Oleh:
Dyahadatina
Ketika banyak penghalang yang tuhan hadirkan untuk manusia, maka solusinya hanya satu hal, jalani semuanya hingga habis tiada sisa. Lari dari penghalang itu hanya upaya-upaya kecil dari sikap sok tidak peduli manusia. Padahal sok tidak peuli itu beda tipis dengan ketakutan untuk menghadapinya. Lari ke ujung dunia pun penghalang itu akan terus membuntuti manusia,semakin kencang manusia berlari, semakin kencang pula penghalang itu ikut berlari.Tak peduli akan terus dikejar penghalang atau tidak, hidup akan terus berjalan hingga maut patahkan segala harapan.Jadi selagi hidup hadapilah segala pemberian Tuhan.Tak peduli hal itu kebaikan atau malah keburukan.Segalanya dengan baik hati telah tuhan atur untuk manusianya yang tak mau diatur ini.Jika memang ada yang memang manusia tidak setujui dari cerita yang telah Tuhan buat, tinggal manusia nego saja dengan Tuhan, karena tuhan adalah pedagang asongan paling dermawan.
Duduk di belakang rumah menikmati tenggelamnya matahari dipelupk mata langit yang sangat indah.Seperti beban juga terasa hilang perlaha-lahan.Rumahku yang sekarang sudah tidak seporak-poranda dulu ketka aku masih kecil, dan semuanya masih serba butuh ibu.Waktu seakan merangkak terlalu pelan hingga kenangan-kenangan masa lalu masih sangat jlas dalam ingatan. Semuanya masih tentang ibuku. Ibuku seorang yang sangat penyayang tapi ibuku sangat angkuh. Segala yang aku minta akan ibu beri selama sejalan dengan pendapat ibu, apa pun itu. Tapi akan terjadi hal yang sebaliknya jika yang aku minta bertentangan dengan pendapat ibu, maka tamatlah riwayatku. Tak pernah ibu membangga-banggakanku di depan ibu-ibu lainnya. Ibuku mmang tidak seperti ibu-ibu lainnya Ibu malah menjadikanku bahan lelucon di depan ibu-ibu lainnya. Pernah suatu ketka ada seorang ibu datang kerumah. Ia bersama seorang anak kecil, mungkin saha anak itu memang anaknya atau malah keponakannya. Seperti hari-hari biasa, memang selalu ada oang yang datang kerumah, karena satu alasan. Mereka akan menjahit baju. Pekerjaan ibu yan notaben adalah penjahit jadi tidak menutup kemungkinan jika banyak orang yang datang kerumah. Si bu itu bertanya. “Apakah kulit anak ibu juga sebersih kulit ibu?” ibuku malah tertawa dan lebih memilih mengatakan “Anakku seperti sawo matang, tapi sawo itu masih terbakar sinar matahari”. Lalu pecahlah tawa di ruangan tempat ibu menjahit.
Tapi sebenarnya tak apa. Dari hal seperti itu dapatku pahami bahwa ibu tak suka membual tentang anaknya. Biarlah orang lain akan berpikir apa. Ibu akan tetap dengan penilaiannya tentangku. Dan entahlah dengan penilaian orang lain. Dewasa ini aku juga sadar bahwa ibu hanya akan membesar-besarkn hatiku di depanku saja. Tidak di depan orang lain. Bukankah ibu yang demi kian yang dikatakan ibu yang baik. Membesarkan hati anaknya hingga tak seorang pun dapat mengecilkannya. Ah….. aku sangat rindu ibuku. Tapi akhir-akhir ini aku dibuat dongkol dengan kepergian ibu yang tak kunjung pulang. Aku sudah jenuh menunggu tapi, jika yang aku tunggu itu ibu, sampai hari kiamat pun akan tetap aku tunggu. Saat ini hatiku hanya penat yang tidak berkepanjangan kepada ibu. Akan aku buat sebuah cerita tentang ibu, untuk mengisi waktu luangku selama menunggu ibu.
“Alah.. kau terlalu puitis ,tanpa berjalan pun impianmu akan datang menghampirimu”sangat kentara sekali suara ibu yang meremehkan perkataanku tadi. Ini sudah yang kesekian kalinya, aku berbicara dengan ibu tentang impianku. Seribu amunisi yang sudah aku lepaska untuk meruntuhkan benteng perrahanan ibuku tapi takpernah mempan,seribu amunisi pula yang ibuku lepaskan sebagai serangan balik. Untuk saat ini kuarasa masih bisa untk membicarakannya lagi dngn ibu, selama kesabaran dan akal sehatnya masih tersisa,kurasa.dari pembicaraan ringan tentang impianku tiap harinya,kurasa ibu selalu menanggapinya sebagai lelucon. Sama sekali tak pernah ada keseriusan dari matanya selama ini.tapi dari pernyataannya selama ini tak pernah sekali pun ibu mengatakan iya.sekali pun tak pernah. Di hidupku keputusan ibu yang sangat penting, hingga ayah jarang ikut andil dalam memutuskan beberapahal dalam hidupku.aneh bukan?.untungnya dalam diriku selalu ada impulsi agresif untukmenuntut keadilan atas diriku. Sebagai pembuktian aku juga memiliki hak untuk memmmmutuskan masa depanku.
Pernah suatu saat khayalanku memberonta.andaikan saja aku tega pada ibuku kan ku laporkan ibuku pada Perlindungan HAM karena sudah melanggar hak asasi manusia dengan melarangku untuk berpendapat tentang masa depanku. Waktu terus berjalan hingga sampailah aku pada diriku yang sekarang dan menyadari betapa konyolnya diriku ini. Akan melaporkan ibu sendiri ke Perlindungan HAM.seoran ibu memang seharusnya ikut andil dalam memutuskan masa depan anaknya, sebagian orang di luar pasti berkata begitu. Dan itu meerupakan kekonyolan yang pertama,kekonyolan ini juga berlanjut. Aku mengatakan bahwa “ibuku melarangku memutuskan maa depanku”. Padahal dari keseharianku ketika bertanya kepada ibu, itu adalah sebuah bentuk ikut campurku dalam memutuskan masa depanku. Sungguh konyol bukan?. Untung saja aku masih kecil waktu itu.
Hari ini ku rasa cookuntuk membicarakan hal ya sudah lama tak aku ungkit ungkit ketika berbicara denan ibu. Akan kemana akau setelah lulus SMA?. Semga tidak hanya firasatku yang baik tapi juga keputusan ibuku. Seperti hari-hari biasa ibu berseliweran kesana kemari di dalam rumah, bak seluruh pekerjaan rumah yang bu kerjakan tak pernah selesaai. Anehnya ibuku selalu sibuk setiap harinya. Ahh…. sudahlah. Belum sampai umurku untuk membicarakan pekerjaan ibu yang berkepanjangan itu.kubangkitkan keeranian dalam diriku untuk memanggil ibu dari dalam kamar,
“ibu!”suaraku agak sedikit berteriak
“hmmmm”hanya berdehem dari luar. Sementara aku jumpalitan di dalam kamar takut takut suasana hati u sedang tidakbaik saat ini.”waktu tak selamanya berjalan bagi setiap orang! Jadi bi mumpung waktuku masih berjala, kan kukejr impianku walau sampai kenegeri seberang’perkataanku terlalu panjang lebar, tap aku pikir ibu pasti mengerti apa yangku maksud.
“gampang saha, saaat waktu brhenti, tunggu ia berjalan lagi”
“asalkan kau tahu bu, menungu adalah anugrah paling terkutuk”
“impianku tak sekecil otakmu bu, impianku melebihi tempatmu mengeram itu” ibu malah tertawa.
“Ha ha ha ha kau ingin terbang setinggi apa dengan impianmu itu?” rasa takutku tadi sudah berganti menjadi perasaan benci yang bergemuruh dan bergumul di dalam hati.
“Tentu saja lebih tinggi dari khayalanmu bu!”
“Jangan kau mengada-ngadakan yang tak ada” sepertinya percakapan yang berlangsung dari tadi memang sejalan tapi sayangnya tak searah. Aku terbakar amarah dan ibu malah meremehkan amarahku.
“Tak apa, Tuhan memang ada untuk membaik-baikkan keburukan”
“Bocah! Tinggimu masih sejajar dengan ketiakku, impianmu malah melebihi doa-doaku” ibu malah mengataiku alih-alih menasehatiku..
“Memangnya siapa yang kau bubungkan dalam doamu bu? dan setidaknya aku pernah terbang lebih tinggi dari siapa pun, walau akhirnya akan jatuh dan sakit tiada ampun” sekarang aku seperti agak mempertanyakan keibuan ibuku. Dilihat dari sudut pandang manapun aku yakin orang-orang juga akan mengatakan hal yang sama dengan diriku.
“Tak usahlah kau repot-repot nak, sudah tuhan atur semunya untukmu”
“Mungkin saja ada negosiasi antara aku dan tuhan” hanya berusaha untuk meyakinkan diri sendiri saja bahwa diantara relasi manusia dan tuhan pasti ada tawar menawar seperti di pasar.
“Dia Tuhan bukan pedagang asongan!” ucap ibu berapi-api.
“Justru karena dia Tuhan, doa- doa penuh sesak yang akan ia dengarkan”
Bukannya tanpa dalih aku berkata seperti itu, aku ini pelajar, aku tahu bahwa ada takdir tuhan yang bisa aku nego dengannya lewat perundingan kami tiap malamnya. Duduk di bangku sekolah bertahun-tahun bukan hanya belajar tentang teori Darwin, bahwa manusia bernenek moyang kera. Manusia mana yang mau di samakan dengan kera. Dan juga jika memang manusia berasal dari kera, kenapa di zaman yang semakin maju ini sudah tidak ada kera yang berevolusi menjadi manusia. Alah…..pembicaraan malah merembes kemana-mana.
Percakapan hari ini berakhir kurang mulus. Ibu lebih memilih keluar dari rumah. Dan aku lebih memilih lelap dia kamarku dengan amarah yang meletup-letup, sambil berdoa semoga masih banyak peluang untuk membicarakan hal ini dengan ibu baik di hari esok dan seterusnya. Ada hal penting yang ingin aku pertanyakan pada setiap pembaca juga pada diriku sendiri, dari perjalanan hidup yang panjang ini. Dari zaman Adam dan Hawa sampai zaman sekarang. Siapa yang sebenarnya menunggu keberhasilan. Ibu yang menunggu anaknya untuk berhasi? atau malah anak yang menunggu ibunya membuat masa depannya berhasih?. Siapa yang sebenarnya penting da lebih penting?. Dan untungna Tuhan maha Adil, akan ada yang penting karena akan ada manusia yang lebih penting.Bukankah begitu?.
Ceritaku sudah selesai, belum lama aku berdiam diri, kemudian ada telfon masuk. Cukup lama aku berbincang-bincang dengan si penelfon di seberang sana. Lalu setelah telfon berakhir aku seperti terbangun dari tidur panjang. Penelfon tadi dalah bapakku. Kenapa bapak tiba-tiba menelfon? Itulah pertanyaanku sekarang. Ternyata bapak rindu katanya. Aku hanya tersenyum, meskipun bapak tidak akan melihanya di sana. Ini bapak bukan ibu, aku menulis cerita untuk mengisi waktu luang sembari menunggu ibu datang, tapi malah bapak yang menelfon. Bapak juga menyuruhku untuk pulang di hari peringatan kematian ibu tahun ini. Ternyata waktu memang merangkak terlalu lambat. Semua kenangan bersama ibu seperti baru kemarin aku tinggalkan di rumah. Aku membiarkan bapak mengatakan semua yang ingin bapak katakan, mungkin itu unek unek yang bapak tahun beberapa tahun terakhir setelah hidup sendiri tanpa ibu. Aku takut untuk bertanya, tentang apa pun itu. Mungkin juga karena alasan ini hingga aku lupa bahwa ibu sudah tidak ada, tinggal sendiri di sebuah rumah dan jauh dari orang tua mungkin bisa membuat seseorang tersesat dalam fikirannya, hingga gampang pula untukku melupakan hal besar dan kecil yang terjadi. Dan aku juga takut bertanya karena semua hal di dunia ini dapat dipertanyakan dan tuhan pasti punya jawabannya. Dan mungkin pula hanya satu hal yang tak dapat dipertanyakan yaiu, jawaban yang tak memiliki pertanyaan. Siapa sebenarnya yang salah aku, ibu atau bapak?.
——- ### ——-