Impor Gula Hadapi KPK

Karikatur GulaMUSIM tanam tebu 2015, penghasilan petani akan berkurang. PG (Pabrik Gula) akan mengurangi luas lahan sewa. Stok gula di gudang PG masih menumpuk, tidak terjual. Itu akibat dari semakin banyaknya gula impor beredar di pasar secara bebas. Ironisnya, gula lokal tidak mampu bersaing karena harganya lebih mahal. Karena itu pada tahun 2015 tidak perlu impor gula. Tetapi perlu pengawasan seksama terhadap kemungkinan kuota “bodong” melalui jalur kolusi dan nepotisme.
Bahkan untuk mencegah kuota “bodong,” diperlukan campur tangan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk mengawasi kebijakan kementerian terkait. Mencermati laporan masyarakat, KPK telah meminta prosedur dan metode impor gula. Bagai gayung-bersambut, kementerian terkait (Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Pertanian) telah menyerahkan berbagai peraturan terkait impor gula.
Harga gula dalam negeri, menjadi faktor menggiurkan untuk membuka keran impor. Modusnya, pedagang (besar) gula menimbun, sehingga terjadi seolah-olah suplai tak mencukupi. Padahal berdasar catatan hasil panen tebu sudah cukup untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Bahkan stok hasil giling tahun 2013 masih menumpuk di PG (Pabrik Gula). PG tidak berani mengeluarkan gula lokal, karena kalah bersaing dengan gula impor.
Secara nasional, sampai bulan Mei 2015 (pada saat musim giling) stok gula masih sebanyak 1,6 juta ton. Sisa stok tahun lalu (menjelang musim giling 2014) masih terdapat 800 ribu ton gula tersimpan di PG. Diantaranya gula milik petani, yang belum terbayar oleh PG. Jika itambah hasil giling tahun 2015 (dengan kapasitas produksi sebanyak 2,3 juta ton) akan menjadi 3,1 juta ton. Sedangkan serapan pasar hanya sekitar 100 ribu ton per-bulan.
Stok melimpah di gudang secara langsung juga menyebabkan mengendurnya kinerja PG. Termasuk mengurangi sewa lahan. Ini bagai simalakama PG, tetapi menjadi win-win solution. Agar PG tidak semakin terpuruk, dan tidak terbebani utang gula milik petani. Mengurangi sewa lahan, juga bisa dianggap sebagai “jeda tanah” agar tidak jenuh terhadap tanaman tebu.
Ironis lagi, kelebihan stok gula nyaris mustahil di-ekspor, karena HPP dalam negeri sangat mahal (di atas Rp 8.000,- per-kilogram). Sebagai bandingan, HPP di Thailand cuma Rp 4.500,- per-kilogram. Penyebab utama mahalnya HPP, adalah ongkos sewa lahan. Hal itu disebabkan mayoritas lahan tebu (75%) masih terpusat di pulau Jawa (dengan harga sewa lahan sangat mahal). Padahal rendemen tebu terbaik diperoleh di Lampung.
Rendemen tertinggi dicapai PG Gunung Madu Plantation, Lampung, mencapai 8,34. Disusul runner-up PG Bunga Mayang, Lampung (8,26%). Di Jawa, satu-satunya rendemen di atas angka 8, hanya dicapai oleh PG Mojopanggung milik PTPN X (sebesar 8,16). Padahal Jawa Timur memiliki Perda Nomor 17 tahun 2012 tentang Rendemen Tebu. Amanatnya, rendemen tebu wajib dipacu naik, bergerak 1% per-tahun. Seharusnya saat ini sudah mencapai rendemen 10.
Tidak manisnya bertani tebu menyebabkan petani menggugat pemerintah secara hukum, melalui jalur PTUN. Gugatan PTUN dilakukan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan impor. Gugatan petani tebu kabupaten Kudus dan Pati itu mewakili petani tebu seluruh Indonesia. Selama ini kebijakan impor gula belum one-gate policy, masih berdasar kenaikan harga.
Berdasarkan peraturan, impor gula hanya dilakukan oleh BUMN per-gula-an. Namun impor gula, ternyata juga dilakukan oleh perusahaan yang tidak memiliki  “core” bisnis gula. Sehingga stok gula hasil panen, harus bergulat melawan gula impor. Kini, petani gula (tebu) bernafas bisa bernafas lega. Institusi superbody penegak hukum, KPK, akan menjadi “pendamping” dalam persaingan dagang. Importir gula tidak mudah lagi, walau sudah memperoleh izin.

                                                                                                                      ———   000   ———

Rate this article!
Impor Gula Hadapi KPK,5 / 5 ( 1votes )
Tags: