Imsak di Muara Berbuka di Palung

RBH Fathorrahman MA, Kasi Pengawasan Usaha da Hasil Perikanan pada Dinas Perikanan Kabupaten Situbondo

Oleh:
RBH Fathorrahman MA, Kasi Pengawasan Usaha da Hasil Perikanan pada Dinas Perikanan Kabupaten Situbondo
Semua agama samawi di dunia ini mengenal tentang puasa. Untuk itu mari kita sepakati makna puasa adalah menahan diri. Ada satu kisah yang mengilhami mimbar ramadan kali ini adalah salah satu muslim yang hadir pada 15 abad silam.
Dia memulai puasa saat sang fajar shodiq serta mengakhiri di kala mentari tengegelam di pandangan mata. Setelah itu mulailah dia melakukan aktifitas. Dari mulut, tenggorokan, kerongkongan, usus halus, usus besar pun dimulai.
Momen ini seolah hanya bergeser sesaat saja. Yang biasanya mata terbelalak dimulai, kini diubah saat malam datang. Kisah ini dilhami oleh seorang nelayan yang memulai mengail ikan di muara. Persis saat imsak didengungkan olek pengeras suara TOA di setiap masjid. Suara speaker itu memekakkan telinga. Sementara penguasa agama tak mampu meredam kebisingan itu.
Sang nelayan telah bertarawih, dilanjutkan bertadarus bahkan bersujud sebelum biduknya dikayuh ke laut lepas. Umpan yang sudah dipasang di kail sudah ditabur dari muara perairan dangkal dan hampir ke samudera. Belum juga ikan cumi-cumi tersandung. Kantuk dan payah mulai menggerayangi mata. Letih lelah menyelimuti raga. Biduk pun terombang ambing arus laut yang ganas. Antara hidup dan mati sang nelayan tersadar ada badai laut disaat waktu sholat dhuha.
Baju pelampung tiada disiapkan. Karena tidak tercatat sebagai nelayan dengan Grossakta 30-GT. Hanya seutas sarung yang terlilit diantara bahu dan kepala yang ikut menyertai. Untung tak dapat dipeluk, malang yang teraih. Biduk kecil pun hancur luluh lantak, kail pun lenyap. Masih terlilit celana dalam dan sarung di raganya yang lemah. Diusia 70 tahun ini sang nelayan sadar bahwa dia sedang berpuasa. Segenap tenaga dan kekuatannya dikerahkan agar mulut dan hidungnya tak kerasukan air laut.
Namun dalam hitungan menit sadar itu mulai lenyap. Dan baru tersadar kembali di antara menggigil dan keriput kulitnya di ruang rawat kapal patroli laut yang kebetulan lalu lalang memgamankan wilayah laut NKRI. Kalimat pertama yang terucap dari bibir kakek itu kapan waktu berbuka puasa tiba. Sebelas awak kapal dan patroli di ruangan itu tak kuasa menahan keharuan atas keikhlasan. Ada kesungguhan dan ketahanan hati jiwa nelayan di utara Pulau Madura ini yang di temukan. Mengambang di perbatasan laut Indonesia, tepatnya di Pulau Natuna.
Setelah dirawat 3 hari dan pulih kesehatannya, diberinya pakaian agar terbalut tubuhnya. Lalu di antarlah nelayan berusia 70 tahun itu ke kediamannya. Ternyata di kampung kakek nelayan itu sedang dilaksanakan acara tahlilan malam ke 7 dari kepergian kakek ke muara. Di sisi lain, sosok isteri, anak dan keluarga sontak berlarian menciumi kakek yang luar biasa ini dan dikenal bernama Rengsak di kampungnya.
Usut punya usut nama itu diberikan oleh ayah Rengsak. Itu karena dia terlahir di sebuah gubuk bernama Sak-Sak (terbuat dari anyaman bambu) dan ibunya bekerja sebagai pengambil sisa hasil panen (Ngasak-Bahasa Madura). Namun keadaan dia terlahir di masa sulit mampu melahirkan generasi tangguh dengan keimanan paripurna. Semoga puasa kita mampu melahirkan sosok yang memiliki pola pikir, sikap, sifat dan tindakan paripurna. Amin….[*]

Rate this article!
Tags: