Ibu Hamil Kota Probolinggo Wajib Tes HIV/AIDS

Dinkes kota Probolinggo melakukan pemeriksaan pada ‘Purel’ berisiko tertular HIV/ AIDS.

Kota Probolinggo, Bhirawa
Mulai tahun ini, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Probolinggo mewajibkan semua ibu hamil di Kota  Probolinggo untuk melakukan pemeriksaan  HIV/Aids. Tujuannya, mengetahui resiko penularan HIV/Aids dari darah. Terutama  dari ibu hamil kepada petugas kesehatan  saat proses kelahiran. Hal ini diungkapkan dr Siti Nurul Qomariah, Sekretaris Dinkes Kota Probolinggo, Kamis (4/5).
Kebijakan ini menurutnya, baru dilakukan  tahun ini. Sementara tahun lalu, kebijakan itu hanya dilakukan secara terbatas. Tahun lalu, kewajiban tes HIV/Aids  hanya dilakukan pada ibu hamil yang  memiliki resiko tinggi. Serta pada ibu hamil yang akan melahirkan melalui  proses operasi.
Kewajiban tes HIV/Aids pada ibu yang akan melahirkan caesar bertujuan untuk  memastikan kondisi keamanan petugas kesehatan yang membantu proses kelahiran. “Jika tidak tes lebih dahulu, khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan saat proses kelahiran. Sehingga terjadi penularan virus  kepada petugas kesehatan yang membantu proses kelahiran,” lanjutnya.
Dengan adanya tes HIV/Aids kepada  ibu hamil, bisa diketahui dengan mudah apakah yang bersangkutan terinveksi  HIV/Aids atau tidak. Sehingga, petugas  bisa lebih waspada. Karna itu, mulai tahun 2017 ini, semua  ibu hamil wajib memeriksakan diri.  Baik yang resiko tinggi, maupun tidak. Baik yang melahirkan normal dan caesar. Pemeriksaan sendiri dilakukan melalui Puskesmas yang ada di Kota Probolinggo.
Pemeriksaan bisa dilakukan sejak awal  kehamilan.  Bagi ibu yang memiliki resiko tinggi dan dari keluarga miskin, akan dibebaskan  biaya tes. Sehingga, tidak membebani  mereka. “Namun penggratisan biaya tes HIV/  AIDS ini berlaku bagi kehamilan anak  pertama dan kedua saja. Ini langkah Dinas Kesehatan juga untuk mendukung program KB,” jelasnya.
Bahkan Dinas Kesehatan berencana  mengusulkan Peraturan Wali Kota tentang  kebijakan ini. Sehingga, bisa menguatkan  kewajiban tes HIV/Aids bagi ibu hamil. Lebih lanjut dikatakan, perkembangan HIV/AIDS di Kota Probolinggo memasuki tahap kritis. Jumlah penderita dari waktu ke waktu menunjukkan tren naik. Kasus terakhir, Mei ini ditemukan lagi satu terduga (suspect) penderita HIV di Kecamatan Kedopok.
Berdasarkan data yang dirilis Dinas Kesehatan Kota Probolinggo per April 2016, jumlah penderita sampai tahun 2016 sebanyak 190 orang. Jumlah ini belum termasuk suspect yang tak terkover dalam data atau belum terdeteksi karena ketertutupan penderita.
Dari jumlah tersebut, penderita laki-laki sebanyak 125 orang, dan penderita perempuan sebanyak 65 orang. Sebanyak 52 di antara penderita dilaporkan meninggal dunia. Jumlah yang meninggal ini belum termasuk penderita yang tak terdeteksi.
Versi Dinas Kesehatan, jumlah yang meninggal pada tahun 2016 sebanyak 2 orang. Sedangkan versi manajer kasus (MK) atau pendamping penderita HIV/AIDS pada sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Probolinggo, Badrut Tamam, yang meninggal pada tahun 2016 sebanyak 5 orang.
Meski selisih data kematian antara manajer kasus di sektap KPA dan Dinkes tidak mencolok, namun perbedaan ini menunjukkan tidak adanya koordinasi dan sinkronisasi. Kondisi ini sangat ironis mengingat Dinkes sebagai leading sector dalam hal penanggulangan AIDS. Dinkes tampak kurang optimal sehingga sampai sekarang pun, rencana strategis dalam rangka penanggulangan AIDS tak dimiliki, tandasnya.
Tidak adanya program yang jelas dan tren jumlah penderita yang meningkat, meyakinkan bahwa situasi ini benar-benar dalam kondisi kritis. Sekretaris Sektap KPA Sukardi Mitho mengatakan, kondisi Kota Probolinggo sudah masuk dalam kategori darurat. “Ini sudah darurat, dan perlu cara-cara yang luar biasa. Sangat mencemaskan melihat tren peningkatan ini,” ujar Sukardi.
Menurutnya, masalah utama dari upaya penanggulangan AIDS lebih kepada koordinasi dan sinkronisasi. Diakuinya bahwa selama ini masalah koordinasi dan sinkronisasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. “Kemarin kami mendapatkan satu penderita lagi. Kami sendiri tetap jalan meski dukungan pemerintah tidak ada. Mari kita bangun komitmen, bahwa masalah ini adalah persoalan kita, persoalan kemanusiaan. Jangan diseret ke persoalan honor. Sampai saat ini, tanpa honor pun kami terus bekerja. Yang penting koordinasi dan sinkronisasi antar lembaga terkait yang harus jalan,” tambah Badrut Tamam. [wap]

Tags: