Indonesia Bersama Palestina

Indonesia tetap bersama bangsa Palestina. Begitu tekad presiden Jokowi, yang akan dibawa pemerintah Indonesia pada forum OKI (Organisasi Konferensi Islam). Turki yang mendukung Palestina, akan menjadi tuan rumah sidang OKI di Istanbul. Indonesia dan OKI menentang klaim sepihak Amerika Serikat untuk menjadikan Yerussalem sebagai ibukota negara Israel. Padahal sejak tahun 1971 (ketika Israel menang perang), Yerussalem dinyatakan status-quo.
Tetapi sekutu terdekat Amerika Serikat, Uni Eropa, tidak mengikuti klaim Donald Trump. Bahkan di-warning, bahwa klaim Trump, akan memicu ketegangan baru di jazirah Arab. Ketegangan patut dicemaskan, karena perekonomian Eropa saat ini bergantung pada konglomerasi Arab. Amerika Serikat, sejatinya juga sangat bergantung pada negara-negara serumpun Arab. Terutama Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Qatar.
Negara serumpun Arab itu, seharusnya “dipelihara” oleh Trump, sebagai majikan yang dermawan. Tetapi realitanya, Trump, sering membuat gaduh. Misalnya, ketika berkunjung ke Arab Saudi. Trump, meminta negara jazirah Arab meng-isolir Iran. Pernyataan Trump, itu menimbulkan kegaduhan ketika berkunjung ke Qatar (Juni 2017). Sebab Qatar, juga berkawan baik dengan Iran. Terasa benar, Trump coba “memainkan” modus baru (memecah belah) memicu sengketa lama.
Qatar, negeri kaya-raya di Arab, tergolong cerdas melaksanakan peran politik internasional. Amerika tetap meng-anggapnya sebagai sahabat. Walau televisi khas Arab, Al-Jazeera, bermarkas di Qatar. Amerika juga meng-anggap Al-Jazeera sebagai pro-teroris. Pada paradigma Amerika, label sebagai teroris dikonotasi dengan etnis Arab, dan muslim. Sedangkan pembunuhan masal oleh kulit putih (non-muslim) dianggap bukan teroris. Hal itu terbukti dengan pembunuhan (58 orang) oleh Stephen Paddock, bukan dianggap terorisme.
Label sebagai teroris, bukan hanya dituduhkan kepada Al-Qaeda, dan kelompok pecahannya. Melainkan juga kepada negara timur tengah lawan politik Amerika. Antaralain Iran. Negeri kaum Mullah ini tidak bisa ditundukkan, dan tetap gigih melontarkan ujaran permusuhan terhadap Amerika. Sedangkan musuh Amerika yang lain (Irak dan Libya) sudah ditundukkan melalui aneksasi militer.
Maka klaim sepihak Yerussalem sebagai ibukota negara Israel, dapat di-analisis sebagai modus Trump. Seperti dahulu bangsa-bangsa Eropa memecah belah bangsa Arab melalui kolonialisme. Bahkan munculnya wilayah Israel, merupakan “permainan” diplomat Eropa. Yakni, Sir Mark Sykes (Inggris) dengan Francois Georges-Picot (Perancis). Tujuannya, untuk meng-kapling negara-negara Arab yang saat itu dibawahkan Kekaisaran Ottoman.
Peta jazirah Arab berdasar kesepakatan Sykes-Picot (9 Mei 1916), terdapat perbatasan yang sangat luas diantara Suriah dengan Irak. Menurut analisis sumber Sputnik, Kelak kawasan perbatasan ini menjadi cikal bakal negara Israel. Sejak lama kawasan longgar itu disebut sebagai zona internasional. Semula sebagai kawasan (demarkasi) mencegahperebutan antara Inggris dengan Perancis. Kapling kolonialisme di jazirah Arab, ter-peta-kan menjadi utara (milik Perancis) dan selatan (milik Inggris.
Sebagai kawasan demarkasi perang, kawasan yang longgar itu dijaga benar oleh kekuatan bersama Inggris, dan Perancis. Sampai sekarang, kawasan longgar tetap dilindungi. Terbukti, menjadi satu-satunya kawasan yang bebas dari gangguan teroris ISIS. Tiada milisi ISIS yang berani memasuki wilayah Israel! Namun sejak lama pula diyakini kawasan demarkasi yang longgaritu akan menjadi pusat pergolakan timur tengah.
Anehnya, negara-negara yang disatroni teroris, adalah mayoritas berpenduduk muslim. Sehingga negara-negara muslim (yang tergabung dalam OKI)segera wajib menumpas teroris. Terutama “teroris” sesungguhnya di Palestina. Indonesia, akan selalu bersama rakyat Palestina. Hal itu sudah dibuktikan sejak tahun 1939. Nahdliyin (NU) seluruh Indonesia mengumpulkan derma harta benda, serta melakukan qunut nazilah untuk rakyat Palestina.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: