Indeks Harga Melonjak

Foto Ilustrasi

Musim hujan mencapai puncak sejak akhir Pebruari, dengan dampak pelambatan perekonomian. Walau telah menjadi rutinitas musim, namun tetap sering mengagetkan. Bahkan terasa bagai sambaran “petir” perekonomian tingkat grass-root. Realitanya, indeks harga konsumsi naik sampai lebih 32%, dipicu kenaikan harga bahan pangan utama (beras). Sebagian inflasi juga disebabkan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) non-subsidi.
Daya dukung lingkungan yang makin merosot menyebabkan hujan terasa sebagai bencana. Dampak akibat banjir sudah terasa di berbagai daerah, terutama pulau Jawa dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT. Paling pedih, dirasakan di Jawa Barat dan Jawa Timur. Antaralain berupa banjir dan tanah longsor. Banyak akses jalan terputus, tergenang banjir maupun tertutup longsor. Menyebabkan menghambat distribusi. Juga terjadi pembatalan perjalanan kereta-api) dan pesawat udara.
Dampak ekonomi dirasakan pada daerah sentra tanaman pangan. Karena gagal panen, terutama untuk tanaman buah dan sayur. Walau tidak banyak, ratusan hektar sawah juga terendam air. Daerah Subang (Jawa Barat), Sragen (di Jawa Tengah), serta Ngawi sampai Bojonegoro (di Jawa Timur), didera hujang. Sungai sebagai penampung (dan mengalirkan hujan), menumpahkan air bah ke persawahan sampai pemukiman.
Sejak awal Pebruari, harga buah dan sayur sudah mulai merangkak naik. Seperti musim hujan tahun lalu, dampak (banjir) juga menyebabkan inflasi. Sektor pangan menjadi pendorong utama inflasi. Konon disebabkan musibah banjir yang menjadi pemicu gagal panen. Termasuk kegagalan budidaya ikan. Banjir menyebabkan sektor distribusi mengalami kendala di perjalanan, sehingga memperlambat suplai. Ujung-ujugnya biaya transportasi naik.
Berdasar catatan BPS (Badan Pusat Statistik), kenaikan harga konsumsi naik lebih dari 32%. Inflasi rata-rata nasional diperkirakan sekitar 0,25% pada bulan Pebruari (2018). Sebanyak 82 daerah (kabupaten dan kota) yang disigi, sebanyak 55 daerah mencatat kenaikan harga. Kecuali di Medan, malah terjadi deflasi. Tetapi kenaikan harga, bukan hanya disebabkan dampak lingkungan yang buruk. Melainkan juga administrated price (kenaikan harga yang wajib ditentukan pemerintah).
Masih banyak komoditas dagang bergantung pada kebijakan pemerintah. Antaralain TDL (Tarif Dasar Listrik), dan harga BBM. Saat ini harga Pertamax turbo, naik menjadi Rp 9.600,- per-liter (naik Rp 250,-, atau sekitar 2,7%). Sedangkan Pertamina Dex menjadi Rp 9.250,- (naik Rp 450,-, atau sekitar 5,1%). Artinya, kendaraan “elite” harus mengeluarkan ongkos BBM lebih besar. Kenaikan BBM “elite” merupakan konsekuensi kenaikan harga minyak dunia.
Pada kelompok bahan pangan, sayur, buah, dan rempah-rempah, tak kalah menyokong inflasi cukup besar. Begitu pula cabai merah, tomat, kentang, wortel kacang panjang, bayam, serta pisang, juga meroket antara 25% hingga 80%. Harus diakui, sayur dan buah-buahan sangat rentan terhadap cuaca. Rentan pula (cepat membusuk) pada saat di-distribusikan melalui angkutan yang terlambat karena banjir. Sudah menjadi adagium perdagangan, bahwa manakala suplai berkurang, harga pasti naik.
Kenaikan IHK (Indeks Harga Konsumen), tidak sekadar “mengguncang” perekonomian rumahtangga. Melainkan juga bisa menjadi isu utama politik, khususnya di medsos (media sosial). Isu kenaikan harga pangan bisa dijadikan tantangan pemerintah. Tetapi gejolak harga bahan pangan tidak bisa dilawan dengan retorika. Pemerintah perlu “menjawab,” melalui program peredam kenaikan harga. Misalnya dengan memangkas jalur distribusi, serta menggencarkan operasi pasar.
Seyogianya pemerintah menggencarkan program bersifat karitatif. Terutama fasilitasi usaha ke-pertani-an, serta menurunkan suku bunga bank, juga mempermudah kredit sektor UMKM. Pemerintah daerah bisa pula melalui bazar sembako murah dengan melibatkan BUMN, BUMD dan pengusaha swasta.

——– 000 ———

Rate this article!
Indeks Harga Melonjak,5 / 5 ( 1votes )
Tags: