Ibukota PSBB “Berat”

Jakarta kembali melaksanakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang “diperberat” dibanding masa transisi. Kurva paparan CoViD-19 selalu membubung dalam sepekan terakhir. Kasus baru per-hari, lebih dari seribu orang dinyatakan positif, mayoritas OTG orang (tanpa gejala). Namun daerah sekitar, Tangerang Raya (propinsi Banten), serta Bekasi Raya, Depok, dan Bogor Raya (Jawa Barat) tidak turut melakukan PSBB.

Dampak PSBB di propinsi DKI Jakarta akan sangat menyusutkan perekonomian. Terutama pergerakan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sektor perindustrian, serta perdagangan berskala nasional, dan global. PSBB menjadi roadmap status darurat disesuaikan dengan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pada pasal 10 ayat (1), dinyatakan “Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.”

Pada pasal 10 ayat (2) juga dinyatakan wewenang pemerintah pusat menetapkan karantina wilayah di dalam negeri yang terjangkit. PSBB sebagai upaya karantina dilaksanakan berpedoman pada Permenkes 9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB. Kriteria utama pengajuan status PSBB, tercantum dalam pasal 2 Permenkes. Yakni, jumlah kasus (dan kematian) meningkat secara signifikan dan cepat (menyebar). Disertai kurva epidemiologi.

Status PSBB tingkat propinsi menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pengajuan disertai lima persyaratan teknis, yang pasti telah tercatat oleh setiap Pemda. Persyaratan paling penting tercantum dalam pasal 4 ayat (5). Yakni, informasi kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, dan sarana kesehatan. Juga wajib menyertakan program aksi jaring pengaman sosial, aspek keamanan dan ketertiban.

Seperti PSBB pertama dilaksanakan secara nasional. Terasa pedih secara psikis, fisik, ekonomi, dan sosial. Seluruh bandara di Indonesia ditutup sementara sampai 1 Juni, sebagai upaya memutus rantai pewabahan virus corona. Seluruh rute penerbangan domesik, dan internasional, tidak melayani penumpang umum. Termasuk pesawat penumpang pribadi (carter). Hal yang sama juga dilakukan pada seluruh terminal angkutan darat (terminal). Juga seluruh stasiun kereta api, dan di pelabuhan (angkutan laut dan penyeberangan).

Konon penyebaran CoViD-19 yang masih tinggi di Jakarta, dipicu kluster transportasi. Dampak kebijakan ganji-genap, menyebabkan “kerumunan” di dalam mobil angkutan (umum dan pribadi). PSBB yang “diperberat” di Jakarta bakal dilaksanakan 14 September ini. Seluruh perkantoran akan ditutup (bekerja dari rumah). Tiada sekolah dan kampus perguruan tinggi yang buka. Begitu pula tempat ibadah ditutup. Hanya tempat ibadah lokal tingkat area setara RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga) zona hijau yang boleh dibuka.

PSBB yang “diperberat” akan secara ketat melaksanakan social distancing, dan physical distancing. Seluruh pusat perbelanjaan akan ditutup. Kecuali pasar yang menjual bahan pangan di-izinkan buka terbatas. Warung makan (dan warung kopi) boleh buka, tetapi dilarang melayani dine-in (makan di tempat). Seluruh warung makan hanya melayani pembelian dibungkus, dan pesanan secara online.

Tetapi pelaksanaan PSBB harus tetap menjaga alur distribusi, terutama sektor pangan, dan obat-obatan. Serta mempertimbangkan sektor manufaktur (industri pengolahan) yang telah mulai bangkit. Pemerintah (pusat) wajib melindungi kepentingan nasional, dengan mencermati seksama PSBB yang “diperberat” di Jakarta. Beberapa daerah lain juga belum layak mengakhiri masa transisi PSBB, masih perlu dilanjutkan.

Maka perlu digali cara karantina yang lebih sempit. Misalnya PSBB ketat tingkat RT dan RW sampai kelurahan. Namun tidak mudah hidup dalam tekanan pembatasan (PSBB), bisa mengubah psikologis setiap orang. Lebih lagi banyak yang kehilangan mata nafkah, menjadi miskin. Pemerintah perlu menyeimbangkan ketahanan kesehatan beriringan dengan ketahanan perekonomian.

——— 000 ———

Rate this article!
Ibukota PSBB “Berat”,5 / 5 ( 1votes )
Tags: