Insentif Lebih “Nendang”

imagesPaket kebijakan untuk menggairahkan roda perekonomian, terus digagas oleh pemerintah. Paket pertama, dan kedua,terasa kurang “nendang.” Karena masih menunggu waktu sangat lama. Serta penataan birokrasi membutuhkan berbagai regulasi dan pembiasaan. Kini pemerintah, sedang meng-kalkulasi kebijakan lebih “nendang,” yang dapat dirasakan dampaknya dalam waktu pendek. Sekaligus mendongkrak popularitas.
Pilihan itu tak lain, penurunan harga BBM (Bahan Bakar Minyak).Walau Bank Indonesia telah me-warning, agar pemerintah tidak sekadarmencari popularitas. Karena menaikkan atau menurunkan harga BBM harus dikalkulasi cermat. Konon sudah terdapat mekanisme yang disepakati  (hitung ulang setiap tiga bulan). Transparansi kalkulasi juga perlu dilakukan, agar masyarakat memahami. Yang  dikhawatirkan adalah, turun harga sedikit, tetapi pemerintah kehilangan kredibilitas (karena tidak berdampak positif).
Dua kebijakan terdahulu (diumumkan pada bulan September), diakui tidak mudah direalisasi. Tidak dalam waktu dekat.Paket kebijakan (pertama) diantaranya berupa percepatan proyek infrastruktur strategis, dan meningkatkan daya saing industri, serta meng-geber property. Namun sektor ekonomi, niscaya tidak mudah kepincut kebijakan tanpa melihat realisasi. Pertumbuhan ekonomi yang melemah membutuhkan berbagai “kemudahan.” Terutama pada birokrasi perizinan, serta murahnya bunga kredit sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah).
Sektor UMKM, patut memperoleh insentif. Pada masa resesi ekonomi terdahulu (1998 dan 2006), sektor UMKM tampil sebagai “pahlawan” pergerakan ekonomi. Saat ini sektor UMKM telah tumbuh menggurita. Ditaksir jumlahnya mencapai belasan juta unit, mulai bermodal Rp 2 juta sampai Rp 2 milyar. Namun sangat sedikit pelaku sector ini yang memperoleh fasilitasi perbankan. Antaralain  disebabkan agunan asset tidak bank-able.
Begitu pula kebijakan kedua, tentang kemudahan izin investasi. Konon, izin penanaman modal (akan) bisa selesai hanya dalam tiga jam. Bisa ditunggu bagai membuat pas-photo. Ini janji pemerintah untuk menggairahkan iklim investasi. Berbagai usaha yang di-modali investasi dalam negeri maupun asing, langsung bisa realisasi. Walau disadari janji ini tidak mudah.
Harus diakui, masih banyak suap dan pungutan di bawah meja, menjadi kelaziman.Bukan hanya ketika berhadapan dengan birokrasi. Melainkan juga pemburu rente (commitment fee) kalangan rezim. Juga “serbuan” jajaran legislatif, sampai pensiunan pejabat tinggi. Sudah menjadi pembicaraan publik, bahwa perusahaan BUMN pun, harus menyetor “upeti” untuk memenangkan tender proyek pemerintah.
Melalui berbagai sidang pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi), “upeti” terungkap, dan nyata-nyata telah menjadi penghambat realisasi usaha. Seluruh pengusaha, termasuk BMUN, mesti meng-ancang-ancang ongkos suap sebagai biaya produksi. Nilai pungutan liar ditaksir berkisar antara 14% hingga 23% dari total biaya produksi.
Akibatnya, harga jual produk (barang maupun jasa) lebih mahal. Itu yang menyebabkan produk dalam negeri tidak kompetitif. Hambatan gerak perekonomian, bukan hanya pada banyaknya “meja” yang harus dilalui. Tetapi berlanjut pada saat realisasi usaha, termasuk pada sekto distribusi. Misalnya, proses ekspor dan impor masih harus melalui perizinan berbagai Direktorat Kementerian. Tidak gratis pula (selain retribusi dan pajak).
Pilihan menurunkan harga BBM seharusnya keniscayaan. Karena ICP (Indonesia Crude Price, harga minyak Indonesia) saat ini hanya US$ 54,32 per-barel. Bukan hanya BBM premium dan solar, melainkan juga harga BBM avtur perlu diturunkan. Karena harga avtur Indonesia tertinggi di ASEAN. Pemerintah hanya perlu mengurangi hak margin keuntungan pada penjualan BBM.
Begitu pula pajak penjualan atas BBM (saat ini masih sekitar Rp 1.110,- per-liter untuk premium) perlu dikurangi. Penurunan harga BBM memang akan tersa “nendang” seketika. Yakni, daya beli masyarakat akan meningkat. Dus, pemerintah akan memperoleh “cash-back” (berupa pajak dan retribusi) dari pergerakan ekonomi yang tumbuh lebih baik.

                                                                                                                        ———   000   ———

Rate this article!
Tags: