Industri Mebel Jatim Mulai Gulung Tikar

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Dialihkannya order produk mebel dari buyers Eropa dan AS senilai US$40 juta ke Vietnam membuat produsen mebel di Jatim yang berorientasi ekspor mulai gulung tikar, akibatnya ada sekitar  2.400 karyawan akan di PHK atau kehilangan pekerjaan.
Melemahnya daya saing mebel Jatim disebabkan tingginya biaya produksi seperti komponen upah pekerja di ring I (Surabaya dan sekitarnya) sebesar Rp2,7 juta/bulan, kenaikan tarif tenaga listrik, pemberlakuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), ketergantungan asesoris mebel terhadap impor.
Wakil Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha (Forkas) Jatim, Peter S. Tjioe, yang diijumpai Juamat (20/2) mengatakan bahwa beberapa asosiasi industri padat karya (industri mebel, sepatu, garmen, tekstil dan produk tekstil) di provinsi tersebut tahun ini mengalami penurunan kinerja, sehingga bisa berdampak melambatnya pertumbuhan ekspor.
Bahkan, lanjutnya, produsen mebel berorientasi ekspor di Kab. Mojokerto mulai menutup pabrik akibat tingginya beban biaya produksi terutama komponen upah pekerja yang mencapai 30%. Selain itu, terbebani kenaikan tarif tenaga listrik dan pemberlakuan sertifikat SVLK yakni sistem pelacakan multistakeholder (lintas instansi) untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan.
“Dua pabrik mebel di Kab. Mojokerto masing-masing mempekerjakan 200 orang per pabrik mulai Januari tahun ini berhenti produksi karena manajemen perusahaan itu hanya mampu memberikan upah Rp2,3 juta/bulan, tapi para pekerjanya justru minta di-PHK guna mendapatkan pesangon tinggi (Rp70 juta – Rp80 juta),” tuturnya,
Kab. Mojokerto merupakan salah satu sentra industri Pmebel berorientasi ekspor, selain Kab. Pasuruan dan Kab. Gresik yang juga masuk pengupahan ring I. Sementara total perusahaan mebel di Jatim sebanyak 5.000 unit terdiri dari usaha skala kecil, menengah dan besar.
Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Jatim, Nur Cahyudi, menyebutkan selain menutup pabrik, beberapa produsen mebel lainnya di Jatim juga akan melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja. Potensi pengurangan tenaga kerja mencapai 2.400 orang tahun ini.
“Penutupan pabrik dan pengurangan karyawan terpaksa dilakukan karena terjadinya pembatalan produksi akibat pengalihan order yang dilakukan buyers dari Eropa dan Amerika Serikat. Hingga awal Pebruari nilai pengalihan order sebesar US$40 juta ke Vietnam,” ujarnya.
Menurut Nur, sektor penggergajian kayu dan industri kayu olahan di Jatim juga kehilangan pendapatan rata-rata US$8 juta/bulan tahun ini. Hal itu sebagai imbas menurunnya volume produksi mebel. Kondisi tersebut bisa memperlemah kemampuan industri mebel Jatim untuk berperan dalam mendongkrak nilai ekspor mebel secara nasional.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Rahmat Gobel dalam pertemuan dengan AMKRI Jatim di Surabaya pekan lalu mencanangkan kenaikan nilai ekspor mebel sebesar 300% dalam kurun 2014 – 2019 atau 20% per tahun. Nilai ekspor mebel pada 2014 tercatat US$2 miliar dan ditargetkan naik menjadi sedikitnya US$5 miliar pada 2019.
Nur mengatakan kontribusi industri mebel Jatim tahun lalu sebesar 60% terhadap total ekspor mebel nasional senilai US$2 miliar. Dengan demikian, nilai ekspor mebel Jatim pada 2014 sekitar US$1,2 miliar.
“Pertumbuhan ekspor mebel Jatim tahun ini bisa melambat, karena berbagai hambatan. Apalagi pemerintah pun akan membuka kran ekspor kayu gelondong yang mengakibatkan industri mebel kesulitan bahan baku,” paparnya.
Menurut Nur, kewajiban mengurus sertifikat SVLK pun membebani, karena biayanya  Rp25 juta untuk kategori usaha kecil, sedangkan usaha menengah dan besar lebih tinggi lagi. Masa berlakunya 3 tahun dan setiap tahun harus diperbarui, dimana pengurusannya dikaitkan dengan aspek ketenagakerjaan, izin HO, Amdal dan sebagainya.
“Semula SVLK diberlakukan mulai Maret 2013, tetapi kami meminta penundaan mulai tahun ini. Negara-negara lain tidak ada kewajiban SVLK,” tandasnya.
AMKRI Jatim, lanjut Nur, meminta kepada pemerintah agar mengambil langkah yang dapat meringankan beban industri mebel, diantaranya memberikan insentif untuk revitalisasi/peremajaan mesin. Selama ini impor mesin baru dikenakan bea masuk 5%, padahal merupakan barang modal.
Asesoris mebel berupa barang-barang dari logam seperti kaki meja juga masih diimpor dan dikenakan bea masuk, sehingga produsen mebel sulit menekan biaya produksi.
“Pemerintah perlu membuat iklim kondusif bagi investor guna mendirikan supporting industry/industri pendukung produksi mebel berupa asesoris mebel agar tidak mengalami ketergantungan terhadap impor,” ujarnya.
Nur mengkuatirkan melemahnya kinerja industri mebel Jatim tahun ini, di tengah besarnya peluang pasar mebel dunia yang mencapai sekitar US$124 miliar. Kondisi industri mebel semacam itu bisa berdampak terhadap penurunan volume kegiatan industri ikutannya seperti pabrik cat, kertas karton, transportasi, angkutan truk kontainer.
“Pengalihan order senilai US$40 juta setara dengan angkutan 2.000 unit kontainer ukuran 40 feet. Sedangkan ongkos angkutan setiap truk dari Kab. Mojokerto menuju Pelabuhan Tanjung Perak sebesar Rp3,2 juta. Jadi, pendapatan yang hilang cukup besar” katanya. [ma]

Tags: