Imlek dan Kebhinekaan

Oleh :
M. Syaprin Zahidi, M.A.
Dosen Pada Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Beberapa waktu belakangan ini bangsa kita dihadapkan pada satu permasalahan yang cukup pelik mengenai isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Pemantik dari isu ini sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah statement dari Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di kepulauan Seribu mengenai surat Al-Maidah ayat 51 dalam statementnya pada video yang diunggah oleh Buni Yani, Ahok mengatakan “… Kan bisa saja dalam hati kecil, bapak, ibu enggak bisa pilih saya karena dibohongi (orang) dengan surat Al Maidah (ayat) 51 macam-macam itu. Itu hak bapak, ibu.”
Adapun isi dari Surat Al Maidah ayat 51 adalah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu).” Anggapan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok terhadap ayat inilah yang memantik kemarahan ummat Islam. Sehingga dorongan untuk memperkarakan Ahok dilakukan oleh ummat Islam. Gelombang massa yang meminta agar Ahok di pidanakan semakin menguat seperti aksi 411 dan 212 yang intinya adalah meminta agar Ahok segera di proses hukum.
Pada akhirnya memang proses persidangan pada Ahok sampai dengan saat ini sedang dijalankan dan kita masih menunggu hasil persidangannya. Apakah kondisi ini menunjukkan bahwa rasa saling menghargai diantara sesama kita sudah semakin luntur?. Dalam hal ini penulis beranggapan bahwa kasus Ahok tidak menunjukkan bahwa rasa menghargai diantara kita sudah luntur. Kasus Ahok ini menjadi besar karena suka atau tidak ini berkaitan dengan kontestasi Pilkada yang ada di Jakarta sehingga unsur politispun tidak akan pernah bisa dilepaskan. Namun, tulisan ini tidak akan menyoroti hal tersebut.
Pada tulisan ini penulis akan menyoroti satu etnis yang juga adalah etnis Ahok yaitu Tionghoa. Kenapa etnis ini yang penulis soroti?. Jawabannya sederhana karena pada bulan ini (Januari), etnis ini akan merayakan Tahun Barunya atau yang biasa dikenal dengan Imlek. Dalam sejarah Republik ini, Etnis ini memang memiliki posisi yang unik, ada yang tidak suka dengan mereka karena terkesan eksklusif dan enggan berinteraksi dengan golongan di luar etnis mereka tapi disisi lain juga harus diakui bahwa mereka juga berkontribusi pada kemerdekaan negeri ini.
Sejarah dari masuknya etnis tionghoa di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari aspek historis masa lalu dimana kerajaan-kerajaan kuno Jawa telah menjalin hubungan yang erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Dampaknya adalah banyak pedagang-pedagang Cina yang berdagang di Jawa waktu itu. Kedatangan mereka waktu itu diterima dengan baik oleh penduduk setempat dan akulturasi budaya berjalan dengan baik waktu itu.
Akulturasi budaya tersebut ditunjukkan dengan banyaknya pedagang Cina yang menikah dengan wanita-wanita pribumi dan keturunan-keturunan mereka banyak juga yang memeluk agama Islam. Keturunan-keturuan mereka inilah yang kita kenal dengan etnis Tionghoa saat ini. Pada saat era revolusi kemerdekaan beberapa etnis tionghoa juga cukup berperan dalam mensupport perjuangan para pejuang kemerdekaan kita contohnya adalah Liem Koen Hian (1896-1952) dari awal Ia sudah menunjukkan identitas keindonesiaannya buktinya adalah pada tahun 1932 Ia mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang tanpa henti menyerukan kepada seluruh peranakan tionghoa agar memberikan loyalitas politiknya pada Indonesia.
Liem juga merupakan salah satu yang berpatisipasi dalam pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam salah satu sidang BPUPKI Liem memohon agar golongan Tionghoa waktu itu otomatis diberikan kewarganegaraan Indonesia walaupun pada akhirnya hal tersebut tidak terwujud. Pasca Kemerdekaan Indonesia kontribusi dari etnis Tionghoa juga dirasakan oleh Republik Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama diawal-awal kemerdekaan Indonesia secara perekonomian Indonesia berada pada titik nadir, kondisi ini akhirnya mendorong para pengusaha-pengusaha Tionghoa waktu itu untuk membantu perekonomian Indonesia.
Sebagaimana diutarakan oleh Twang Peck-Yang (Sejarawan Tionghoa) bahwa sejak Januari 1946 di Yogyakarta yang merupakan Ibu kota Indonesia waktu itu banyak ditemukan usaha-usaha mobilisasi dana demi pemerintahan Republik Indonesia mereka juga mengumpulkan bahan-bahan pakaian untuk angkatan bersenjata Republik Indonesia serta masih banyak kontribusi-kontribusi lainnya yang dilakukan oleh para etnis Tionghoa dalam membantu Republik ini.
Namun, di era Orde baru sebagaimana yang tercatat dalam sejarah merupakan titik nadir dari kondisi etnis ini karena dianggap sebagai peranakan komunis sehingga stigma yang melekat pada mereka waktu itu adalah komunis. Pada masa Orde baru inilah semua kegiatan organisasi-organisasi sosial politik Tionghoa dilarang oleh pemerintah.Alasan pemerintah waktu itu adalah semua organisasi Tionghoa cenderung eksklusif dan hanya ingin mempersatukan orang-orang Tionghoa dalam organisasi mereka.
Kita tentu ingat pada masa orde baru diskriminasi terhadap etnis ini terjadi dalam berbagai bidang seperti politik, sosial budaya maupun ekonomi. Contohnya Masyarakat dari kalangan etnis Tionghoa yang ingin mengurus KTP, masuk sekolah, membuat paspor, memilih dalam pemilihan umum, menikah sampai meninggal pengurusannya harus disertai oleh Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Diskriminasi lainnya dapat kita lihat pada aspek agama dimana pada waktu itu mayoritas etnis Tionghoa yang beragama konghucu sangat diawasi oleh Pemerintah yang terbukti dengan adanya Instruksi Menteri Dalam Negara No 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia. Perayaan-perayaan hari besar merekapun dilarang waktu itu karena dikhawatirkan akan menimbulkan konflik dengan penduduk pribumi.
Diskriminasi tersebut memang pada akhirnya terhapuskan pada masa kepemimpinan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Di era Gusdur juga Agama Konghucu menjadi agama yang diakui di Indonesia serta tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional. Di era reformasi ini, menurut penulis hubungan antara etnis tionghoa dan non-tionghoa telah berlangsung dengan harmonis. Etnis Tionghoa adalah bagian dari NKRI yang berbhineka tunggal Ika sehingga jangan sampai hanya karena kasus Ahok kita mendiskreditkan etnis Tionghoa. Gong Xi Fa Cai…

                                                                                                  ————- *** ————–

Rate this article!
Imlek dan Kebhinekaan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: