Inflasi Musim Hujan

Foto: ilustrasi

Banjir dan longsor mulai menyergap beberapa daerah, termasuk melanda sentra tanaman pangan. Ketidak-mampuan lingkungan menghadapi hujan, telah menimbulkan multiplier-effect. Tak lama, niscaya akan menghambat mobilitas perekonomian mayarakat di seluruh sektor. inflasi bisa meroket lagi, dipicu oleh naiknya harga bahan makanan dan minuman, terutama ikan, sayur, buah, telur dan bumbu-bumbuan.
Lebih lagi, kenaikan inflasi bisa “digoreng” menjadi komoditas politik. Ditebar di media sosial (medsos) dengan narasi mencekam. Seolah-olah seluruh harga pangan naik tak terkendali, mahal tak terjangkau. Padahal kenaikan harga disebabkan cuaca (hujan) yang rutin terjadi. Inflasi juga sangat kecil, hanya berkisar 0,28%. Tidak menguras perekonomian rumahtangga. Dalam setahun (Januari sampai Oktober 2018), inflasi tercatat sebesar 2,22%.
Pengalaman “bulan hujan” semusim lalu (November 2017), inflasi tercatat 0,20%. Meningkat tipis (0,01%) dibanding bulan Oktober 2017. Namun secara tahunan (year to yaer, yty) inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) selama sebelas bulan naik sebesar 2,87%. Selain disebabkan volatile food, kenaikan IHK juga disebabkan administrated price (kenaikan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah). Antaralain, kenaikan cukai rokok, kenaikan harga BBM, dan kenaikan harga gas LPG.
Sedangkan volatile food, biasa naik pada musim hujan. Diantaranya, beras, cabai merah, bawang merah, telur, dan daging ayam. Namun secara tahunan, kelompok volatile food malah mencatat deflasi sebesar 1,24%. Pada musim hujan, biasanya menghambat distribusi darat maupun perairan, karena banjir (dan longsor). Guyuran hujan merendam lintasan jalan negara dan jalan propinsi. Serta banyak armada angkutan diliburkan.
Panen buah juga tidak akan menggembirakan. Tetes air hujan yang menembus kulit buah menyebabkan fermentasi lebih cepat, berakibat pembusukan. Begitu pula sayur dan aneka tanaman bumbu: cabe, bawang merah, tomat, sawi, brokoli, semuanya sangat rentan terhadap guyuran hujan. Padahal musim hujan baru berjalan setengah bulan. BMKG ((Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) me-warning, bahwa cuaca ekstrem masih akan berlanjut sampai Pebruari.
Problem yang sama juga dialami perdagangan interinsuler (antar-pulau) terkendala oleh cuaca berupa badai dan ombak besar. Di pelabuhan Jangkar (Situbondo), dan pelabuhan Mayangan (Probolinggo), misalnya, puluhan kapal memilih bersandar di dermaga. Sehingga ratusan kontainer berisi bahan kebutuhan sehari-hari tak terangkut. Pelabuhan lain di Jawa Timur, juga dipenuhi truk yang berjejer. Kapal kecil dilarang melaut.
Hal yang sama terjadi di tempat pelelangan ikan (TPI) dalam kawasan pelabuhan rakyat. Hampir tidak ada transaksi hasil tangkapan, karena tidak ada nelayan yang melaut. Perekonomian petani, nelayan dan pedagang kecil makin terpuruk karena tidak dapat menjalankan aktifitas nafkahnya. Bahkan merugi karena banyak sawah yang baru disemai (sebagian malah siap panen) habis tersapu banjir. Begitu pula areal tambak dan kolam ikan tersapu air bah.
Tekanan multiplier dampak hujan, patut diwaspadai sebagai bencana yang tak boleh sering-sering terjadi. Karena itu diperlukan kebijakan antisipatif lebih komprehensif. Bukan sekadar proposal perbaikan infra-struktur (jalan dan jembatan). Melainkan juga program bersifat karitatif dan penegakan peraturan rancangan tataruang dan wilayah (RTRW). Musim hujan seolah-olah menjadi pertanda “periode” merosotnya perekonomian masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Maka periode “jeda” ekonomi seiring musim hujan, memerlukan respons pemerintah dan masyarakat lebih bijak. Terutama kukuh menjaga daya dukung lingkungan, dan tata-ruang. Sehingga tidak menimbulkan musibah perekonomian. Pemerintah seyogianya tidak menaikkan tarif dan harga komoditas. Serta secara khusus mengawasi kenaikan harga pulsa telepon selular. Belanja pulsa telah menjadi kebutuhan sekunder terbesar, yang bisa menguras keuangan rumahtangga.

——— 000 ———

Rate this article!
Inflasi Musim Hujan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: