Influencer dalam Promosi Kesehatan

Oleh :
Hafidh Maulana
Penulis adalah pegawai Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Telah tersiar kabar bahwa Pemerintah akan mengalokasikan Rp 72 Miliyar untuk influencer asing yang datang ke Indonesia. Dana tersebut merupakan insentif berbentuk potongan atau diskon tiket pesawat ke 10 destinasi yang ditetapkan pemerintah. Upaya tersebut cukup beralasan karena dampak COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) telah memberi pukulan telak bagi sektor pariwisata.
Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, setiap bulan Indonesia harus merugi sekitar 500 juta dolar AS akibat lesunya sektor pariwisata. Pemerintah sepertinya benar-benar mengharapkan peran signifikan para inflencer sehingga tidak tanggung-tanggung mengalokasikan dana sedemikian besar. Dengan perkembangan media digital, telah banyak perusahaan menggunakan jasa influencer dalam memperkuat pemasaran dan promosi. Istilah influencer disematkan pada seseorang yang memiliki jumlah followers atau pengikut yang banyak di media sosial. Dengan kekuatan itu, mereka memiliki pengaruh bagi para pengikutnya untuk melakukan sesuatu. Kini potensi besar seorang influencer seharusnya tidak hanya dimanfaatkan dalam dunia bisnis, tetapi juga dalam pemasaran sosial.
Pemerintah selayaknya melirik potensi influencer untuk melakukan pemasaran sosial seperti kampanye kesehatan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa influencer melalui media sosialnya akan menggeser iklan konvensional di masa depan. Menurut GetCRAFT dalam laporannya yang bertajuk “Indonesia Native Advertising and Influencer”, orang Indonesia mengkonsumsi media soasial lebih banyak dibandingkan televisi. Menurut firma pemasaran yang berbasis di Asia Tenggara tersebut, angkanya mencapai 3 jam 16 menit, lebih lama daripada televisi yang hanya 2 jam 23 menit. Potensi influencer juga dikuatkan oleh pernyataan Mike Heller, agensi influencer asal Amerika Serikat. Dia menyatakan bahwa seseorang yang memiliki 30 juta, 20 juta ataupun 5 juta pengikut, jauh lebih berpengaruh dibandingkan saluran media konvensional lain.
Peran influencer dalam kampanye kesehatan diharapkan mampu mempengaruhi masyarakat dalam perubahan perilaku ke arah yang lebih sehat. Dalam konsep Health Behavior, influencer bisa menjadi salah satu faktor reinforcing (penguat) untuk terjadinya perubahan perilaku. Aktivitas influencer dalam mempromosikan produk di media sosial melalui tampilan visual, terbukti mampu mempengaruhi konsumen dalam memutuskan pembelian. Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk mencoba mengadopsinya dalam kampanye kesehatan.
Promosi kesehatan saat ini menjadi fokus agenda mengingat semakin tingginya kasus penyakit baik yang menular maupun tidak menular. Faktor perilaku merupakan kontributor terbesar dari terjadinya kedua penyakit tersebut. Beban penyakit menular di Indonesia seperti TBC, Kusta, HIV/AIDS dan lain-lain semakin tinggi. Belum selesai masalah penyakit menular, kita juga dihadapkan dengan beban penyakit tidak menular. Menurut data WHO, angka kematian di Indonesia yang diakibatkan gaya hidup, lebih tinggi daripada penyakit menular. Kerusakan lingkungan yang berdampak pada status kesehatan masyarakat juga akibat perilaku buruk masyarakatnya. Oleh karena itu, cara terbaik untuk meningkatkan status kesehatan adalah dengan merubah perilaku.
Selama ini, promosi kesehatan mengandalkan peran kader kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama sebagai pendorong terjadinya perubahan perilaku. Harus diakui bahwa mereka merupakan para “influencer” lokal yang mempunyai keterbatasan. Dengan tambahan “kekuatan” influencer media sosial, diharapkan terjadi akselerasi untuk meluasnya kampanye perubahan perilaku. Hal tersebut didukung fakta bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 171 juta jiwa pada tahun 2018. Dengan demikian, pemasaran sosial berupa kampanye pesan-pesan kesehatan berpotensi dijangkau oleh 64,8% penduduk Indonesia.
Tantangan
Konsep pemasaran sosial dengan konten pesan kesehatan sangat berbeda dengan pemasaran komersial. Tidak seperti pemasaran komersial, target pemasaran sosial adalah perubahan perilaku yang tentu membutuhkan waktu relatif lebih lama dan sulit untuk mengukur tingkat keberhasilannya. Oleh karena itu, hal tersebut pasti akan berkonsekuensi terutama pada aspek finansial dalam pelaksanaannya. Namun saat ini kita perlu optimis mengingat mulai banyak influencer yang bersedia bergabung dalam kegiatan amal.
Sebagai salah satu contoh, Michelle Pangemanan yang saat ini aktif sebagai beauty influencer, ternyata juga aktif dalam gerakan sosial Generasi Muda Peduli yang berkontribusi dalam pengadaan 1000 ruang belajar untuk anak-anak di pelosok Indonesia. Aktivitas para influencer dalam kegiatan amal sebenernya juga akan meningkatkan citra diri mereka sehingga berdampak pada kenaikan jumlah follower.
Upaya melibatkan influencer dalam aktivitas kampanye kesehatan tentu saja tidak sesederhana yang dibayangkan. Perlu memperhatikan berbagai hal antara lain : konten apa yang akan ditampilkan, siapa sasaran yang dituju, perilaku apa yang diharapkan, siapa influencer yang sesuai dan lain-lain. Satu hal lagi yang menjadi catatan adalah bahwa peran influencer tidaklah menggantikan peran dari para pihak yang selama ini telah berjuang dalam merubah perilaku masyarakat. Para kader kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama selama ini telah berperan menjangkau segmen masyarakat yang tidak mengikuti gegap gempita media sosial. Influencer akan menjadi pelengkap yang diharapkan dapat mempercepat meluasnya kampanye hidup sehat yang telah dijalankan. Semakin banyak dukungan diharapkan akan memperbesar peluang terjadinya perubahan perilaku masyarakat. Jika Kementerian Pariwisata berani menginvestasikan dana influencer untuk peningkatan sektor pariwisata, maka Kementerian Kesehatan harus lebih berani berinvestasi untuk Indonesia yang lebih sehat. Semoga momen era disrupsi ini tidak terlewatkan begitu saja.
————- *** ————–

Rate this article!
Tags: