Indonesia dan Multikulturalisme Persatuan

Oleh :
Robeth Fikri Alfiyan
Merupakan Mahasiswa Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

PERHATIAN ummat muslim terhadap politik sudah muncul sejak awal lahirnya Islam. Seperti pertikaian umat Muslim dan kaum musryik yang mustahil jika tidak memakai strategi, dalam sudut sempit (politik) tata negara, dan langkah yang jitu. Walhasil, melihat keadaan bangsa Indonesia yang moril kian degradasi, maka perbaikan moralitas merupakan langkah keharusan bagi upaya keluar dari badai krisis yang menimpa. Atas dasar tersebut maka tak heran bila bermunculan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai pembaharu dari opponent pemerintah.
Saat ini kelompok sudah terafiliasi ke pelbagai elemen lembaga negara, bahkan di hadapan kita semangatnya makin kencang. Alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan! Terlebih mempersoalkan konsep dan dasar negara, yang dianut Indonesia (demokrasi-pancasila). Tak sedikit para tokoh dan simpatisannya mengklaim dirinya sebagai perwakilan dari tuhan-red. Sebagian orang menilai, pergerakan ini diupayakan untuk mendekonstruksi dengan-mengganti sistem yang sesuai padanya. Hemat saya, celotehan tersebut sungguh berlebihan dan terkesan memaksa!
Kelompok puritanisme
Dalam buku,Selamatkan Islam dari Muslim Puritan karya Khaled Abou el-Fadl, bahwasanya ciri dari kelompok ini adalah menganut paham absolutisme yang tidak kenal kompromi. Kelompok ini selalu memaksakan kehendak dan berupaya merevitalisasi peran agama dalam kehidupan. Bahkan, untuk mendorong terwujudnya cita-cita tersebut, kelompok puritan ini sengajamenggunakan jubah dalam bingkis “agama” untuk melibatkan pada dimensi sosial (politik, ekonomi dan budaya).Dengan kemasan aroma “agamis” tersebut,maka tak sedikit pula rakyat jadi pengikut.
Mengambil istilah Khaled Abou el-Fadl, kelompok tersebut merupakan sekelompok “manusia puritan” yang dibagi tiga kriteria. Pertama, Agama yang didasari atas kekerasan akan menjadi pemicu utama terjadinya konflik sosial di kalangan masyarakat. Kedua, neo-feodalisme yang merupakan suatu cara tebar kuasa untuk dijadikan kewenangan agar memperoleh tujuan tertentu yang sejalan dengan kepentingan dirinya. Serta ketiga adalah puritanisme-religiusyang mengumbar semangat jihad dan gema kesyahidan di ruang publik.
Bahkan, model sistem negaranya yang dijadikan landasan kehidupan dituduh sebagai ladang kehancuran. Dan karena itu mereka menawarkan solusi yang dianggap lebih baik, seperti sistem yang datangnya dari Tuhan-red (khilafah). Mereka berdalih, segala sesuatu bila bertolak padaagama, maka segala persoalan akan segera selesai. Pernyataan ini lagi-lagi sebuah narasi yang tercebak pada kontekstual indoktrinitas, sekali lagi hal ini tak dapat dibenarkan. Bagaimana bisa konsep “Pancasila dan Demokrasi” dianggap gagal sedangkan sudah rakyat Indonesia merdeka selama 72 Tahun silam tanpa ada gesekan? Persoalan kesejahteraan dan kemiskinan bukan sebuah indikator penilaian tapi perseorangan-lah yang dibutuhkn kesadaran tinggi.
Multikulturalisme keyakinan
72 tahun Indonesia merdeka, baru kali ini suara-bisikan konsep dasar negara kembali diperdebatkan ke publik. ‘Haus keagamaan’ barangkali itulah kata yang pas untuk merepresentasikannya. Bilatema hari kemerdekaan yang digagas pemerintah adalah “kerja-bersama” maka kiranya perlu kesadaran bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dankeberagaman yang tidak etis bila menyudutkan lain.
Pemahaman keagamaan yang tekstual, normatif, dan positivistik menyebabkab para penganut puritanisme ini ke tahaprigid-absolute. Mereka tak segan lagi melontarkan ujaran stigmatik, seperti sesat, kafir, thagut, sebagai bentuk respon perlawanan kepada siapa pun yang diangap merusak keyakinannya.
Ironisnya, sistem yang diyakini impor dari luar tidak tepat diterapkan. Padahal tokoh-tokoh pendiri mengamini konsep dasar negara (demokrasi) sebagai langkah final dan kesepakatan bersama.Rasanya bila benar tujuan mereka benar, bangsa Indonesia bukan hanya mengalamikemunduran tapi sulitdiajak berpikir ke depan (inlander-act).Sampai kapan kita terus terjebak pada persoalan ini? Negara-negara lain sudah memikirkan pelbagai teknologi super canggih, industri dan penguatan ekonomi pasar negara. Kita justru terus mengupayakan ego masing-masing. Berhentilah berdalih!
Bagi saya, perbedaan suku, etnis, bahasa, budaya maupun agama adalah yang mesti kita rawat, jaga dengan baik. Adanya perbedaan maka disitu ada persatuan. Disanalah juga terletak keinginan untuk saling mengenal, menghormati serta menghargai antar-sesama. Dengan begitu, kita mestinya tahu bagaimana cara menghargai, menghormati, dan bekerjasama dalam perbedaan tersebut.
Dengan demikian, di tengah perubahan zaman yang makin cepat, masalah ini perlu direspon sesegera mungkin. Misalnya, keberagaman dan perbedaan pandangan merupakan salah satu anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita sebagai intropeksi diri masing-masing, dan bukan penebar benci serta perilaku eksklusif dalam beragama. Atau, perlunya membangun etika yang dapat menyepakati bersama dalam membangun kerukunan antar-umat beragama, sebab Islam tidak mengenal pemaksaan atas dasar agama-apapun. Inilah yang disebut Gus Dur sebagai ‘Multikultural’ bangsa Indonesia.

                                                                                                           ———— *** ————-

Rate this article!
Tags: