Indonesia, Korupsi dan Kleptokrasi

Hasian SidabutarOleh:
Hasian Sidabutar
Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta
Alumnus Universitas Negeri Medan

Ribuan kasus korupsi yang terjadi di negeri ini semakin membuktikan  betapa busuknya pemangku jabatan negara dalam menggerogoti uang negara. Semua kasus itu mencuak secara bertahap bak episode sinetron. Tiap tahun bahkan tiap bulannya, ada saja pejabat yang diseret ke KPK, Kepolisian ataupun Kejaksaan. Sebut saja, kasus korupsi dana bansos yang dilakukan gubernur Sumatera Utara nonaktif, Gatot Pujo Nugroho 2015 lalu.
Media tak henti memberitakan perkembangan kasus yang juga menyeret sejumlah pejabat pusat dan daerah Sumut itu. Ini semakin mempertegas, korupsi bukan saja menjadi salah satu topik paling seksi dalam wacana publik, tetapi benar-benar telah membudaya, mewabah dan merusak seluruh sendi kehidupan bangsa.
Jika dirunut ke belakang, persoalan korupsi ini telah menjadi isu nasional yang tidak pernah lenyap dari wacana publik sejak zaman kolonial. Sehingga, di awal kemerdekaan Bung Hatta mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi bagian dari kebudayaan. Artinya, budaya korupsi bukanlah sesuatu yang tunggal melainkan hasil saling memengaruhi dari berbagai sistem sosial masyarakat.
Korupsi pun dalam sejarahnya, selalu mewarnai dinamika politik, berkembang sesuai dengan perkembangan ekonomi dan berkelindan dengan kekuasaan. Dalam perkembangannya, korupsi lalu dipahami sebagai persoalan psikososial sistemik yang terjadi karena fenomena psikodinamik nirsadar yang dalam istilah Sigmund Freud disebut transferensi.
Transferensi dapat dimengerti sebagai pengembangan proses nirsadar pola-pola relasi masa lampau bangsa dengan penjajah ke realitas relasi penguasa, politik, ekonomi dengan masyarakat seluruhnya masa kini.
Siklus
Korupsi yang telah membudaya, memang seperti dalam novel Pramudya Anantatur, dikatakan sudah mulai disemai dengan baik sejak awal kemerdekaan. Bahkan, jika mau lebih jauh, VOC yang runtuh di akhir tahun 1799 juga terutama disebabkan oleh korupsi. Menurut Wertheim, seorang analis di zaman kolonial, konsep korupsi di Indonesia sudah dikenal dalam sistem birokrasi patrimonial kerajaan-kerajaan di Jawa, jauh sebelum kolonialisme, upeti atau pajak ditarik kerajaan, tidak luput dari penyunatan.
Sistem upeti berkembang pesat di era kolonial di bawah VOC. Penguasa VOC memberi gaji yang rendah kepada pegawainya. Maka, para pegawai melakukan penyuapan untuk mendapatkan kedudukan strategis dalam perusahaan ini. Pada gilirannya, mereka melakukan pungutan dalam pengangkatan bupati. Orang-orang pribumi yang ingin menjadi bupati harus menyogok VOC.  Maka, mulai terjadilah kolaborasi antara pejabat pemerintah dengan usaha dagang.
Itulah diwarisi republik yang kemudian mengidap penyakit yang sama yang harus diterima dalam sistem negara modern. Di zaman Orde Lama, yang pemerintahannya sangat sentralistis dengan memiliki partai yang begitu banyak, tetapi seperti saat ini semuanya tidak peduli dengan korupsi yang terjadi pada rezim tersebut.
Ada korupsi di tubuh pemerintahan Soekarno, tetapi tidak digubris karena memang konsentrasi utama bangsa ketika itu lebih pada perjuangan dalam membentuk republik.
Di masa lalu, korupsi benar-benar mendapatkan sosoknya yang paling pas dengan merasuk di tiga pilar utama institusi negara, yakni birokrasi, politik dan hukum. Di wilayah birokrasi, mulai dari tingkat tertinggi kekuasaan, menyusup ke semua eselon sampai ke kesatuan administrasi rendah kelurahan, RW dan RT.
Gaji pegawai negeri yang minim, kerap menjadi alasan melakukan korupsi dengan mencari sumber pendapatan di luar gaji seperti di zaman kolonial. Itulah yang kemudian dikenal dengan istilah pungutan liar, uang pelicin, uang rokok, dan lain-lain.
Di bidang politik, korupsi dilakukan oleh aktor-aktor politik yang eksis, dengan memanfaatkan peluang apa saja yang dapat dikorupsi untuk kepentingan politik. Di era ini, kita kenal dengan Golkar, tentara dan birokrasi yang merupakan tiga pilar berdimensi tunggal dan secara integratif dalam menyokong lestarinya sistem korupsi.
Ini merembet ke areal hukum, yang kemudian bermunculan dengan apa yang disebut mafia peradilan yang merupakan kombinasi di antara para pelaku korupsi yang di dalamnya tercipta jaringan yang saling bersepakat meningkatkan kerja sama di bidang penyelewengan.
Sistem kerja sama jahat yang telah berlangsung dalam waktu yang lama di republik inilah yang kemudian membuat negara ini disebut sebagai negara kleptokrasi. Negara kleptokrasi adalah negara yang di dalam praktek pemerintahannya ditandai oleh keserakahan, ketamakan dan korupsi yang mewabah (a government characterized by rampant greed and corruption) Amich Alhumami (2005).
Istilah kleptokrasi seperti diuraikan ini menjadi sangat popular setelah digunakan oleh Stanislav dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) yang merujuk pada a ruler or to official whose primary goal is personal environment and who possesses the power to gain private fortunes while holding public office.
Keadilan
Melihat praktek korupsi di negara kleptokrasi yang telah membudaya dan merasuk ke setiap lini kehidupan masyarakat, membuat aksi pemberantasan korupsi menjadi sangat sulit, bahkan absurd. Kondisi krisis, ditambah dengan semangat pengejaran dan pengagungan kekuasaan dalam kehidupan politik yang menyuburkan political corruption, telah melanggengkan pula rezim kleptokrat ini.
Sebagai sebuah negara kleptokrasi, tentu ada segudang kenyataan empiris bahwa tidak ada ruang kosong di negeri ini yang tidak diisi maling. Persoalannya, bagaimana para penegak hukum dan pencipta keadilan berjuang menghadapi para maling yang terus berjuang merampok keadilan dengan uang hasil korupsi? Dan rusaknya keadilan di negeri kleptokrat ini bukanlah barang baru lagi. Tragisnya, mafia hukum atau mafia peradilan pun sudah membudaya beriringan dengan pembudayaan korupsi.
Sebagaimana janjinya dalam Nawacita, presiden Jokowi memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk memberantas korupsi. Jokowi menjadi sandaran rakyat dalam upaya pemberantasan korupsi, karena rakyat kini tak lagi percaya sepenuhnya kepada pencipta dan penegak hukum yang sudah mengubangkan diri dalam praktek politisasi dan transaksi jual-beli keadilan. Presiden dan pemberantasan korupsi adalah dua hal yang harus disatupadukan untuk menyelamatkan negara ini dari para pejabat penyamun. Sebagaimana filsuf Thomas Hobbes dalam Leviathan, menegaskan perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong. Karena itu, harus ada kekerasan untuk mendesakkan hukum.

                                                                                                          —————— *** —————–

Rate this article!
Tags: