Indonesia Krisis Generasi Petani

Gumoyo Mumpuni NingsihOleh :
Gumoyo Mumpuni Ningsih
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang

Indonesia saat ini tengah mengalami krisis generasi petani. Pasalnya, fakta itu bisa terbuktikan dari data Badan Pusat Statistik yang mengeluarkan data bahwa petani Indonesia menyusut sekitar 5 juta jiwa dalam kurun waktu 10 tahun. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor utama, pertama anak-anak petani kehilangan skill bertani yang dimiliki oleh orang tua mereka. Kondisi ini terjadi karena anak-anak petani yang ada di desa dipaksa untuk mengikuti sekolah formal saja. Pendidikan yang mereka dapatkan di dunia sekolah jauh dari dunia pertanian yang sebenarnya ada disekitar mereka.
Padahal kalau kita simak bersama bahwa salah satu target Presiden Joko Widodo dalam sektor pertanian adalah swasembada pangan dicapai dalam tiga tahun ini. Target yang sangat bagus sebab betapa penting swasembada pangan bagi Indonesia. Akan tetapi, pemerintah perlu merobohkan berbagai kendala. Salah satu kendala itu: regenerasi petani di Indonesia.
Regenerasi petani sudah perlu mendapat perhatian sebab jumlah petani terus turun dalam 10 tahun terakhir. Merujuk Data statistik menunjukkan dalam kurun 2005- 2015 terjadi penurunan jumlah rumah tangga petani sekitar 5,10 juta  (16 persen). Rumah tangga petani di Indonesia pada 2005 berjumlah 31,23 juta dan menurun menjadi 26,14 juta pada 2015. Jumlah rumah tangga petani menurun lantaran yang keluar dari sektor pertanian, meninggal, dan berpindah kerja ke sektor lain lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja baru yang menjadi petani.
Minimnya Generasi  Tani
Minimnya generasi tani merupakan gambaran dari defisit generasi tani kita. Defisit tani ini bisa dibilang sebagai masalah regenerasi petani, jika dilihat dari penurunan jumlah tenaga kerja muda di pertanian. Jumlah petani usia muda (15-24 tahun) mengalami penurunan lebih besar dibandingkan dengan jumlah petani usia tua. Jumlah petani usia muda pada 2006 sebesar 5,95 juta menurun menjadi 5,02 juta pada tahun 2013 (BPS, 2005 dan 2015). Angkatan kerja muda tidak lagi berminat bekerja sebagai petani dan memilih bekerja di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi. Suatu keputusan logis karena pertanian memang tidak memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi pekerja.
Di sisi lain, sumber dari Dinas Pendidikan Nasional menyebutkan jumlah calon mahasiswa yang mendaftar pada bidang studi pertanian menurun dari tahun ke tahun. Ini terindikasi sejak tahun ajar 2002/2003, dari 57 ribu calon mahasiswa, turun menjadi 41 ribu calon mahasiswa, tiga tahun kemudian. Penurunan juga terjadi pada semua rumpun ilmu pertanian (termasuk perikanan, peternakan, dan kehutanan). Jikapun ada peningkatan, proporsi peminat bidang pertanian tetap lebih kecil dibanding bidang lain.
Rendahnya minat calon mahasiswa di bidang pertanian berawal dari gambaran negatif profesi petani di mata masyarakat. Menjadi petani sekarang sudah tidak kompetitif lagi. Penilaiannya sederhana, mana lebih sejahtera, menjadi petani, pejabat atau pengusaha? Di Indonesia, pertanian sudah telanjur identik dengan kemiskinan karena sebagian besar masyarakat perdesaan adalah petani gurem.
Generasi muda tertipu dengan kulit luar pertanian yang jorok, kotor, berlumpur dan panas. Tetapi, lupa memaknai betapa enaknya makan nasi, lauk pauk dari hasil pertanian, ketika sudah sampai di meja makan. Jika melihat makanan pokok, lauk-pauk, penganan, hingga bumbu masak siap saji yang berjejer di supermarket, semua bersumber dari pertanian. Tampaknya rantai sistem agribisnis tidak dipahami dengan baik oleh mereka.
Gambaran tersebut akan lebih menjadikan sektor pertanian rakyat menjadi marginal, tidak berdaya saing dan dipertaruhkan. Bagi rakyat Indonesia, pertanian adalah sumber kehidupan, kultur, kearifan lokal, warisan turun temurun, keterampilan bersimbiosis dengan alam. Bukan memeras alam. Jika pertanian rakyat hilang maka negara kehilangan jati diri sebagai negara agraris atau negara maritim yang keduanya bertumpu pada natural resource yang sama yaitu pangan.
Lulusan perguruan tinggi pertanian banyak melarikan diri dari sektor pertanian. Kondisi ini mengakibatkan hilangnya regenerasi pengelola pertanian di masa depan, ketiadaan regenerasi berlanjut pada permasalahan keterbatasan tenaga ahli yang menekuni bidang ilmu pertanian. Selain itu, bisa disulut dari factor-faktor lain, diantaranya;
Pertama, sebagian besar petani di perdesaan umumnya sudah berumur tua. Meskipun jumlah mereka besar, produktivitas mereka sudah menurun. Kegiatan pertanian tidak bisa maju karena tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi pertanian. Keturunan petani yang memilih bekerja di luar sektor pertanian umumnya adalah keturunan petani yang berhasil.
Kedua, keberhasilan mereka ditunjukkan dengan kemampuan menyekolahkan anak sampai jenjang pendidikan tinggi. Dengan pendidikan tinggi itu, anak-anak petani tidak mau lagi bertani dan memilih bekerja di sektor lain. Yang tetap menjadi petani akhirnya hanya mereka yang berpendidikan rendah dan kalah bersaing mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian.
Ketiga, pertanian dijadikan sebagai alternatif terakhir setelah seseorang tidak bisa mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung  kemajuan di sektor pertanian menjadi penyebab utama mereka tidak lagi mau bekerja di sektor pertanian. Keengganan ini pun didukung orangtua yang sebagian besar bercita-cita anak mereka tak bekerja di sektor pertanian.
Keempat, kegiatan pertanian bagi sebagian besar petani dianggap sebagai pekerjaan sampingan meski mereka mengaku bekerja sebagai petani. Alokasi waktu kerja sebagian besar digunakan untuk kegiatan nir-pertanian. Pada waktu panen, petani ini akan menggarap pekerjaan di pertanian. Namun, pada waktu tertentu mereka memilih bekerja sebagai tukang bangunan, pedagang asongan, atau buruh harian di perkotaan. Pekerjaan yang tak fokus ini menjadi penyebab kurang terurusnya lahan pertanian sehingga memiliki produktivitas rendah.
Masalah regenerasi dapat menjadi hambatan utama untuk implementasi program swasembada pangan di Indonesia. Manakala masalah ini berpangkal pada tidak kompetitifnya upah dan pendapatan di sektor pertanian. Upah tenaga kerja di perdesaan tak ada setengahnya dibandingkan dengan upah tenaga kerja nir-pertanian di daerah perkotaan. Petani juga berhadapan dengan impor produk pertanian yang berharga lebih rendah. Tak ada perlindungan memadai terhadap kehidupan petani agar dapat bersaing dan menangkal membanjirnya produk pertanian dari luar. Petani seperti dibiarkan berjalan sendiri, bahkan subsidi bagi petani kian berkurang.
Kelima, dilihat dari aspek dunia pendidikan yang berangkat dari data Jiaravanon (2007) menunjukkan mayoritas petani Indonesia berpendidikan rendah. Sekitar 27,8 persen petani Indonesia tidak tamat SD, bahkan tidak sekolah dan mayoritas (49,2 persen) tamat SD. Hanya sedikit yang melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
Berangkat dari kelima factor penyulut krisis generasi tani tersebut jika dibiarkan maka negeri ini bisa mengalami banyak ancaman. Tentu fakta tersebut harus dijadikan evaluasi buat negeri ini, agar segera mengambil kebijakan yang lebih memperhatikan generasi tani dan sector pertanian itu sendiri.
Langkah Solusi
Minimnya generasi tani tanah air ini jika dibiarkan akan mengatarkan negeri ini pada kondisi terancam. Fakta tersebut, sangat berpotensi menciptakan banyak ancaman. Tentu hal ini berpengaruh pada kecepatan atau kemampuan menyerap transfer of knowledge berkaitan dengan informasi dan teknologi pertanian.
Negeri ini akan semakin ketergantungan pada asing dalam pengembangan teknologi dan mekanisasi pertanian, alat-alat pertanian, pestisida hingga paten bibit unggul tanaman. Perguruan tinggi yang memiliki jurusan pertanian menjadi tidak percaya diri, tidak kreatif mengenalkan keunggulan yang dimiliki. Perguruan tinggi pertanian sibuk memutar otak membuka jurusan-jurusan baru yang lebih banyak diminta oleh pasar kerja. Bukan meningkatkan kapasitas dan daya kreasi bidang pertanian.
Pemecahan masalah inipun sebenernya menjadi pekerjaan kita bersama, mulai dari pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan atau lingkungan sekolah. Hal-hal yang bisa dikontribusikan buat sector pertanian diantaranya.
Pertama, solusi yang sekiranya bisa dilakukan oleh pemerintah harus memperbaiki citra pertanian dengan mengganti politik pangan agar lebih pro rakyat dan pro pertanian rakyat. Dalam hal distribusi, Bulog (pemerintah) harus difungsikan kembali sebagaimana mestinya, menyerap dan mendistribusikan hasil pertanian rakyat, mekanisme pasar dihapus sebagai satu-satunya alat pemenuhan kebutuhan akan pangan. Celah impor dipersempit, berlakukan hanya pada kondisi darurat pangan dan benar-benar dibutuhkan.
Kedua, perlu sinergitas langkah antara pemerintah, institusi pendidikan, stakeholder pertanian masyarakat dan media massa. Dalam konteks pendidikan pertanian, para pemuda harus disadarkan dengan kampanye pertanian edukasi sejak duduk di bangku SD. Di sini, pola pikir pertanian dibentuk sejak dini.
Ketiga, pengembangan riset di bidang teknologi dan mekanisasi pertanian perlu mendapat asupan dana penelitian yang cukup dan kontinyu dari pemerintah. Hasil-hasilnya diaplikasikan di lapangan oleh para dosen dan mahasiswa kepada para petani. Akademisi pertanian harus turun ke lapangan agar pendidikan pertanian lebih terserap dalam benak para mahasiswa.
Selain ke tiga langkah itu, menurut hemat penulis yang tidak kalah pentingnya adalah peran media, baik cetak dan elektronik yang menurut hemat penulis selama sector pertanian kurang mendapat apresiasi. Jujur harus kita akui bersama bahwa soal pertanian ini sangatlah penting untuk menuju kemandirian dan kedaulatan pangan.

                                                                                                                  ———— *** ————

Rate this article!
Tags: