Implikasi Pernikahan Dini

Mailul MursidahOleh:
Mailul Mursidah
Staf Aliansi Penulis Idealis (API) IAIN Walisongo Semarang, Aktivis IPPNU Jepara

Fenomena pernikahan dini dewasa ini semakin “diminati”. Tak kalah tenarnya dengan kasus politik dagang sapi, topik menikah usia dini sudah lama mencuat ditelinga dan mata kita. Baik itu dalam pembicaraan secara resmi, seperti seminar, pengajian, dialog terbuka dan acara-acara penting lainnya.
Jika kita menengok sejarah kehidupan  nenek moyang kita pada zaman dahulu. Maka, sesungguhnya menikah usia dini sudah menjadi sebuah tradisi pada zaman dahulu. Sekitar tahun 1940-1960 ketika zaman pergerakan nasional menjago merah, pernikahan dini sudah marak terjadi. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa kala itu adalah masa perjuangan kemerdekaan dimana pada serenten selang waktu itu terjadi perang, sehingga nyawa mudah melayang.
Sebut saja peristiwa G30S-PKI. Di kala itu, hidup sangatlah berat baik secara material maupun moral. Pasalnya, pada saat itu kondisi sosial budaya sangatlah berbeda dengan sekarang, dimana nyawa manusia sudah tidak dihargai sehingga pernikahan dini mungkin saja dimaksudkan agar anak itu lepas dari tanggung jawab hidup yang teramat berat. Meskipun dalam kondisi demikian, pada saat itu pernikahan dini umumnya dilakukan oleh gadis muda dengan laki-laki yang sudah mapan dan mandiri.
Memang, jika kita komparasikan dengan keadaan sekarang ini, menikah usia dini sangat berbeda sekali. Bagaimana tidak. Memang beda zaman tentu berbeda juga keadaan dan tantangan. Kebanyakan di era sekarang ini, pernikahan dini tidak lagi karena ketimpangan, penindasan, dan keterbelakangan, melainkan lebih disebabkan oleh kerentanan moral, emosional, faktor ekonomi dan pergaulan bebas. Pertanyaannya, sampai kapankah negera ini memiliki SDM yang berkualitas, jika usia produktif belajar justru terhambat oleh urusan “personal” seperti kehidupan Rumah Tangga?
Perlunya edukasi dan Bimbingan
Kebanyakan masyarakat berasumsi bahwa menikah merupakan salah satu indikator orang sukses dan bahagia. Itu artinya, sebuah kebahagiaan belum lengkap jikalau belum menikah dan memiliki sebuah rumah. Disamping itu, menikah dinilai sebagai sebuah solusi. Dalam artian, dengan menikah seseorang akan bisa menjadi mandiri atau tidak tergantung kepada orang tua lagi sehingga beban orang tua akan berkurang.
Memang paradigma tersebut tidak sepenuhnya kita salahkan begitu saja, mengingat pernikahan adalah hak individu dan negara-pun juga menjamin bagi setiap warga negara dalam rangka memenuhi kodratnya sebagai mahluk hidup yang tidak hanya membutuhkan kebutuhan jasmani tetapi juga membutuhkan kebutuhan rohani. Namun, sebagai masyarakat yang peduli dan memiliki misi terhadap masa depan bangsa, kita patut memberikan suatu perspektif yang mengarah pada pembangunan bangsa dalam skala nasional bukan personal. Oleh karena itu, berbagai penyuluhan harus gencar kita adakan sebagai wujud “pencerahan” terhadap kebiasaan yang tak terelakkan seperti pernikahan dini dewasa ini.
Kita lihat saja fenomena UN di aceh, pelaksanaan UN hari pertama di Aceh  Jaya, sebanyak 10 siswa dilaporkan tak ikut UN pada hari pertama, Senin (15/4) kemarin. Penyebabnya, selain ada yang sudah menikah, juga ada alasan lain yang disebutkan. Menurut Drs Ismail Ibrahim, Kadis Pendidikan Pemuda dan Olah raga Aceh Jaya bahwa “Mereka yang tidak mengikuti UN tersebut disebabkan karena sudah bekeluarga dan sebagian lainnya tidak ada keterangan”. (Serambi Indoesia, 15/4/2013).
Sungguh ironis, ketika kita melihat bahwa mereka yang tidak mengikuti UN karena sudah berkeluarga. Tentunya melihat situasi itu akan menimbulkan sebuah pertanyaan besar dibenak kita. Apa penyebab mereka lebih suka menikah muda? Sebuah pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab. Entah apa yang mendorong mereka untuk lebih memilih menikah muda sebagai pilihan hidup mereka dibandingkan berkarya dan berkontribusi untuk keluargan dan negara.
Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka lebih memilih menikah muda sebagai pilihannya. Pertama, minimnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Saking urgennya sebuah pendidikan, tokoh filosof Emmanuel Kant mengatakan bahwa Manusia dapat dimanusiakan karena pendidikan. Nah, salah satu fungsi pendidikan adalah memperpanjang masa muda. Artinya, jika seseorang mengeyam pendidikan sudah barang tentu waktu, tenaga, dan segenap fikirannya fokus menuntut ilmu, sehingga urusan menikah adalah persoalan yang harus diselesaikan setelah sekolah.  Di era modern seperti saat ini, orang-orang berpendidikanlah yang mampu bertahan ditengah keras dan ketatnya persaingan hidup.
Kedua, Halalisasi. Ditengah kondisi komunikasi antar individu yang begitu longgarnya, sedikit banyak berimplikasi pada pergaulan bebas. Nah, pergaulan bebas ini akan cenderung ke hal yang lebih negatif lagi yakni perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks diluar nikah. Akibat zina inilah seringkali berujung pada pernikahan dini. Dengan dalih menutupi aib, menghindari cemoohan dan menyelamatkan status anak pasca kelahiran, maka orang tua dalam kondisi seperti ini mau tidak mau menikahkan anaknya dengan orang yang tengah merenggut keperawanannya.
Ketiga, kondisi ekonomi yang terjepit. Harus kita akui bahwa biaya hidup di dunia ini mahal. Nah, kebanyakan masyarakat kita saat ini pasrah akan kondisi seperti ini. Dengan kata lain, sudah menyerah terlebih dahulu sebelum perang. Akibatnya, hidup mereka statis. Nah, dalam kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan itu menyebabkan mereka terfokus hanya pada satu hal yakni bekerja atau mencari uang. Tak heran jika anak-anak mereka setelah lulusan SMP atau SMA lebih memilih untuk bekerja dibandingkan meneruskan sekolah yang hanya memberatkan beban orang tua. Nah, bagi anak laki-laki setelah lulus SMP atau SMA bekerja, sementara anak perempuan kebanyakan lebih memilih menikah dengan dalih melepaskan beban orang tuanya.
Harusnya kompetisi yang super ketat seperti saat ini kita jadikan sebagai “batu loncatan” untuk lebih berani dan kiat dalam berkompetisi (taklukkanlah dunia, maka kamu akan berkuasa). Tidak ada sejarahnya orang sukses itu tanpa mengalami sebuah kesulitan terlebih dahulu. Artinya, banyak orang sukses karena kerja keras, akan tetapi sedikit sekali orang yang mampu dan pantang menyerah dalam perjuangan tersebut, hingga akhirnya mereka pasrah dan menerima untuk mejadi orang miskin.
Keempat, intervensi dari orang tua. Yang jelas, sejauh ini masih ada orang tua yang memiliki perspektif bahwa, menikah adalah salah satu  jalan menuju kebahagiaan. Seseorang belum bisa dikatan bahagia di dunia jika belum memiliki pasangan hidup. Akibatnya, muncullah istilah “makan atau tidak makan yang penting bersama” Tak heran mereka lebih suka mendorong anak-anak mereka untuk menyegerakan pernikahan dibandingkan memotivasi untuk mencari bekal terlebih dahulu. Padahal, jika kebiasaan tersebut sedikit diubah dimana para orang tua lebih menekankan kepada anaknya untuk lebih menghiasi diri dengan berbagai skill, maka kelak orang tua tersebut akan lebih bahagia lagi melihat pernikahan anaknya yang sudah memiliki bekal. Bukan begitu?
Embrio dari faktor diatas adalah peran orang tua. Bagaimana pun juga, masa depan seorang anak sedikit banyak tergantung bagaimana dan seberapa banyak peran orang tua untuk menggembeleng anaknya. Oleh sebab itu, penulis menghimbau kepada segenap masyarakat Indonesia untu berfikir jangka panjang dan bukan hanya personal saja. Mari bekali anak kita dengan berbagai disiplin ilmu sehingga mereka menjadi anak pintar, kaya raya dan berkuasa. Bangsa kita membutuhkan kader unggul.  Dan inilah tanggung jawab kita semua terutama bagi segenap orang tua untuk mencetak generasi unggul yang siap “bertempur”  bukan siap di kasur. Biarkan anak anak Indonesia leluasa berkarya. Perjuangan kita tidak sebatas di sumur, di dapur, dan di kasur. Wallahu a’lam bi al-shawab.

                                              —————————— *** ——————————–

Rate this article!
Implikasi Pernikahan Dini,5 / 5 ( 2votes )
Tags: