Idul Fitri, Momentum Pencerahan Manusia

Oleh :
Nanang Qosim
Dosen Agama Islam Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Kemenkes Semarang

Idul fitri merupakan fase kembali pada kesucian yang notabene sebagai produk akhir dari puasa ramadan. Disinilah terdapat sinergi spiritualitas hubungan manusia secara vertikal kepada Allah swt. dengan interaksi sosial , sesama hamba Allah swt. Setelah berpuasa satu bulan penuh, ditutup dengan tradisi halal bi halal yang merupakan sebuah momentum saling membuka hati dan kesempatan untuk saling bermaafan. Tidak ada sekat yang memisahkan antar umat muslim, baik yang tua, muda, kaya, miskin, maupun anak-anak, semua membaur menjadi satu sebagai tanda kemenangan dan keindahan atas hadirnya keagungan hari yang fitri.

Prosesi mudik lebaran membuat semua umat muslim sepertinya tidak peduli dengan persoalan efisiensi dan penghematan. Bahkan seluruh potensi keuangan yang didapat selama setahun penuh di perantauan akan dihabiskan hanya dalam waktu beberapa hari disaat lebaran tiba. Idul fitri disakralkan sebagai serba baru, pakaian baru, perabotan rumah baru, mobil baru, dan sebagainya, sebagai lambang kemenangan. Ada ungkapan, siapa yang mampu berkonsumsi secara sempurna maka dialah yang menjadi pemenang.

Konsumsi menjadi praktik sosial yang selain untuk mereguk kenikmatan, juga penanda kemampuan untuk berpartisipasi dalam sebuah perayaan sakral. Konsumsi adalah realisasi kebahagiaan Sebagai praktek bersyukur, sehingga hari raya idul fitri telah terlanjur akrab dengan perilaku konsumtif, bahkan hiperkonsumsi. Akibatnya tidak terlalu mengagetkan jika harga barang pun naik diluar perhitungan. Tidak jarang diantara pemudik yang memanfaatkan momentum lebaran sebagai ajang unjuk kehebatan dan pamer kekayaan yang menggambarkan bahwa dirinya telah sukses diperantauan.

Dapat kita bayangkan jutaan orang bergerak dari satu titik ke titik yang lain, untuk mudik ke kampung halaman. Misi utamanya adalah bersilaturahmi, sungkem kepada orang tua dan sanak keluarga, disamping itu juga sekaligus bernostalgia di tempat mana mereka dilahirkan dimuka bumi ini.

Jika kita kalkulasi secara total pergerakan umat muslim dalam prosesi mudik lebaran tentunya ongkos ekonominya mencapai puluhan bahkan ratusan triliun rupiah. Sungguh merupakan sebuah kekuatan yang maha dahsyat. Pertanyaannya apakah secara ekonomi prosesi menyambut lebaran sebagai pemborosan dan menghambur-hamburkan uang? kita sulit untuk menganalisanya.

Yang pasti hidup ekonomis harus tetap menjadi pilihan umat muslim. Dalam hidup ekonomis berlaku pemenuhan kebutuhan bukan keinginan. Anggaran pokok tidak hanya kebutuhan sehari-hari, tetapi juga ada anggaran infaq atau zakat dan juga anggaran lainnya seperti naik haji. Pentingnya hidup ekonomis hendaknya disadari umat muslim sejak dini, mengingat semua orang saat ini terjebak dalam kubangan utang, bukan karena tidak cukup uang, tetapi lebih karena hidup boros. Mereka terjebak pada pemenuhan keinginan bukan pada pemenuhan kebutuhan. Karena itu prosesi mudik lebaran hendaknya menjadi bahan perenungan bagi kita semua, bahwa umat muslim harus bangkit dan terhindar dari malapetaka yang namanya kemiskinan, kebodohan dan kemelaratan. Sungguh sangat prihatin di negara yang mayoritas penduduknya muslim, namun kita sulit sekali menemukan orang muslim yang kaya dan punya pengaruh strategis serta peduli dengan sesama umatnya.

Manusia terlahir memilki karakteristik yang berlawanan, yaitu dari sisi jasadnya dan dari sisi ruhnya. Dari asal jasadnya manusia cenderung berperilaku menyimpang yaitu bersifat angkuh, murka, dan mengutamakan kesenangan hidup duniawi. Sementara itu dari asal ruhnya, manusia berperilaku lemah lembut, baik, cinta kasih dan selalu berkorban demi kepentingan publik serta menolong sesama.

Sifat jasadiyah itulah yang membuat manusia sering terbawa nafsu angkara murka, tamak dan mengutamakan keuntungan pribadi serta kelompoknya. Tanpa ia sadari sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari bergelimang dengan dosa. Ia memang telah berhaji, berjanggut, berbaju taqwa tapi korupsi, manipulasi dan mengkotak katik angka dalam kwitansi terus ia jalankan demi untuk keuntungan pribadi.

Kita terlalu sering terjebak oleh simbol dan tradisi tanpa diikuti dengan perenungan hati, sehingga nilai-nilai sakral idul fitri tidak dapat dijadikan sebagai terapi hati dan terapi sosial yang merupakan internalisasi sikap dan akhlak. Akibatnya, sepeninggal idul fitri kita kembali pada zona kenyamanan meskipun secara batiniah bertentangan dengan hati nurani.

Maka yang biasa korupsi akan kembali asyik dengan penyelewengannya, yang menjadi hakim dan jaksa kembali kepada kebiasaan lama jual beli keadilan, yang menjadi pejabat asik bermain projek untuk memperkaya diri, yang menjadi wakil rakyat asik berpetualang mengurus gratifikasi termasuk memberi gratifikasi cinta, dan tidak mau ketinggalan para pebisnispun asik berspekulasi. Seakan perayaan idul fitri dipandang sebagai pesta kebahagiaan duniawi, sebagai simbul kemewahan, dan ajang unjuk kehebatan dan kekayaan.

Oleh karena itu marilah kita pada momentum idul fitri kita kembali kepada ajaran agama kita untuk membiasakan membangun sikap hidup yang amanah. Kita maksimalkan yang menjadi hak, dan kita lupakan yang bukan menjadi hak. Atas nama Allah menyebarkan kedamaian, keselamatan dan ketenteraman peradaban manusia. Inilah makna sejati setelah satu bulan penuh kita berpuasa, yang ditutup dengan idul fitri. Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

——— *** ———-

Tags: