainun Nadjib
Penerbit  : Bentang
Cetakan  : I, Januari 2015
Tebal  : 418 halaman
ISBN  : 978-602-291-077-0
Peresensi  : Moh. Romadlon
Penyuka buku. Tinggal di Kebumen

Sebagai rukun Islam kelima, haji sejatinya merupakan puncak dari totalitas penyatuan antara tiga dimensi; kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Bukan sekedar efek dari kesanggupan ekonomi seseorang untuk berangkat ke Arab Saudi, juga lebih dari sekedar “romantisme pengembaraan kultural”. Terlebih-lebih haji bukan aksesoris keperluan politis, status, dan kebanggaan sosial. Tulis Emha Ainun Nadjib dalam esai bertajuk Haji: Peristiwa Agama dan Peristiwa Budaya, satu dari esai-esai bernas beliau yang terkumpul dalam buku ini.
Sehingga, tatkala para penempuh haji berpakain ihrom, mereka “melompat” naik ke taraf trasendental budaya: menanggalkan status sosial, kedudukan, tingkatan jabatan dan profesi. Melompat menuju aku primer yaitu aku manusia. Dan dalam Islam, “aku manusia” meningkat dirinya menjadi “aku hamba Allah” kemudian “aku wakil Allah”, kemudian meningkat atau menginti lagi. Dan, tatkala mereka bersujud, yang mereka sembah bukan kakbah, melainkan simbolisasi ahad dan wahid. Ahad itu satu-Nya Allah, dan wahid itu penyatuan semua kuantitas individu manusia dan keumatan manusia, serta semua sistem kualitas dirinya, pada satu “mata air”, yang menjadi sumber sekaligus muara segala sistem eksistensi. Sementara, peristiwa haji merupakan puncak dari metode pengatmosfiran diri menuju kesadaran “ahad” dan keberadaan “wahid”
Dengan begitu, bahwa menjalani ibadah haji adalah kesempatan “mencicipi” peristiwa percintaan langsung dengan Allah, melalui tahapan sublimasi, kristalisasi, universalisasi, dan esensialisasi diri. Dengan demikian, mestinya haji adalah produk dari proses kualifikasi seseorang Muslim yang ditempuh melalui rutinitas intens peribadatan-peribadatan yang lain, seperti shalat, zakat, puasa, dan -tentu pada mulanya ikrar syahadat (hal.86).
Dalam esai lain berjudul Yang Tak Kunjung Haji Hingga Mati (1), Emha menilai, seandainya semua orang yang berhaji betul-betul menjiwai makna haji seperti di atas, sebagai suatu tahap tinggi pencapaian ruhani, maka mereka menjadi Manusia Haji, manusia yang paling berseri wajahnya di dalam sejarah, dalam arti sesungguhnya. Ada cahaya yang memancar dari wajahnya, yang bersumber langsung dari Allah yang bersemayam di lubuk kehidupannya. Pada posisi itu, ibadah haji akan mengantarkan seseorang menjadi manusia pilihan, manusia yang amat bisa kita harapkan untuk mampu “meyarangkan gol-gol kemanfaatan sosial” di lingkungan hidupnya.
Dengan kata lain, orang menjadi haji artinya berhasil melahirkan kembali kepribadiannya, menjadi “makhluk” yang sama sekali baru. Kemudian mensyukurinya. Kemudian menikmatinya. Kemudian menaburkan kemanfaatannya ke lingkungannya, baik pada skala kampung, komunitas, negara, maupun universitas kemanusiaan (hal.96-99).
Namun jika titik orbit kesejarahan kaum haji tidak di situ, lanjut Emha dalam esai bertajuk Yang Tak Kunjung Haji Hingga Mati (II), kita kehilangan konteks haji, kehilangan logika dan rasionalitas haji, dan dengan demikian kehilangan hakekatnya. Jika menjadi haji berakhir pada kebanggaan primodial yang menyangkut status sosialnya yang baru, betapa tidak modernnya kita. Jika menjadi haji berorientasi pada kapitalisme karier apalagi political camouflage, telah berdustalah kita tatkala berbincang tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan Tuhan.
Dan nyatanya fenomena itulah yang hari ini kita bersama lihat dan alami. Maka, menjadi sebuah fakta kehidupan bahwa ada orang yang tak pernah punya kesanggupan ekonomi naik haji, tapi kualitas kepribadiannya mencapai tingkat haji. Bahkan, ada orang yang bertahun-tahun menabung untuk haji, tapi menjelang berangkat, ia terpanggil dan memilih memberikan tabungannya untuk membantu tetangganya yang mengalami keterdesakan darurat ekonomi. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang rajin berkali-kali naik haji, tapi kualitas kepribadiannya, mentalitas pribadinya, dan moralitas sosialnya tak kunjung haji, hingga mati (hal.107).
Selain mengangkat tema masalah refleksi ibadah haji, dalam buku ini, masih terkumpul esai-esai lain Emha dengan aneka tema, seperti Islam dan prespektif sosial kemasyarakatan serta Islam dan prespektif kebudayaan. Meskipun semua tulisan-tulisan itu telah berumur lebih dari satu dasarwarsa tapi persoalan-persoalan yang diangkat tetap aktual dan tetap memikat. Intinya, sepanjang buku ini, Emha mengajak pembaca untuk bertanya pada diri sendiri: Masihkah kita berislam “birokrasi” atau sudah sanggup berislam secara hati? Bukan karena “takut pada atasan” semata melainkan sudah karena cinta dan pengabdian pada Tuhan, Sang Maha Atasan.

                                                                                                     ———————— *** ————————-

Tags: