Importasi Beras, Marjinalisasi dan Kemiskinan Petani

Oleh :
Sutawi
Dosen Magister Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Indonesia berhasil mencapai swasembada beras tahun 1984. Atas keberhasilan tersebut, pada 14 November 1985 Presiden Soeharto diundang berpidato pada konferensi ke 23 Organisasi Pangan Dunia (FAO) di Roma, Italia, dan pada 21 Juli 1986 Presiden Soeharto menerima medali emas dari FAO di Bina Graha Jakarta.

Berdasarkan ketetapan FAO, suatu negara dikatakan swasembada jika produksi beras mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Beras kemudian menjadi makanan pokok bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sejak saat itu tidak ada lagi pernyataan di dalam buku teks sekolah bahwa makanan pokok orang Madura adalah jagung, dan makanan pokok orang Maluku dan Papua adalah sagu, seperti tahun 1970-an.

Saat ini konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 97,36 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut menjadikan Indonesia negara konsumen beras terbesar di dunia, jauh di atas rata-rata konsumsi beras dunia sebesar 60 kg, dan negara tetangga Malaysia 80 kg, Thailand 70 kg, serta Jepang 58 kg/orang/tahun. Jika konsumsi beras tersebut dibagi harian, maka orang Indonesia mengonsumsi beras 267 g/orang/hari atau 89 g sekali makan. Dengan jumlah penduduk 272 juta jiwa, maka setiap tahun harus tersedia beras sebanyak 26,48 juta ton untuk konsumsi rumah tangga di Indonesia. Jika ditambah konsumsi di luar rumah tangga sebesar 17,24 kg/kapita/tahun, maka kebutuhan beras Indonesia mencapai 31,17 juta ton/tahun.

BPS mencatat produksi padi Indonesia tahun 2020 sebanyak 54,65 juta ton gabah kering giling (GKG), setara 31,33 juta ton beras. Selama lima tahun terakhir, produksi padi mengalami penurunan sebesar 4,18%/tahun dari 79,35 juta ton tahun 2016. Penurunan produksi padi diakibatkan oleh penurunan luas panen dan produktivitas padi. Luas panen padi menurun 4,08%/tahun dari 15,16 juta hektar tahun 2016 menjadi 10,66 juta hektar tahun 2020, sedangkan produktivitas padi menurun 0,06%/tahun dari 52,36 ku/ha menjadi 51,28 ku/ha. BPS memprediksi produksi GKG sepanjang Januari 2021-April 2021 mencapai 25,54 juta ton (setara 14,54 juta ton beras). Kementan mencatat pada periode Januari-Mei 2021, stok beras mencapai 24,9 juta ton, sementara kebutuhan 12,33 juta ton, sehingga terdapat surplus 12,56 juta ton.

Meskipun berhasil mencapai swasembada dan surplus beras, Indonesia juga tercatat negara importir beras. Selama periode tahun 2000-2019 rata-rata volume impor beras Indonesia sebesar 987,977 ribu ton/tahun, senilai US$ 386,805 juta (Rp 5,415 triliun) per tahun. Impor tertinggi tahun 2011 sebanyak 2,75 juta ton (US$ 1,513 miliar) dan terakhir tahun 2019 sebanyak 444,509 ribu ton (US$ 184,254 juta). Negara asal impor beras Indonesia dalam beberapa tahun terakhir utamanya berasal dari Vietnam dan Thailand dengan kontribusi masing-masing 40,45% dan 38,43%, kemudian Pakistan 10,73% dan India sebesar 10,38%. Importasi beras umumnya dilakukan dengan empat alasan, yaitu teknis (produksi padi merosot), ekonomis (harga beras melonjak), politis (cadangan pangan), dan sosial (bantuan pangan).

Perangkap kemiskinan

Dalam Rapat Kerja Kemendag Tahun 2021, Kamis (4/3/2021), Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memaparkan rencana pemerintah mengimpor beras 1 juta ton untuk menambah cadangan (iron stock) sebesar 1 juta ton hingga 1,5 juta ton. Rencana importasi beras tersebut diperkuat oleh pemberitaan Bangkok Post bahwa pemerintah Indonesia dan pemerintah Thailand akan meneken MoU jual-beli beras Thailand sebanyak 1 juta ton pada akhir Maret 2021. Menteri Perdagangan Thailand Jurin Laksanawisit mengungkapkan, perjanjian yang akan diteken kedua negara merupakan kesepakatan antar-pemerintah (G2G). Isi perjanjiannya adalah terkait pasokan beras asal Thailand ke Indonesia, mencakup tidak lebih dari 1 juta ton beras putih dengan kadar retak 15-25 persen (beras medium). Perjanjian ini berlaku untuk pasokan impor 1 juta ton beras dalam setahun dengan durasi empat tahun. Impor beras dari Thailand yang dilakukan Indonesia ini dilakukan dengan syarat tertentu, yaitu tergantung produksi beras kedua negara dan harga beras dunia.

Setelah mengalami perdebatan selama beberapa pekan, pada Jumat (26/3/2021) Presiden Jokowi akhirnya memutuskan bahwa sampai bulan Juni 2021 tidak ada beras impor masuk ke Indonesia. Perdebatan tentang importasi beras di tengah musim panen raya padi telanjur membawa dampak negatif bagi kesejahteraan petani. Harga gabah yang biasa turun saat panen raya, semakin merosot akibat wacana importasi beras. Kehidupan petani semakin terjepit antara biaya dan harga (farm cost-price squeeze). Biaya sarana produksi pertanian cenderung naik, sementara harga jual hasil pertanian cenderung stabil bahkan menurun. Saat tanam padi para petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Namun ketika panen tiba, harga jual gabah terpuruk. Saat ini harga gabah kering panen (GKP) di berbagai daerah jatuh dalam kisaran Rp 3.400 hingga Rp 3.600 per kg, di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 4.200 per kg. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya harga selalu di atas Rp 4.000 per kg, bahkan mencapai Rp 4.700 per kg pada tahun 2020.

Survei BPS tentang Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017 (SOUT Padi 2017) mencatat pendapatan petani hanya sebesar Rp 4,95 juta per musim tanam per hektare atau Rp 1,23 juta per bulan. Survei BPS juga menyebutkan sebanyak 57,97 persen petani hanya memiliki lahan di bawah 0,1 hektare dan 29,47 persen petani memiliki 0,1 sampai 0,49 hektare. Ini berarti sebanyak 87,44 persen petani Indonesia hanya berpenghasilan antara Rp 123 ribu sampai Rp 615 ribu per bulan. Pendapatan tersebut jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) di Indonesia antara Rp 1,765 juta sampai 4,276 juta/bulan dan garis kemiskinan Rp 454.652 per kapita per bulan

Importasi beras dapat dipandang sebagai proses marjinalisasi halus (soft marginalization) bagi kehidupan petani, selain melalui konversi lahan, alih teknologi dan akses permodalan. Marjinalisasi semacam ini tidak memerlukan perilaku represif terhadap kelompok yang lemah, namun terjadi dengan proses sosial yang halus, sehingga petani tidak menyadari kalau mereka terpinggirkan. Kebijakan impor beras menyebabkan pendapatan petani merosot. Beras impor dapat menjatuhkan harga panen petani baik GKP, GKG maupun beras sampai sebesar 20 persen. Penurunan pendapatan mengakibatkan petani tidak mampu mengimbangi kebutuhan sosial ekonomi rumah tangga yang terus meningkat, sehingga terjerumus dalam perangkap kemiskinan (poverty trap). Perangkap kemiskinan merupakan sistem ekonomi yang sangat menyulitkan masyarakat petani keluar dari lingkaran kemiskinan karena rendahnya pendapatan. BPS mencatat jumlah rumah tangga miskin di Indonesia tahun 2020 sebagian besar (46,30 persen) berpengasilan utama berasal dari sektor pertanian. Tak heran jika pertanian semakin ditinggalkan generasi muda milenial karena merupakan lambang kemiskinan berkelanjutan.

——– *** ——–

Tags: