Dampak cuaca hujan ekstrem, niscaya berdampak pada kenaikan harga bahan pangan. Banjir menjadi kendala transportasi (darat, laut, dan udara) menyebabkan kerentanan distribusi bahan pangan. Begitu pula curah hujan yang deras menyebabkan gagal panen, dan gagal jual. Ditambah faktor “persaingan” kebutuhan, maka inflasi menjadi keniscayaan. Tetapi kinerja pengendalian inflasi patut diapresiasi karena cepat tanggap mengendalikan harga. Inflasi hanya berkisar 0,45%.
Banjir telah menyergap semakin meluas, termasuk melanda sentra tanaman pangan. Penyusutan daya dukung lingkungan, telah menimbulkan multiplier-effect. Terjadi. inflasi, yang dipicu kenaikan harga bahan makanan dan minuman, terutama kedelai, ikan, sayur, telur dan bumbu-bumbuan. Cabai, tetap menjadi “motor” penggerak inflasi. Serta harga produk olahan kedelai (tahu dan tempe) yang naik, karena ketergantungan impor kedelai yang bersaing pada pasar global.
Panen buah juga tidak akan menggembirakan. Tetes air hujan yang menembus kulit buah menyebabkan fermentasi lebih cepat, berakibat pembusukan. Begitu pula sayur dan aneka tanaman bumbu (bawang merah, tomat, sawi, brokoli), semuanya sangat rentan terhadap guyuran hujan. Padahal musim hujan baru berjalan tujuh pekan. BMKG ((Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) me-warning, cuaca ekstrem uncak musim hujan masih akan berlanjut sampai Maret (2021) nanti.
Berdasar penjejakan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi selama Desember 2020 sebesar 0,45% (disbanding November 2020). Sedangkan inflasi bulan Januari 2021 diperkirakan tak lebih dari 0,40% (dibanding Desember 2020). Indeks Harga Konsumen (IHK) turut terdongkrak menjadi 105,68. Artinya, secara riil terjadi pertambahan harga pada tingkat pasar konsumen sebesar 5,68%. Setiap daerah memiliki IHK berbeda, bergantung prinsip suplai and demand, walau tidak mencolok.
Sudah banyak hamparan jalan (milik negara dan jalan propinsi) yang direndam banjir akibat hujan dengan instensitas tinggi. Problem yang sama juga dialami perdagangan interinsuler (antar-pulau) terkendala oleh cuaca berupa badai dan ombak besar. Di pelabuhan Jangkar (Situbondo), dan pelabuhan Mayangan (Probolinggo), misalnya, puluhan kapal memilih bersandar di dermaga. Hal yang sama terjadi di pelabuhan Cirebon, dan pelabuhan di jajaran Pelindo II (BUMN kepelabuhan).
Sehingga ratusan kontainer berisi bahan kebutuhan sehari-hari tak terangkut. Pelabuhan lain di Jawa Timur, juga dipenuhi truk yang berjejer. Antaralain di pelabuhan Bawean (Gresik), pelabuhan Ketapang di Banyuwangi. Pemandangan makin memprihatinkan tergambar pada seluruh tempat pelelangan ikan (TPI) dalam kawasan pelabuhan rakyat. Hampir tidak ada transaksi hasil tangkapan, karena tidak ada nelayan yang melaut (manakala gelombang laut mencapai 1,25 meter atau lebih).
Perekonomian petani, nelayan, dan pedagang kecil makin terpuruk karena tidak dapat menjalankan aktifitas nafkahnya. Bahkan merugi karena banyak sawah yang baru disemai (sebagian malah siap panen) habis tersapu banjir. Begitu pula areal tambak dan kolam budidaya ikan tersapu air bah. Masih disyukuri jika kawasan banjir yang kotor tidak menyebarkan penyakit.
Tekanan multiplier dampak hujan, patut diwaspadai sebagai “bencana susulan” yang tak boleh sering-sering terjadi. Karena itu diperlukan kebijakan antisipatif lebih komprehensif. Bukan sekadar proposal perbaikan infra-struktur (jalan dan jembatan). Melainkan juga program bersifat karitatif dan penegakan peraturan Rancangan Tataruang dan wilayah (RTRW). Musim hujan seolah-olah menjadi “periode” merosotnya perekonomian.
Maka seyogianya pemerintah tidak menaikkan tarif barang, dan jasa yang tergolong administered price, termasuk harga eceran tertinggi. Serta terutama tarif dasar listrik (TDL), dan harga BBM. Namun ironisnya, sebagian pemerintah daerah malah menaikkan pajak kendaraan bermotor (PKB). Serta pulsa token listrik yang dirasa cepat habis.
——— 000 ———