Ilusi Media Sosial sebagai Ruang Publik Virtual

Oleh:
Eko Setiawan, S.I.Kom.,M.Med.Kom
Mahasiswa Program Doktoral FISIP Universitas Airlangga,
Kasi Sumber Daya Komunikasi Publik Dinas Kominfo Prov. Jatim

Tepat kah jika kita menyebut media sosial saat ini sebagai ruang publik baru? Pertanyaan tersebut tentu akan menghasilkan jawaban beragam. Lebih dari pada itu, pertanyaan ini penting untuk menegaskan apakah opini publik yang ada di media sosial-yang ingin ditahbiskan sebagai ruang publik baru itu-adalah suara masyarakat, suara rakyat. Apakah suara di media sosial tersebut adalah vox populi dalam falsafah kaum demokratis: vox populi vox dei.

Ruang publik, dalam khazanah ilmu sosial, kerap kali merujuk pada teori public sphere yang dikemukakan Juergen Habermas dalam bukunya The Structural Transformation of Public Sphere: An Inquiry Into a Category of Bourgeois Society (1989). Ruang publik ideal pada masa itu adalah lahirnya kafe-kafe di Kota Paris, Perancis tempat warga Paris membicarakan secara bebas pemerintahan borjuis pada saat itu. Disebut ruang publik, selain karena di tempat tersebut menyediakan ruang dalam definsi spasial, juga ruang dalam definisi kesempatan, bagi publik untuk bicara apapun.

Dalam era masyarakat sekarang, ruang spasial tersebut telah dilipat dalam ruang yang disebut media sosial. Hingga ruang publik fisik tersebut berubah rupa menjadi ruang publik virtual. Namun perubahan fisik ruang ini apakah dengan serta merta menjadikan ruang media sosial sebagai ruang publik baru? Belum tentu.

Ada beberapa hal yang digarisbawahi oleh Habermas untuk menyebut apakah sebuah ruang dapat disebut sebagai ruang publik atau tidak selain sebentuk ruang (fisik maupun virtual) dan orang-orang (publik) yang ada di dalamnya. Pertama, harus ada komunikasi intersubjektif di antara individu yang ada di ruang-ruang tersebut. Kedua, harus tercapai konsensus dari komunikasi intersubjektif tersebut. Namun sebelum pada pencapaian konsensus, komunikasi di dalam ruang publik tersebut harus lulus uji kesahihan yang berdasarkan pada empat klaim kesahihan yang dikemukakan Habermas.

Empat tipe klaim kesahihan itu adalah: Pertama, ucapan-ucapan pembicara dilihat dari apa yang dapat dimengerti, dapat dipahami. Kedua, Proposisi yang diberikan oleh pembicara benar, yakni pembicara sedang memberikan pengetahuan yang dapat diandalkan. Ketiga, pembicara selalu jujur dan tulus dalam memberikan proposisi itu; pembicara dapat diandalkan. Keempat, benar dan pantaslah bagi pembicara untuk mengucapkan proposisi-proposisi demikian; ia mempunyai dasar-dasar normatif untuk berbuat demikian (Morris dalam Rizter, 2012).

Secara ringkas, Habermas ingin menyebut jika suatu ruang ingin disebut sebagai ruang publik lihat terlebih dahulu apakah ucapan mereka yang bicara dapat dipahami; apakah konten pembicaraan adalah sesuatu yang dapat menambah khazanah pengetahuan; apakah pembicara dalam ruang tersebut punya kredibilitas dan kompetensi untuk bicara hal tersebut; Dan apakah ucapan pembicara dalam ruang tersebut mempunyai dasar.

Empat hal ini lah yang harus diperhatikan lebih lanjut jika ingin melihat apakah sebuah ruang dapat disebut sebagai ruang publik. Termasuk media sosial kita, dapatkah disebut sebagai ruang publik harus melihat dulu dalam empat hal ini.

Jika seluruh tahapan klaim kesahihan ini telah dilewati maka proses komunikasinya dapat disebut sebagai komunikasi reflektif. Bentuk komunikasi semacam ini oleh Habermas disebut sebagai diskursus. Dalam diskursus, individu-individu yang terlibat dalam komunikasi seolah keluar dari labenswelt (dunia kehidupan) masing-masing untuk menguji secara rasional masalah-masalah yang mereka bawa dari labenswelt masing-masing. Diskursus ini jika sudah terlewati maka akan mencapai apa yang disebut dengan konsensus.

Proses diskursus hingga tercapainya konsensus tersebut hanya dapat dilakukan dalam suatu konsep ruang yang disebut sebagai ruang publik. Dalam konteks era digital saat ini, ruang publik bukan lagi hanya dilihat sebagai ruang infrastruktur fisik namun sudah berubah bentuk menjadi ruang-ruang virtual. Individu-individu yang terlibat dalam diskursus di ruang publik virtual tersebut dapat dikenali sebagai komunitas virtual.

Untuk itu, tidak perlu terburu-terburu kita melabeli setiap aktivitas komunikasi di media sosial sebagai aktivitas di ruang publik yang baru. Hanya karena media sosial menyediakan kebebasan dan ruang ekspresi sekaligus. Media sosial tidak serta merta menjadi ruang publik.

Tanpa melalui empat tahapan klaim kesahihan tersebut media sosial bisa jadi hanya media penyebar hoax, ajang palagan para buzzer atau etalase unjuk pamer bagi kaum haus eksistensi. Jika hal-hal tersebut yang sebenarnya terjadi, maka media sosial telah gagal menjadi ruang publik. Suara yang bergema dan bergaung di media sosial tersebut bukan lagi suara rakyat. Namun hanya suara penyebar hoax, suara berisik para buzzer dan suara pembuat konten yang hanya mengejar popularitas semata. Suara para mereka yang berprinsip: hidup mu adalah konten ku.
——— *** ———

Tags: