IDI Sebut Sistem Rujukan Baru BPJS Perlambat Pelayanan Medis

Surabaya, Bhirawa
Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Nomor No 4 Tahun 2018 yang diterapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, mengenai layanan pengobatan berjenjang atau rujukan berobat menuai berbagai penolakan. Kali ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Surabaya menilai peraturan baru tersebut dianggap memperlambat pelayanan medis.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Surabaya Brahmana Askandar mengatakan BPJS Kesehatan tidak seharusnya menetapkan aturan baru tersebut. Karena, ia menilai kualitas pelayanan medis yang tersebar di Kota Surabaya masih belum merata. “Kami menolak peraturan baru itu. Ini kan prosesnya harus berjenjang, dan rumah sakit di Surabaya masih belum merata,” kata Brahmana, Kamis (27/9).
Diketahui, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan BPJS Kesehatan No 4 Tahun 2018 yang baru saja diterbitkan itu mengatur tentang warga pengguna BPJS tidak bisa lagi meminta rujukan ke rumah sakit yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Namun, harus dimulai dari jenjang Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau rumah sakit tipe D. Jika tidak mampu, kemudian bisa dirujuk ke rumah sakit tipe C, B dan A.
Sementara itu, kata dia, jumlah rumah sakit di Surabaya yang telah ikut BPJS sebanyak 48 dan lokasinya belum merata. Rinciannya yakni, 9 rumah sakit tipe D, 13 rumah sakit tipe C, 10 rumah sakit tipe B dan 3 rumah sakit tipe A. Sedangkan, untuk rumah sakit khusus, ada 6 terbagi tipe B, C, dan D.
“Seperti rumah sakit tipe D lokasinya kan belum tersebar di Surabaya. Sehingga hal itu dapat berimbas memperlambat pelayanan medis. Otomatis kualitas pelayanan medis akan menurun,” ujarnya.
Di sisi lain, peraturan baru itu bertentangan dengan UU No 36 Tahun 2016 pasal 5 tentang kesehatan. Dalam ayat pertama disebutkan bahwa setiap orang berhak dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Ke dua, Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman bermutu dan terjangkau. Dan ke tiga, setiap orang juga berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Menanggapi hal tersebut, Brahmana mengaku, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya dan Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) untuk melakukan penolakan. Pihaknya berharap agar BPJS Kesehatan kembali merevisi peraturan baru tersebut. “Kami berharap pihak BPJS Kesehatan bisa meninjau ulang peraturan baru itu,” tegasnya.
Brahmana menambahkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan No 4 Tahun 2018 bisa diaplikasikan di Surabaya, jika sarana prasarana, lokasi, dan kemampuan pada pelayanan kesehatan medis di Kota Surabaya dianggap sudah merata. “Jika pelayanan medis di Surabaya sudah merata, baru bisa diterapkan peraturan tersebut,” tandasnya. [iib]

Tags: