Indonesia Butuh 6 Miliar Butir Cangkang per Tahun

Direktur Jenderal Agro Industri Kemenperin, Abdul Rochim bersama Gubernur Jatim Khofifah Indar Prawansah dan Rektor Unair Prof Nasih meresmikan Teaching Industry Unair sekaligus meninjau proses pembuatan cangkang kapsul berbasis rumput laut. [Humas pemprov jatim]

Kemenperin: Peluang Industri Cangkang Laut Sangat Potensial
Surabaya, Bhirawa
Kebutuhan cangkang kapsul di Indonesia sangat besar, yakni sebanyak 6 miliar butir per tahun. Hal itu diungkapkan langsung oleh Direktur Jenderal Agro Industri Kementerian Perindustrian, Abdul Rochim.
Sayangnya, kesemua cangkang kapsul tersebut, berbahan baku gelatin yang berasal dari produksi domestic sebesar 5 miliar butir dan impor sebanyak 1 miliar butir. Artinya, kebutuhan cangkang kapsul tersebut belum sepenuhnya dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
Oleh sebab itu, melalui teaching industry Universitas Airlangga (Unair), Abdul Rochim menilai, jika peluang industry cangkang kapsul berbahan baku rumput laut yang diproduksi sangat potensial di Indonesia. Apalagi, keberadaan rumput laut melimpah di sepanjang pesisir Indonesia.
“Peluang cangkang kapsul berbahan baku rumput laut sebagi pengganti gelatin cukup besar. Ketersediaan bahan baku yang melimpah dan kehalalannya yang terjamin. Diharapkan dapat mendorong cangkang kapsul berbahan baku rumput laut sebagai cangkang kapsul komersial,” kata Abdul Rochim di sela-sela peresmian teaching industry Unair, Kamis (2/7).
Lebih lanjut ia mengatakan, produksi rumput laut Indonesia sendiri merupakan yang terbesar di dunia. Bahkan, kontribusi Indonesia sebagai penghasil rumput laut sudah diakui international. Akan tetapi, peran produksi Indonesia dalam mengolah rumput laut menjadi produk jadi, masih harus ditingkatkan. Karena itulah, Kemenperin mengapresiasi pengembangan teaching industry cangkang kapsul berbahan baku rumput laut yang dikembangkan Universitas Airlangga.
“Saat ini bahan baku pembuatan cangkang kapsul adalah gelatin, yang merupakan produk hidrolis kolagen yang berasal dari kulit, jaringan dan tulang sapi, kerbau atau babi,”katanya.
Dan itu, imbuh dia, masih banyak diimpor dari Thailand, Bangladesh, India hingga Tiongkok. Di samping itu, cangkang kapsul berbahan gelatin tidak memberikan kenyamanan karena memberikan keraguan tentang kehalalannya.
“Itu lah mengapa peluang cangkang kapsul berbahan baku rumput laut sebagai pengganti gelatin cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia,” terangnya.
Dengan begitu, pihaknya berharap dengan adanya hibah mesin dan peralatan dalam teaching industry dapat menjadi wadah pengembangan kompetensi cangkang dan sumber daya manusia (SDM). Selain itu, diharapkan hilirisasi komoditas rumput laut juga bisa mendorong peningkatan nilai tambah komoditas dalam negeri. “Kami berharap, adanya produksi cangkang rumput laut ini bisa mengurangi impor dalam produk pengolahannya,”pungkas dia.
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, yang juga hadir meresmikan teaching industry cangkang kapsul berbasis rumput laut milik Universitas Airlangga Surabaya menambahkan selain faktor kehalalan, Khofifah menyebut cangkang kapsul berbasis rumput laut berkategori industri yang bersih. Sebab dari cangkang yang terbuang nantinya akan didaur ulang kembali dan ramah lingkungan
“Jadi, dari teaching industry ini hulu dan hilir akan menjadi referensi baik dari perguruan tinggi dan juga penguatan pada kesejahteraan petani rumput laut,” katanya.
Dalam kesempatan itu, dia mengajak industri menggunakan cangkang kapsul berbasis rumput laut. Khofifah mengungkapkan ada pengusaha besar farmasi yang berminat pada produk itu.
Rektor Unair Prof Mohammad Nasih menjelaskan teaching industry yang diresmikan menelan biaya sebesar Rp5 miliar dari dana APBN dan memiliki luas area pabrik 559 meter persegi. Industri cangkang kapsul ini bisa memproduksi 3 juta cangkang dalam sehari.
“Kapasitas produksinya 3,6 juta. Ini Rp5 miliar aja bisa kayak gini. Jadi sebenarnya sangat murah untuk menambah kapasitasnya tetapi karena ini kira-kira dicoba, Unair bisa atau tidak bikin ini itu dan ternyata alhamdulillah kita bisa,” katanya.
Keunggulan cangkang kapsul berbasis rumput laut selain terbuat dari tumbuhan yang terjamin kehalalannya, juga harganya yang sangat bersaing sehingga dapat mengurangi impor.
“Keistimewaan utamanya sementara dari harga saya pikir kurang lebih sama. Bahkan kita di antara Rp30, yang dari gelatin juga Rp30. Ini bisa menjadi pilihan alternatif sehingga akan mengurangi impor dan ketergantungan kita kepada luar negeri,” ucapnya.
Nasih menuturkan, bahan baku rumput laut didatangkan dari Probolinggo. Unair juga sedang mengembangkan marine station di Banyuwangi untuk kemudian bisa menghasilkan rumput laut. Sehingga dari hulu dan hilir bisa diproduksi sendiri
Dengan adanya teaching industry cangkang kapsul berbasis rumput laut itu, Nasih menegaskan bahwa produk yang dihasilkan perguruan tinggi di Indonesia bisa bersaing dengan produk asing asal diberi pemerintah lebih memberi kepercayaan. Teaching industry merupakan pola akademik atau pendidikan yang memadukan dengan kebutuhan industri. “Intinya kalau kita dipercaya, diberikan sedikit modal, kita bisa membuat ini dan tak perlu impor,” ucapnya.
Terkait pengembangan teaching industry tersebut, Unair telah menjalin kerja sama dengan berbabagi industri farmasi di Indonesia. “Kami sudah kerja sama dengan Kapsulindo dan Kimia Farma. Kami tingkatkan MoU dari kemitraan ke penggunaan,” katanya. [ina]

Tags: