Integritas Kiai Fattah dan Muhammadiyah

foto ali makfudlOleh :
Ali Makfudl
Ketua komisi D DPRD Lamongan, Aktivis Muhammadiyah di Solokuro

SEBUTAN Kiai di lingkungan Muhammadiyah memang tidak begitu akrab, karena kiai pada umumnya menggambarkan figur seseorang dengan kapasitas pengetahuan agama  yang mumpuni, misalnya hafalannya (Al-Qur’an) banyak bahkan kalau perlu harus hafidz, kemampuan baca kitab kuningnya (arab gundul) juga lancar dan fasih, dan mempunyai pondok pesantren.
Jika itu yang dipakai sebagai kriteria menggambarkan seorang kiai, maka di Muhammadiyah memang agak kurang, karena pondok pesantren di kalangan Muhammadiyah masih bisa dihitung dengan jari (masih belum banyak), tetapi jika saja sebutan kiai lebih pada kompetensi diri dengan kemampuan seseorang akan pengetahuan agama yang mendalam, punya hafalan al-qur’an yang banyak, kalau perlu hafidzul qur’an bahkan juga hadits, membaca kitab kuningnya juga bagus meskipun tidak punya pondok pesantren, saya rasa di Muhammadiyah tidak terlalu sulit untuk mencarinya.
Sebut  saja misalnya di pantura ada K.H.Hasan Nawawi (ponpes At Taqwa Muhammadiyah Kranji), Muhammad Tsabit ketua pimpinan cabang Muhammadiyah Solokuro, H.Muhammad Yasin kepala desa Tunggul Paciran, H.Kasuwi Tharif Laren. Dari kalangan muda ada ustadz Masro’in Assafani Laren, ustadz Yasir Tadjid Sukodadi anak muda yang sangat produktif, mereka semua tidak punya pondok pesantren, tetapi sekali lagi hafalan Al-Qur’an dan Al Haditsnya sangat banyak bahkan sebagian dari mereka juga hafidz dan kitab kuningnya juga sangat bagus, dan tentu masih banyak yang lainnya.
Ini artinya di Muhammadiyah masih banyak sumber daya yang bagus, dan kepemimpinan Muhammadiyah  khususnya di kabupaten Lamongan yang akan datang betul-betul masih membutuhkan figur-figur dengan kompetensi seperti itu, karena Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan, seperti halnya Nahdlatul Ulama’ (NU) yang keberadaannya benar-benar dibutuhkan sebagai kekuatan penyanggah pertahanan moral umat dan moral bangsa ini.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis musyawarah daerah (musda) ini harus dijadikan sebagai momentum mencari dan menempatkan kader-kader terbaik persyarikatan, caranya musyawwiruun harus banyak mencari tahu dan informasi tentang figur-figur terbaik persyarikatan ini, mulai dari kemampuan akan kedalamannya tentang ilmu agama sampai juga menyangkut kemampuan managerialnya. Namun demikian, karena di Muhammadiyah kepemimpinan lebih bersifat kolektif dan kolegial sehingga kekurangan yang lain akan bisa ditutup dengan kelebihan yang lain, begitu sebaliknya.
Rasanya sebagai  orang utama (topleader) di Muhammadiyah haruslah tetap figur dengan kapasitas keagamaan yang benar-benar mumpuni, artinya pengetahuan agamanya baik dan kepribadiannya juga baik, karena akan menjadi teladan bagi umat Muhammadiyah di tingkat daerah.
Terkait dengan momentum seperti ini, jujur saja penulis ingin sampaikan, bahwa kepemimpinan Muhammadiyah di kabupaten Lamongan sepeninggal almarhum K.H. Abdul Fattah menjadi terasa gersang kalau bukan kering, rasanya ada sesuatu yang hilang, dan perasaan seperti ini tidak bisa di-seminarkan ataupun didiskusikan, cukup bagi para calon pimpinan di Muhammadiyah yang jumlahnya kurang lebih 68 orang kandidat ini harus banyak belajar, serta banyak membaca bagaimana dan seperti apa almarhum K.H. Abdul Fattah selama mengabdikan dirinya untuk mendakwahkan islam melalui Muhammadiyah ini, kemudian meneladaninya.
Sebab kalau dari aspek kompetensi pengetahuan (agama), saya kira banyak kader-kader Muhammadiyah yang sekarang ini minimal sama dengan beliau, bahkan mungkin ada yang diatas kemampuan beliau. Tetapi dari kompetensi diri yang lain mungkin ada yang lepas dari kader atau figur sekarang ini, sehingga terasa ada sesuatu yang ganjil.
Almarhum kiai Fattah dalam mengabdikan dirinya untuk islam melalui Muhammadiyah ini benar-benar terlihat totalitas, dan hanya terhenti tatkala sudah sakit keras, bahkan kesaksian seorang kawan yang ketika menjenguk beliau di rumah sakit menuturkan bahwa, sewaktu K.H. Abdul Fattah ini sudah dalam kondisi sakit keras bahkan sudah menjelang ajal katanya, saat itu dari lisan beliau terucap kalimat penuh kepasrahan, beliau sempat berkata “Yaa Allah sekiranya umurku ini masih bisa memberikan manfaat untuk orang lain, tolong berilah aku kesempatan untuk hidup, tetapi kalau sudah tidak bermanfaat saya ikhlas engkau ambil”.
Sesuatu yang keluar dari lisan seorang yang sudah sakit keras, bahkan dalam kondisi sebelumnya yang menurut dokter K.H. Abdul Fattah perlu tranfusi darah karena memang kondisinya membutuhkan tambahan darah, tetapi  beliau tidak mau karena merasa tidak jelas darah siapa yang akan ditranfusikan padanya, sehingga dokter pun mengurungkannya.
Dari sini jelas sekali  ungkapan yang menggambarkan ketulusan seseorang yang selama hidupnya memang untuk berdakwah memberikan pencerahan kepada umat, membimbing dan menunjukkan jalan kepada umat, mana-mana yang haq dan mana pula yang bathil berdasarkan tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah. Satu hal yang juga mengesankan dari beliau adalah sikapnya yang lugas dan tegas dalam menyampaikan kebenaran tetapi juga sangat bijaksana (bil hikmah), sehingga terasa teduh dan bersahaja serta berwibawa, karena apa yang beliau sampaikan benar-benar lurus, tulus dan ikhlas, tidak tendensius untuk kenyamanan pribadi, apalagi keluarga, hanya semata-mata panggilan menyampaikan kebenaran (addakwah ila al-haq) dan juga untuk mencegah kebathilan (al-bathil), sehingga beliau sangat dihormati baik dikalangan Muhammadiyah sendiri maupun juga diluar Muhammadiyah, almarhum benar-benar memasrahkan hidupnya dan keluarganya kepada kekuasaan Allah SWT.
Jabatan yang diembannya juga tidak lantas dipakai sebagai kesempatan aji mumpung, ini bisa dilihat dari berita kehidupan anak-anak almarhum, tidak ada satupun yang di titip-titipkan untuk bekerja di amal usaha Muhammadiyah, baik di sekolah, rumah sakit maupun amal usaha yang lain milik Muhammadiyah, justru sebaliknya anak-anaknya dibiarkan untuk bekerja sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimilikinya.
Prinsip yang beliau jaga adalah nilai kehalalan dari harta atau rizki itu sendiri, sehingga ada diantara anak beliau yang mengais rizeki Allah cukup dengan berjualan es tebu yang tidak jauh dari rumah tempat tinggalnya. Nah, Apakah nilai-nilai (values) seperti ini, sehingga menjadikan figur kiai Fattah sangat dirindukan umat Muhammadiyah.
Wallahu’A’lam bishawab.

                                                                                          ———————– *** ————————-

Tags: