Ironi Negeri Para Pengumpat

Oleh:
Husamah
Pendidik di Prodi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Hiruk pikuk politik, khususnya gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia yang cenderung memanas beberapa tahun terakhir telah memunculkan sisi lain. Sayangnya, bukan prestasi berupa kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi anak negeri, melainkan umpatan, hinaan, dan makian yang cenderung mengarah kepada perpecahan.
Meminjam definisi Teguh Puja (2018), seorang Praktisi Bahasa dan Dosen, kata umpatan termasuk bagian dari kata afektif, yang bertujuan untuk menunjukkan perasaan dan juga emosi seseorang. Umpatan lebih cenderung digunakan untuk menyatakan ketidak-sukaan, ketidak-nyaman dan benci. Jadi, elemen negatif dari kata umpatan itu yang lebih ditekankan. Umpatan dapat muncul dari banyak kata, salah satu dalam konteks ini muncul dari kata binatang. Pada kondisi yang lain, umpatan bisa juga muncul dari kata yang berasal dari anggota badan tertentu.
Derasnya arus media sosial menyebabkan kondisi semakin runyam, karena hinaan, umpatan, dan makian itu direproduksi berlipat ganda, layaknya pertumbuhan dan perkembangan bakteri dan virus, yang pada akhirnya menjadi sebuah paham Sinisme. Olga Satrova dan Daniel Ehlebracht, berturut-turut dari Department of Social Psychology, Tilburg University, Tilburg, the Netherlands, dan University of Cologne, Germany, dalam artikel mereka berjudul Education as an Antidote to Cynicism: A Longitudinal Investigation (dalam jurnal Social Psychological and Personality Science, 9[1]: 59-69), dengan jelas mendefinisikan tentang sinisme. Secara kasar mungkin kita dapat menerjemahkan sinisme sebagai konstruksi disposisi sifat manusia, yang mencerminkan perbedaan individu sebagai baik atau jahat. Sinisme melibatkan penilaian negatif terhadap niat dan motif orang lain dan kecenderungan untuk memandang sebagian besar orang lain dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan.
Umpatan produk Pilpres
Sejarah bangsa telah mencatat noda bahwa di media sosial atau dunia maya, bahkan terkadang menyeruak pula dalam kehidupan nyata, muncul panggilan bagi pendukung Presiden Joko Widodo, yaitu cebong. Sementara pendukung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto atau tokoh selain Joko Widodo diidentikkan dengan sebutan kampret. Sinisme ini terus berlanjut, meskipun cenderung mereda manakala pada akhirnya Prabowo Subianto bergabung dalam Kabinet Indonesia maju dan menjadi Menteri Pertahanan.
Uraian ini tidak bermaksud memperunyam masalah, tapi sekedar membagi pengetahuan tentang ragam sinisme yang sempat muncul saat pemilihan presiden 2019, atau bahkan beberapa pengamat mengatakan telah muncul pasca PIlpres 2014. Semakin menguat pula pada Pemilihan Gubernur DKI yang memunculkan pertarungan dahsyat Anies Baswedan vs Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).
Arti dari istilah-istilah tersebut saya kutip dari portal berita BBC.com yang secara lengkap dapat anda ikuti di link https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-47653910. Pertama, cebong, dengan kata turunan: cebongers, cebby, dan kecebong. Cebongers banyak digunakan sejak Pilpres 2014 lalu untuk menyebut pendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sebutan ini mungkin muncul karena para haters terinspirasi oleh fakta bahwa Joko Widodo gemar memelihara kodok ketika menjadi walikota dan gubernur. Karena itulah segelintir orang memunculkan raja kodok – berdampingan dengan sebutan cebongers (pengikutnya).
Kedua, kampret. Istilah ini disematkan kepada para pendukung Prabowo, sebagai balasan atas kata cebong. Tidak seperti kata cebong yang bersumber dari Joko Widodo yang gemar memelihara kodok, masih tidak diketahui mengapa kata kampret yang dipilih untuk menyebut kelompok pendukung Prabowo. Namun, ada yang mengatakan bahwa kampret diidentikkan dengan aktivitas bergelantungan di pohon sehingga posisi otaknya terbalik.
Ketiga, IQ 200 sekolam. Istilah ini juga populer di kalangan warganet ditujukan pada kelompok cebong atau cebongers oleh kubu lawannya. Frasa itu pertama muncul dalam cuitan @rockygerung pada Agustus 2017 lalu, tapi kemudian masih terus muncul dan dikutip luas oleh warganet dalam cuitan-cuitan sesudahnya.
Keempat, bani micin. Bani micin atau kaum kebanyakan micin merujuk pada kelompok yang anti-Joko Widodo atau kerap menyalahkannya atas berbagai kebijakan yang diambilnya atau mungkin hal yang, oleh pendukung, dianggap tidak ada hubungannya dengan kebijakan Joko Widodo. Salah satu yang mempopulerkan dan menggunakan istilah bani micin adalah selebritas media sosial, Denny Siregar.
Sebenarnya masih banyak lagi istilah yang cennderung sinisme, sebagai “produk sampah” dari geliat Pilpres, misalnya Jainuddin Ngachiro, Mukidi, Politik Sontoloyo vs Gendruwo, kaum sumbu pendek, si nganu, si wowo, dan lain sebagainya. Bahkan belakang muncul pula istilah kadal gurun (kadrun), kadal kebun, serta bani togog.
Menurut Fatimah (2019), sebagaimana dimuat dalam Pelayananpublik.id, Kadal gurun sering muncul dalam percakapan warganet di media sosial untuk melabelkan seseorang yang memiliki pemikiran yang sempit, mudah panas hati, dan tidak bertoleransi. Kadal gurun disebutkan untuk kaum yang setidaknya punya salah satu atribut ini: (1) Keturunan Arab, tak pro-Jokowi, cenderung sektarian; (2). WNI non-Arab namun berbusana Timur Tengah (dan bukan pendukung Jokowi); (3). Salah satu, atau gabungan, dua unsur tadi dan menyandang label intoleran, garis keras, pro-NKRI bersyariah, bahkan disebut pro-khilafah. Sebutan gurun di sana mengarah ke daerah Timur Tengah, meskipun sebenarnya di daerah Timur Tengah tidak memiliki gurun- yang justru menunjukkan bahwa penyebut istilah itu kurang luas pengetahuannya.
Togog berasal dari istilah perwayangan Jawa. Togog adalah salahsatu tokoh wayang kembaran Semar dan Bhatara Guru. Nah, menyebarnya istilah Togog itu diyakini karena sebuah cuitan dari Sudjiwo Tedjo tentang gambar wayang yang terlihat menjadi latar belakang saat Jokowi dan Prabowo makan bersama. Jokowi berada di depan tokoh wayang bernama Togog, sedangkan Prabowo berada di depan tokoh Semar. Kalau Semar adalah pemimpin kaum pandawa atau ksatria baik. Maka Togog adalah tokoh yang memimpin kaum Kurawa atau ksatria jahat.
Saatnya berubah
Dalam kontek ajaran Islam, kita perlu merenungi kembali pesan Nabi Muhammad SAW. Abu Hurairah RA berkata bahwa Nabi Muhammad SAW telah bersabda: “Barang siapa selama hidupnya mengumpat satu kali, maka Allah menyiksanya dengan 10 macam siksaan, yaitu ia jauh dari rahmat Allah, para malaikat tidak mau mendekat, saat sakaratul maut yang menyakitkan, dekat dengan neraka, semakin jauh dari surga, dahsyat siksa kuburnya, amal baik dihapus, ruh Nabi Muhammad sakit karena dia, Allah SWT murka, dan ia akan jadi orang pailit ketika ditimbang amal di hari kiamat,”. Tentu kita tidak mau dicap sebagai kaum humazah (pengumpat) dan lumazah (pencela). Tentu, kita tidak ingin generasi bangsa ini terjebak dalam karakter yang tidak baik.
Saatnya pula pemerintah secara serius memenuhi janji revolusi mental. Pemerintah perlu memberikan contoh, bukan malah seperti apa yang disangkakan Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford, Inggris, dalam artikelnya The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation, yaitu memelihara para buzzer (bisa pula dikategorikan sebagai pengumpat) untuk menyerang lawan politik.
Organisasi kemasyarakatan, harus kembali meneguhkan perannya. Semua harus bersama-sama menjadi pihak-sebagaimana Fatwa Majelis Ulama Indonesia-yang dalam komunikasi dan pergaulannya dapat mendorong kepada kebaikan (al-birr) dan ketakwaan (al-taqwa), mempererat persaudaraan (ukhuwwah) dan cinta kasih (mahabbah), bisa menambah ilmu pengetahuan, dan tidak melahirkan kebencian (al-baghdla’) serta permusuhan (al-‘adawah).
Kita pun masih percaya bahwa pola pendidikan karakter yang baik dan benar, khususnya di lembaga pendidikan akan mereduksi kondisi dan orang-orang sesuai spesifikasi yang telah kita uraikan tersebut. Tentu ini merupakan pekerjaan maha berat. Tapi, kita tidak boleh berputus asa bukan? Wallahu a’lam bisshowab.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: