Iduladha untuk Ketahanan Pangan

Oleh :
Sutawi
Dosen Fakultas Pertanian Peternakan Univ. Muhammadiyah Malang

Idul Adha (Idul Kurban) memiliki dimensi ritual dan dimensi sosial. Selama masa pandemi Covid-19 masih berlangsung, Idul Kurban tidak sekadar ibadah ritual, tetapi dapat dimaknai lebih dalam sebagai upaya mendukung ketahanan pangan.

Menurut UU No. 18/2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.

Pandemi Covid-19 berpotensi menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity) bahkan dapat memicu darurat pangan (food emergency) karena belum pasti kapan akan berakhir. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologi bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat.

Menurut FAO, sebuah negara dikatakan mengalami darurat pangan jika kekurangan pasokan pangan relatif terhadap kebutuhan konsumsinya akibat bencana alam, lingkungan, dan/atau kemanusiaan, dan karena itu membutuhkan bantuan pangan dari luar.

Setelah melaksanakan sholat Idul Adha pada 10 Dzulhijah dalam penanggalan Hijriyah, umat Islam di seluruh dunia, termasuk 235 juta (87,2%) penduduk muslim Indonesia diperintah Allah untuk menyembelih hewan kurban dan membagi daging kurban. Idul Kurban merupakan momentum tahunan berbagi daging kurban sumber protein hewani kepada masyarakat. Ibadah kurban ini mendukung sistem ketahanan pangan pada tiga subsistem sekaligus, yaitu ketersediaan pangan (food availability), keterjangkauan pangan (food accessibility), dan konsumsi pangan (food consumption).

Pertama, ketersediaan daging. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementan, jumlah pemotongan hewan kurban pada Idul Adha 2019 mencapai 1.346.712 ekor, terdiri dari 376.487 ekor sapi, 12.958 ekor kerbau, 716.089 ekor kambing dan 241.178 ekor domba.

Menurut Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla, Indonesia memiliki masjid dan mushola terbanyak di dunia sejumlah 800.000. Ini berarti setiap masjid atau mushola menyembelih 1-2 ekor hewan kurban. Seekor sapi/kerbau seberat 350 kg menghasilkan karkas (daging dan tulang) 175 kg (50%), sedangkan kambing/domba seberat 30 kg menghasilkan karkas 13,5 kg/ekor (45%). Jika tahun ini terdapat 1.350.000 ekor (390.000 ekor sapi/kerbau dan 960.000 ekor kambing/domba) disembelih sebagai hewan kurban, maka diperoleh 81.210.000 kg daging kurban.

Kedua, keterjangkauan daging. Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, daging sapi dan daging kambing masih termasuk barang mewah. Hasil jajak pendapat Kompas pada 689 responden berusia minimal 17 tahun di 12 kota besar pada Agustus 2015 memaparkan bahwa frekuensi konsumsi daging sapi Indonesia masih rendah. Dalam satu bulan, sebanyak 42,4 persen responden mengaku mengonsumsi daging sapi segar hanya 1-2 kali. Bahkan, sebesar 20 persen tidak pernah mengonsumsi daging sapi dalam sebulan (Kompas.com, 2015).

Pendapatan dan harga merupakan penyebab utama penduduk Indonesia jarang mengonsumsi daging. Harga harga daging sapi dan kambing Rp 110-120 ribu/kg tergolong susah dijangkau oleh sebagian besar penduduk Indonesia yang berpendapatan Rp 4,93 juta/kapita/bulan. Pada masa pandemi Covid-19 semakin banyak penduduk yang tidak mampu membeli daging karena pendapatan dan daya beli menurun. Pemerintah memperkirakan sebanyak 1,8-3,78 juta orang Indonesia akan jatuh miskin dan 3,0-5,2 juta kehilangan pekerjaan selama pandemi Covid-19. Daging kurban yang dibagikan secara gratis kepada masyarakat di sekitar masjid dan mushola atau dikirim ke berbagai daerah merupakan bentuk kepedulian sosial mengatasi ketidakmampuan masyarakat membeli daging.

Ketiga, konsumsi daging. Konsumsi daging sapi/kerbau penduduk Indonesia tergolong rendah, baru sebanyak 2,56 kg/kapita/tahun, sedangkan daging kambing/domba 0,052 kg/kapita/tahun. Konsumsi daging tersebut berada di bawah Malaysia 4,8 kg, Filipina 3,1 kg, dan Vietnam 9,9 kg.

Sesuai pedoman Pola Pangan Harapan (PPH), setiap orang idealnya mengonsumsi pangan hewani 161 g/hari, tetapi baru tercapai 125 g/hari. Jika tahun ini terdapat 1.350.000 ekor (390.000 ekor sapi/kerbau dan 960.000 ekor kambing/domba) disembelih sebagai hewan kurban, seperti Idul Adha tahun 2019, maka diperoleh 81.210.000 kg daging kurban. Jika daging kurban sebanyak itu dibagi merata untuk 269 juta penduduk Indonesia, maka setiap orang akan memperoleh daging secara gratis sebanyak 0,30 kg.

Daging kurban dengan kadar protein 20% adalah sumber protein hewani. Daging mempunyai nilai biologi (NB) antara 80-90. Nilai biologis adalah persentase protein yang dapat diserap oleh tubuh. Bahan makanan dengan NB tinggi (70-100) menandakan kandungan asam amino yang lengkap dan tinggi. Konsumsi protein hewani penduduk Indonesia hanya 15,78 g yang berasal dari ikan 8,23 g, daging 4,2 g, dan telur dan susu 3,35 g. Konsumsi protein hewani tersebut juga tergolong rendah dan berada di bawah konsumi protein hewani Thailand dan Filipina antara 40-50 g, dan Malaysia dan Brunei Darusalam sekitar 50-60 g.

Rendahnya konsumsi protein hewani tersebut merupakan salah satu faktor penyebab tingginya angka prevalensi stunting (balita pendek) di Indonesia. Stunting didefinisikan sebagai kondisi anak usia 0-59 bulan, di mana tinggi badan menurut umur berada di bawah minus 2 Standar Deviasi dari standar median WHO. Kemenkes (2018) memperkirakan ada 37,2 persen anak usia 0-59 bulan atau sekitar 9 juta anak Indonesia dengan kondisi stunting, yang berlanjut sampai usia sekolah 6-18 tahun.

Selain pendapatan dan harga, faktor kebiasaan juga turut menyumbang rendahnya konsumsi daging. BPS (2018) mencatat pengeluaran kelompok makanan sebesar Rp 527.956/kapita/bulan. Pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli rokok Rp 65.586 (12,42%), mengalahkan pengeluaran untuk kebutuhan pangan seperti beras Rp 61.455 (11,64%), ikan Rp 40.478 (7,67%), daging Rp 24.978 (4,73%), dan telur dan susu Rp 29.357 (5,56%).

Fakta tersebut membuktikan bahwa penduduk Indonesia lebih menyukai racun nikotin rokok penyebab penyakit jantung, paru-paru, kanker, dan gangguan kehamilan dan janin itu daripada daging sumber protein hewani yang menyehatkan badan dan mencerdaskan pikiran. Idul Kurban bisa dijadikan momentum untuk mengubah kebiasaan, mengalihkan pengeluaran untuk membeli rokok yang mudarat dengan membeli daging yang manfaat.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: