Indonesia Lawan Hoax

Tim Siber negara telah menjejaki paparan berita hoax sebanyak 200 akun, hanya dalam waktu setengah bulan (Maret 2019). Riuh hoax tercatat mengalami “panen raya” sampai 300% jelang pemilihan presiden (pilpres). Seluruhnya akan berlanjut pada ranah hukum berupa tuntutan pidana. Segenap kalangan masyarakat, dan ke-profesi-an patut mencermati isi pesan yang “diteruskan.” Tak terkecuali kalangan umat antar-agama.
Hoax, umumnya memapar unsur SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan). Berdasar data BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), selama triwulan akhir tahun 2018, telah ditemukan 350 akun peretas hoax. Pada sebulan Januari (2019) ditemukan 175 akun, serta selama Pebruari sebanyak 350 akun. Semakin meningkat hanya dalam setengah bulan Maret telah ditermukan sebanyak 200 akun penyebar hoax. Tren naik bagai hitung mundur pilpres. Semakin dekat pilpres, semakin “menggila.”
Informasi hoax, juga ditebar terang-terangan. Selain melalui “sales” door to door, juga dinyatakan dalam pertemuan terbuka. Semakin “menggila,” karena institusi negara menjadi sasaran hoax. Antara lain KPU (Komisi Pemilihan Umum), di-delegitimasi dengan dugaan pencurangan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Padahal pasti, KPU (serta KPU Kabupaten dan Kota) selalu merevisi temuan kesalahan. Termasuk NIK WNA (Warga Negara Asing). Walau jumlahnya hanya sebanyak 1.680, tersebar di berbagai negara.
Isu hak coblos WNA, dipastikan hoax. Karena setiap WNA yang telah memenuhi syarat, pasti memiliki NIK. Tetapi dipastikan tidak memiliki hak coblos. Pengawasan hak coblos, melibatkan perangkat KPU sampai tingkat kelurahan dan desa (Panitia Pengutan Suara, PPS) hingga KPPS di TPS. Perangkat KPU di TPS telah memperoleh sosialisasi memadai. Bahwa WNA tidak memiliki hak mencoblos dalam pemilu.
Begitu pula isu hoax surat suara yang telah dicoblos. Telah berakhir pada ranah hukum. UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), akan menjadi “pedang hukum” hoax. Seluruh berita bohong, bukan sekadar pelanggaran pemilu. Serta dijerat dengan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Melainkan juga tindak kriminal. Bisa diancam dengan tuntutan pidana sesuai KUHAP (Kitab Undang-undang Acara Pidana). Bisa pula diancam dengan UU ITE, manakala disebarkan melalui media sosial (medsos).
UU ITE pada pasal 28 ayat (2), dinyatakan larangan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).” Setiap korban (Tim Kampanye capres, maupun calon legislatif) bisa melapor ke Kepolisian, dan BSSN. Pelanggaran terhadap pasal 28 ayat (2), bisa dihukum penjara selama 6 tahun.
Kegaduhan sosial dalam media sosial (medsos), benar-benar telah membahayakan keamanan nasional. Potensi tawur sosial bisa meledak setiap saat. Berbagai fitnah, berita bohong, dan ujaran kebencian, seolah-olah bebas dipapar pada area publik. Terutama berkait proses tahapan pemilihan presiden (pilpres) 2019, hoax semakin “meng-gila.” Konon hoax, sebagai balasan terhadap pemerintah yang biasa memapar data bohong.
Propaganda e-hate, berupa fitnah dan berita bohong, kini menjadi usaha menggiurkan. Melalui laman (dan akun), hoax, bisa dipesan untuk ditebar luas (dan bebas) di media sosial. Ujaran kebencian, di-rekayasa dengan kalimat menarik, seolah-olah benar. Ditambah saran share (meneruskan), niscaya berdampak kekacaukan pranata kehidupan sosial. Konon sindikat internasional turut berperan menyebar hoax untuk kepentingan politik.
Memerangi hoax yang masif, niscaya perlu dukungan partisipasi masyarakat. Termasuk turut menyebarluaskan (stempel) “HOAX.” Terhadap informasi yang telah dijejaki tim siber negara.

——— 000 ———

Rate this article!
Indonesia Lawan Hoax,5 / 5 ( 1votes )
Tags: