Investasi Daerah dan Potensi Konflik Agraria

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabaya, Sedang menulis Disertasi tentang Konflik Agraria di Jawa Timur
Berdasarkan peringkat dalam Easy of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berusaha 2020 versi World Bank Group, Indonesia berada pada posisi 73 dari 1909 negara. Di banding tahun lalu, peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia tak berubah. Dan peringat ini tidak mencapai target sebagaimana yang dicanangkan Presiden Jokowi di rangjing ke-40. Tak heran jika pemerintah terus berupaya “menggenjot” dengan menyederhanakan sistem perizinan. Sejak Mei 2018, pemerintah telah meluncurkan program One Single Submission (OSS) yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha. Kebijakan dan semangat pemerintah ini memang perlu ditangkap oleh daerah, salah satunya dengan membuat atau revisi produk hukum daerah (baca: Perda) yang relavan.
Menko Perekonomian, Airlangga Hartato, menyebut implementasi OSS, terutama di daerah bekum optimal. Kebijakan penanaman modal daerah harus menjadi bagian dari bentuk penyelenggaraan perekonomian daerah dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi daerah, membangunan pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian dearah yang berdaya saing. Penanaman modal diharapkan tidak hanya berorientasi kepada motif keuntungan semata (provite oriented), tetapi juga diarahkan kepada pemenuhan tugas pembangunan daerah pada umumnya dan berperan serta dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan dalam setiap rencana pembangunan, yang meliputi: Peningkatan produksi daerah/penggalian potensi-potensi ekonomi daerah; Penciptaan lapangan kerja untuk masyarakat; dan Peningkatan penataan hasil-hasil pembangunan/ partisipasi masyarakat dalam pembangunan/kegiatan ekonomi dan pemerataan kegiatan pembangunan ke daerah.
Potensi Konfik Agraria
Kebijakan dan pengaturan masalah investasi, nantinya akan menjadi bagian dari Omnibus Law. Kebijakan deregulasi dalam bentuk omnibus law ini, pada prinsipnya bagaimana agar arus investsi dari luas bisa mudah masuk ke Indonesia. Bapak Presiden Jokowi dalam satu kesempatan pernah mengungkapkan kekecewaannya, mengapa para investor asing memindahkan investasinya ke beberapa negara di ASEAN, tak masuk ke Indonesia. Begitu besarnya kebutuhan investasi bagi perekonomian nasional dan pertumbuhan ekonomi, mendorong presiden melakukan kebijakan cepat, salah satunya dengan membuat omnibus law, dengan harapan arus invetasi banyak yang masuk dengan mudah dan berdampak pada perekonmian nasional.
Namun kebijakan invetasi yang liberalistik akan berpotensi menimulkan banyak masalah sosial di masyarakat, salah satunya konflik agraria akan semakin meruncing dan meluas. Ini mengingat, investasi yang peentrasinya sampai ke daerah, bahkan pedesaan, tentu saja membutuhkan lahan yang luas. dalam titik ini, lahan-lahan pertanian di pedesaan sanat rawan menjadi sasasran pengambilan secara paksa, atau minimal alh fungsi lahan, dengan atas nama pembangunan dan investasi. Praktek-praktek ala orde baru, yakni perampasan sepihak hak atas tanah masyarakat lokal atau adat sangat mungkin terjadi. Saat ini saja dengan kebijakan infrastruktur yang megitu masif dan eksesif, telah melahirkan berbagai konflik agraria yang meluas di berbagai daerah di Jawa Timur.
Dalam evaluasi akhir tahun, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang tahun 2017 terjadi kenaikan konflik sebesar 50 persen dibandingkan tahun 2016, dari 450 kasus menjadi 659 kasus konflik agraria dengan cakupan 520.491 hektare. Konflik-konflik tersebut melibatkan sedikitnya 652.738 Kepala Keluarga (KK). Dibanding tahun 2016, angka kejadian konflik pada tahun ini menunjukkan kenaikan yang sangat siginifikan di mana terjadi peningkatan hingga 50%. Jika dirata-rata, hampir dua konflik agrarian terjadi dalam satu hari di Indonesia sepanjang tahun ini. Konflik agraria ini diprediksi akan semakin meningkat seriing dengan meningkatnya kebutuhan tanah untuk pembangunan, salah satunya pembangunan infrastruktur dan industrialisasi yang begitu masif di berbagai dearah. Di tambah lagi, munculnya RUU Pertanahan yang bermasalah dan diprotes para petani. Sebut saja misalnya pada pasal 91 RUU, berbunyi ;”Setiap orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang melaksanakan tugas pada bidang tanah miliknya atau orang suruhannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dengan paling banyak Rp 500 juta”. Pasal ini, akan berpotensi dijadikan sebagai alat untuk mengkriminalsiasi para petani dalam mempertahakan hak atas tanahnya yang telah dikuasai dan dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan sejak lama. Konflik agrraria akan semakin meruncing.
Terkait dengan konflik agraria di Jawa Timur, mantan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo dalam acara Rapat Koordinasi Pendataan, Inventarisasi dan Solusi Permasalahan Tanah di Jawa Timur 2019, pernah mengatakan, saat ini setidaknya terdapat 102 kasus sengketa tanah yang bersifat komunal yang terjadi di 18 kabupaten/kota di Jatim yang sedang dilaporkan ke KOMNAS HAM RI untuk dicarikan penyelesiakannya yang komprehensif dan berkeadilan. Lebh lanjut Soekarwo menjelaskan, prinsip dasar dari sengketa tanah semuanya bermuara pada siapa yang menjadi pemilik tanah tersebut dan bagaimana legalitasnya. Persoalan konflik tanah adalah persoalan krusial dan kompleks yang tidak cukup diselesaikan dengan hukum positif secara mutlak, tetapi harus juga harus mempertimbangkan kelangsungan hidup dan kehidupan warga masyarakat serta konteks sosio-historisnya. Karena baik secara individual maupun komunal, masyarakat mendapatkan hak penguasaan, pemanfaatan, dan kepemilikan tanah secara turun-temurun.
Kebijakan investasi dan penetrasinya sampai ke daerah-daerah, meskipun diyakni akan memiliki efek ekonomi yang cukup menjanjikan bagi pembangunan daerah, penerimaan daerah, dan kesejahteraan masyarakat lokal, namun kebijakan ini berpotensi menimbulkan konflik nilai dan norma sosial di masyarakat, yakni antara hadirnya nilai-nilai baru yang dianggap “modern” liberalistik dengan nilai-nilai atau norma sosial/lokal masyarakat yang tradisional. Bahkan nilai modern-liberalistik kerapkali menginvasi dan mengkolonialisasi nilai dan tatanan sosial tradisional masyarakat lokal yang berakibat pada pudarnya kohesi dan harmoni kehidupan sosial masyarakat. Dan ketidakharmonisan dan konflik nilai ini yang kemudian bisa berujung pada konflik sosial di masyarakat.
Karena itu, kebijakan investasi penetratif dan kolonialistik, apalagi nantinya akan dituangkan dalam hukum payung (omnibus law), harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai ambisi berburu banyak dollar, kemudian mengorbankan kehidupan masyarakat. Biaya sosial dari sebuah kebijakan investasi yang penetratif dan kolonialistik, dengan sasaran industri ekstratif, akan sangat besar dan mahal. Hak-hak komunal masyarakat lokal, baik itu sosial, ekonomi, dan budaya akan semakin tergerus. Kehidupan masyarakat lokal akan terancam tersingkir dengan ekspansi dan kolonialisasi lahan di pedesaan oleh para investor besar (baca: kapitalis). PR bagi pemerintah pusat dan daerah, bagaimana menghadirkan kebijakan dan praktek investasi daerah yang inklusif dan ramah lingkungan.

Tags: