Ikhlas Gaji Minim dan 11 Tahun Numpang Pick Up Sayur Menuju Sekolah

Ambar Susanti saat mendatangi siswa ke rumah dalam belajar luring. Dia terpaksa datang ke rumah karena siswa tidak memiliki smartphone. [wiwit agus pribadi]

Kisah Dua Guru Inspiratif di Kabupaten Probolinggo
Kab Probolinggo, Bhirawa
Apresiasi tinggi perlu diberikan bagi para guru di momen Hari Guru Nasional. Tak terkecuali Ambar Susanti, guru SD Negeri Mentor II, Probolinggo. Setiap hari, guru SD Negeri Mentor II mendatangi muridnya satu per satu untuk memberikan materi pelejaran. Dia tetap bersemangat meski gaji kecil.
Belasan kilometer terpaksa Ambar Susanti tempuh untuk bisa bertemu murid-muridnya. Sebab, sejak pandemi Covid-19, sekolah tatap muka ditiadakan. Sebagai gantinya, semua siswa belajar dari rumah dan sekolah secara daring. Namun, di SDN Mentor II, Probolinggo, aktivitas ini tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya.
Sebab, banyak di antara siswa tidak memiliki gadget. Kalaupun ada, jaringan juga sulit. Sementara paket kuota internet juga terbatas. “Maka, solusinya harus mendatangi murid satu persatu. Sebab, kalau tidak begini anak-anak tidak bisa sekolah. Ketinggalan pelajaran,” katanya.
Ambar mengakui butuh kerja keras untuk bisa keliling mengajar. Sebab, lokasinya cukup jauh. Meski begitu, warga Jalan Mastrip, Kecamatan Kedopok, Kabupaten Probolinggo ini tetap semangat. “Demi anak-anak,” tegasnya.
Sebagai guru honorer, perjuangan Ambar ini tentu luar biasa. Sebab, upah yang didapat sangat kecil. Tidak sebanding dengan usahanya berkeliling, mendatangi rumah siswanya satu persatu. Tetapi, Ambar tetap ikhlas menjalaninya. Ambar mengaku, agar tetap bisa hidup, dia juga bekerja sambilan. Dia membuat barang kerajinan tangan untuk dijual. “Saya membuat kain rajut untuk dijual. Lumayan untuk menambah penghasilan,” katanya.
Bagi Ambar, mengajar merupakan segalanya. Karena itu, dia tetap ikhlas mengajar meski gaji tak seberapa. Bahkan, saat disinggung statusnya yang masih guru honorer, Ambar memilih diam. “Jangan membahas honorer, kurang etis. Terpenting saya bisa terus mengajar,” tuturnya.
Ambar mengaku sudah 15 tahu mengajar sebagai guru honorer. Namun hal itu dilalui dengan bahagia. “Menjadi guru itu pilihan hidup saya,” katanya. Namun, Ambar berpesan , agar pihak sekolah tetap mendukung para tenaga honorer, termasuk hak dan kewajiban tenaga honorer. “Seperti yang saya alami, dampak pindah-pindah tugas sekolah, akibatnya data saya tidak masuk ke (pemerintah) pusat. honor tidak terbayar,” katanya.
Demikian pula dengan perjuangan seorang guru wanita di Kota Probolinggo, juga patut mendapatkan acungan jempol. Lestari Rahayu warga RT 04 RW 14 Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo mengabdikan dirinya sebagai tenaga pendidik di daerah pegunungan, dengan jarak tempuh menuju sekolah sekitar 45 kilometer dari rumahnya.
Profesi sebagai guru ia lakukan sejak 2010 lalu, ia merintis SMPN 5 Sumber salah satu sekolah satu atap yang berada di lereng pegunungan Tengger, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo. Hanya 20 orang siswa saat pertama kali ia mengabdikan diri di sekolah itu. Selama setahun ia pun harus rela mengajar tanpa digaji.
Tak sampai disitu, Yayuk panggilan akrabnya harus berjuang menuju ke sekolah 2 kali dalam sepekan di masa-masa awal dan 5 hari dalam sepekan hingga saat ini. Tanpa gaji, Yayuk mesti berangkat ke sekolah sekitar pukul 05.30 pagi. Ia menumpang mobil penumpang umum (MPU) dari Kecamatan Bantaran dengan tarif Rp15.000 untuk sampai ke sekolah di Desa Ledokombo, Kecamatan Sumber.
“Ke Bantaran itu saya diantar teman mas, karena mobil angkutannya berangkat dari sana. Tapi hanya bertahan satu tahun, sebab mobil angkutan jarang berangkat pagi,” katanya.
Setahun berlalu, Yayuk beralih menggunakan MPU ke pick up atau truk sayur. Alasannya karena bisa berangkat lebih pagi untuk ke sekolah. Tumpangan pick up sayur itu ia jalani hingga saat ini secara gratis. “Setelah ga ada MPU saya berganti menumpang angkutan sayur yang mau naik ke daerah atas,” ungkapnya.
Yayuk diangkat sebagai tenaga guru tidak tetap (GTT) pada 2017, ia pun mendapat honor Rp1,3 juta perbulan. Sebelumnya, selama 7 tahun Yayuk hanya mendapat gaji Rp150.000 perbulan. “Setelah setahun ngajar tanpa gaji, akhirnya saya digaji 150 ribu per-bulan. Tahun 2017 saya diangkat sebagai GTT,” tandasnya.
Saat pulang dari sekolah, Yayuk harus kembali berjuang untuk kembali sampai ke rumah. Jam pulang sekolah yang cukup siang sering kali membuatnya sampai ke rumah sore bahkan malam hari.
Menumpang kendaraan pengangkut sayur dengan jarak tempuh yang cukup jauh, tentu menjadi kekhawatiran pihak keluarga. Kakak tertua Yayuk sempat melarangnya mengajar di daerah pegunungan, begitu juga ibunya, Mukya juga memintanya berhenti mengajar.
Namun setelah dijelaskan bahwa mengajar sebagai pengabdian, keluarga Yayuk pun kembali menerimanya. “Sempat dilarang sama kakak dan ibu saya. Saya kan perempuan, menumpang pick up sayur lagi, jadi mereka pasti khawatir,” paparnya.
Sarjana Ekonomi lulusan Universitas Panca Marga (UPM) Probolinggo 2007 itu pun bertemu jodoh yang menjadi suaminya saat ini, Sunarto (47). Pertemuan itu terjadi dari tumpangan demi tumpangan pick up sayur. Sunarto merupakan salah satu supir yang kendaraannya biasa Yayuk tumpangi untuk berangkat ke sekolah.
Suaminya yang diterima sebagai supir di sebuah perusahaan, tak membuat Yayuk berhenti mengabdikan diri sebagai guru. Bahkan saat diminta memilih mengajar di pegunungan atau di tengah kota, Yayuk memilih tetap bertahan mengajar di daerah terpencil. “Ya namanya sudah kadung cinta sama sekolah itu mas, saya memilih tetap ngajar disana,” tambahnya. [wiwit agus pribadi]

Tags: