Ibukota Makin Terendam

Karikatur Banjir Jakarta.jpgIBUKOTA negara masih terendam banjir. Padahal Jakarta sudah pernah dinyatakan darurat  banjir, sejak pertengahan Januari (2014) tahun lalu. Bahkan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) memulai program rekayasa cuaca. Agaknya, penanggulangan bencana banjir tidak cukup hanya dengan manajemen dan teknologi pengurangan genangan, tetapi juga penataan lingkungan. Termasuk menegakkan peraturan tata-ruang dan wilayah (RTRW).
Presiden pun sudah pernah menyingsingkan celana (sampai lutut), karena istana negara kebanjiran. Andai istana akan terus kebanjiran, toh takkan sampai menganggu aktifitas ekonomi maupun politik. Boleh jadi, cukup baik untuk pencitraan politik. Yakni, yang dirasakan rakyat, dirasakan pula oleh “penghuni” istana (walau tidak membutuhkan bantuan pangan).
Program rekayasa cuaca pernah dicoba. Yakni menghardik awan ke arah laut, agar hujan jatuh di perairan laut Jawa. Bukan di areal  daratan Jakarta. Kawasan sekitar ibukota (Tangerang dan Bekasi) juga mesti di-mitigasi untuk mengurangi banjir. Jika tidak, dampaknya pasti menghambat perekonomian dan menyebabkan inflasi (terutama harga bahan pangan). Tetapi rekayasa cuaca dilakukan bagai “setengah hati.”
Trauma banjir Jakarta, siapa tak miris? Sampai ibukota dinyatakan dalam situasi darurat banjir. Istana Merdeka pun tak luput dari genangan air setinggi 20 cm. Lebih lagi curah hujan di ibukota selalu menjunjukkan tren terus meningkat rata-rata lebih dari 20 milimeter per-bulan dibanding normalnya. Paradigma meteorologi memastikan, bahwa peningkatan  curah hujan disebabkan naiknya suhu udara. Saat ini Jakarta semakin hangat.
Suhu yang semakin hangat ini mengundang massa uap udara berpindah dari tempat rendah ke tempat yang semakin tinggi, dalam hal ini dari lautan ke daratan Jakarta. Dengan paradigma itu Surabaya juga memiliki tren yang sama, terutama Surabaya Barat. Beberapa daerah di Jawa Timur sebenarnya memiliki potensi terdampak bencana dampak banjir melebihi Jakarta. Begitu pula potensi tanah longsor bisa lebih parah dibanding Cianjur maupun Sukabumi (Jawa Barat).
Sehingga semestinya seluruh masyarakat (terutama Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota) mewaspadai tren cuaca ekstrem. Termasuk mitigasi untuk mengurangi dampak banjir. Dulu pernah digagas (dan sudah dipraktikkan) rekayasan cuaca. Diawali dari Jakarta, jatuhnya hujan coba dikendalikan melalui Iptek (Ilmu Pengetahuan dan teknologi). Ternyata murah dan mudah. Bahan dasarnya cuma bubuk garam dapur.
Konon hanya dengan 100 ton garam, sudah cukup untuk menghindarkan ibukota dari banjir bandang. Setahun berlalu, saat ini, ancaman dampak bencana banjir masih tetap. Boleh jadi, istana negara juga tetap terancam banjir. Bahkan Gubernur DKI (saat itu Jokowi) sudah memerintahkan pintu air yang mengarah ke istana dibuka. Ini untuk mengurangi banjir di daerah yang paling parah terdampak.
Tetapi sesungguhnya, bencana tak pernah datang tiba-tiba. Selalu ada semacam early warning alamiah, berupa gejala bencana. Namun, sejak banjir bandang (besar) pertama, satu dekade lalu, permasalahannya tetap. Curah hujan tinggi yang tak terserap bumi dari daerah puncak (Bogor) tak terbendung masuk Jakarta. Selalu seperti itu. Yang berbeda, kawasan yang terendam makin meluas. Seolah-olah pemerintah (dan pemerintah DKI) tidak berbuat apapun.
Masyarakat daerah di luar ibukota juga menghadapi situasi serupa. Karena daya dukung wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) semakin menyusut. Ini yang menyebabkan selalu meluberkan air. Antaralain sungai Bengawan Solo tidak hanya mengalir sampai (akhirnya) ke laut, melainkan juga menerjang sawah dan merendam perkampungan.
Cara sistemik (penerapan teknologi rekayasa cuaca) mesti dilaksanakan lebih masif. Namun DAS juga harus tetap dijaga ketat, tidak boleh “ditanami” pabrik dan rumah tinggal. Sebagaimana amanat UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mestilah kukuh menjaga lingkungan hidup.

                                                                                     ————— 000 —————–

Rate this article!
Ibukota Makin Terendam,5 / 5 ( 1votes )
Tags: