Impor Ikan Menggerus Identitas Kemaritiman

Gumoyo Mumpuni NingsihOleh :
Gumoyo Mumpuni Ningsih
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang

Ironi Indonesia yang notabenenya adalah negara maritim, yang memiliki ciri wilayah perairan yang lebih luas dibanding daratan kenyataannya harus memperbesar kran impor ikan. Ironinya lagi, kebijakan impor ikan saat ini, di tengah gencarnya klaim Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang melimpahnya ikan di laut Indonesia setahun terakhir.
Melihat fakta yang demikian saat ini, sontak publik dibuat cengang oleh menteri Susi Pudjiastuti dengan dikeluarkannya kebijakan untuk mengimpor ikan tersebut. Impor ikan ini secara luas meliputi semua jenis ikan, kecuali jenis-jenis ikan yang dilindungi dan dilarang untuk diperdagangkan di pasar domestik.
Impor ikan jika diteruskan secara luas bukan hanya penghamburan devisa yang tak perlu karena potensi produksi perikanan jauh lebih besar ketimbang kebutuhan nasional, tetapi juga berpotensi membanjiri pasar dalam negeri, menghancurkan daya saing, dan kesejahteraan nelayan kita. Tanpa terkecuali terobosan kebijakan impor ikan pun telah menggerus identitas kemaritiman negeri ini. Wajar jika terobosan kebijakan impor ikan yang diputuskan oleh menteri Susi bisa dibilang terobosan fenomenal.
Terobosan fenomenal
Salah satu terobosan yang fenomenal dan menyentak Indonesia bahkan dunia adalah sikap tegas Susi Pudjiastuti yang berani menenggelamkan kapal-kapal ikan milik asing (berbendera asing) yang tertangkap beroperasi di kawasan Zona Ekonomi Eklussif Indonesia (ZEEI).
Menteri Susi Pudjiastuti juga menggandeng Kementerian Tenaga kerja dan menteri terkait untuk memberantas praktik trafficking pada kapal yang memasok ikan ke sentra pengumpulan dan pengolahan ikan di Bitung. Langkah memberantas trafficking pada kapal penangkap ikan didukung dan diapresiasi meski berdampak menyebabkan kalangan industri pengolahan ikan di Bitung terancam gulung tikar karena kekurangan pasokan bahan baku ikan.
Susi mengklaim sukses memberantas praktik illegal fishing oleh kapal-kapal asing telah menyebabkan populasi ikan meningkat pesat yang pada gilirannya membuat hasil tangkapan nelayan meningkat tajam. Kemudian, Menteri Susi Pudjiastuti dikritik tidak ramah kepada petani petambak kecil karena melarang ekspor kepiting berukuran mini. Langkah ini membuat banyak petambak yang membudidayakan kepiting gulung tikar, termasuk petambak di Langkat (Sumatera Utara).
Paling anyar pada awal bulan Juni ini, Menteri Susi kembali meluncurkan (mengumumkan) dua kebijakan. Salah satunya, semua kapal penangkap ikan yang didanai modal asing (PMA) dilarang menangkap ikan di perairan (ZEE) Indonesia. Perusahaan berbentuk PMA yang bergerak di bidang perikanan hanya diizinkan bergerak di kegiatan hilir yakni mengolah hasil tangkapan, menyediakan cold storage dan lainnya.
Kebijakan lainnya pemerintah via Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI akhirnya “sepakat” kembali mengimpor 2.000 kontainer ikan berbagai jenis, kecuali yang dilarang diperdagangkan. Guna memasok ikan yang dibutuhkan industri pengolahan ikan demestik yang kekurangan bahan baku. Ikan tuna, cakalang, dan tongkol masing-masing 18.210 ton, kepiting rajungan 4.460 ton, kerang 3.757 ton, dan salmon 2.900 ton.
Alasan pemerintah melalui Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti, kalau kita cermati sebenernya ada kesamaan dengan  mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhimin Dahuri (2016), menyebutkan, persoalan produksi ikan laut lebih disebabkan oleh rendahnya hasil tangkap para nelayan lokal dan pengusaha perikanan nasional bukan karena ancaman eksternal berupa bencana badai, gelombang tinggi, atau faktor alam, melainkan lebih karena kelemahan kebijakan pemerintah memberdayakan kemampuan dan ketersediaan nelayan dan pengusaha perikanan-kelautan local nasionalnya sendiri. Padahal pasar ikan tak hanya pasar ekspor, tapi juga pasar lokal. Kebutuhan industri pengolahan ikan laut bertumbuh rata-rata setiap tahun 23 persen.
Semua itu, akhirnya menyulut dua kebijakan teranyar ini bertolakbelakang dengan beberapa kebijakan sebelumnya yang massif diklaim Susi Pudjiastuti telah membuat populasi ikan di lautan Indonesia meningkat signifikan. Populasi ikan yang meningkat sejatinya harus ditangkap untuk diolah guna kemaslahatan rakyat. Dalam operasional penangkapan ikan yang meningkat boleh jadi melibatkan asing sepanjang menguntungkan Indonesia. Namun, kenyataannya kenapa harus impor ikan, tentu saja ini merupakan terobosan fenomena dari menteri Susi.
Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah perlu membeberkan secara jelas serta dibarengi dukungan data valid dasar pengambilan kebijakan tersebut. Hal itu penting agar rakyat yang sedang bingung menyikapi kenaikan harg-harga komoditas pokok tidak semakin bingung.
Stop impor ikan
Jujur harus kita akui dengan mengimpor ikan, harga diri (dignity) dan kedaulatan ekonomi kita sebagai bangsa maritim juga tergerus. Wajar, jika publik akhirnya mempertanyakan dimana sikap loyalitas menteri Susi pada negeri ini.
Selama ini, kebijakan Kementerian KKP yang berani, tegas, dan lugas menenggelamkan kapal-kapal yang selama ini merampok kekayaan laut Nusantara serta kebijakan pelarangan alat tangkap ikan, cantrang, yang kontroversial itu memang gebrakan yang patut diapresiasi.
Namun semua kebijakan itu, tak akan banyak bermakna jika fakta di lapangan kehidupan para nelayan gurem yang selama ini selalu dalam kehidupan suram, miskin, dan terbelakang belum juga menunjukkan tanda-tanda membaik. Demikian pula kinerja tangkapan para pengusaha perikanan dan kelautan yang diandalkan sebagai pemasok utama kebutuhan industri perikanan domestik, masih jauh dari kebutuhan dan permintaan pasar nasional, apalagi pasar ekspor.
Fakta semakin memperjelas bahwa kebijakan impor ikan secara luas bukan hanya ironis, tetapi juga mencederai cita-cita luhur Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia (PMD). Makna PMD adalah menjadikan laut sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru, pendulang devisa, penciptaan lapangan kerja, kesejahteraan, dan daya saing baru.
Karena itu,untuk mewujudkan kedaulatan pangan sekaligus menjadikan sektor kelautan dan perikanan (ekonomi SDA hayati) sebagai keunggulan kompetitif dan mesin pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkelanjutan, pembangunan ekonomi SDA hayati mesti diarahkan untuk mencapai empat tujuan.
Pertama, menghasilkan sejumlah komoditas pangan beserta segenap produk hilirnya yang berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan nasional (to feed Indonesia) maupun ekspor (to feed the world). Kedua, meningkatkan kontribusi sektor SDA hayati terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, produsen SDA hayati lain, dan pelaku usaha terkait. Keempat, memelihara daya dukung lingkungan dan kelestarian SDA hayati, dengan meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, produsen SDA hayati lain, dan pelaku usaha terkait.
Sederet jurus teknis di atas akan berhasil jika dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi SDA hayati, dengan mengimplementasikan segenap kebijakan dan program teknikal dan politik ekonomi di atas, yakinlah Indonesia tidak hanya mampu membangun kedaulatan pangan dalam waktu dekat (5 tahun), tapi juga mampu menjadi pengekspor sejumlah bahan pangan terbesar di dunia dan menjadikan ekonomi SDA hayati sebagai keunggulan kompetitif yang mengantarkan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, sejahtera, dan mandiri pada 2030.

                                                                                                          ————- *** ————–

Tags: