Ironi Politik Gersang Spiritualitas

HusamahOleh:
Husamah
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

Sampai detik ini kita masih menghadapi kondisi politik berisik (noisy). Kedua kubu, Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, yang katanya sama-sama menyuarakan aspirasi rakyat dan menjadi daulat Tuhan tengah melakukan drama politik. Berbagai intrik dan akrobatik politik dilakukan, tak peduli etika dan norma.
Kedua kutub politik ini saling menyerang, menjegal, dan menjatuhkan. Kondisi semakin runyam manakala kedua kutub masing-masing memiliki mesin media sebagai alat propaganda. Berita di-setting seakan-akan itu fakta padahal nyatanya hanyalah isu bahkan tidak berdasar fakta. Jadilah rakyat sebagai penonton, mengelus dada, dan kehabisan kata.
Sungguh ironis, ketika menonton drama politik yang diperankan para elite politik dan tokoh bangsa ini. Mereka yang seharusnya menjadi suri tauladan, contoh baik, dan pejuang implementasi moral justru bertindak di luar koridor kelayakan dan kepatutan. Kenyataan yang begitu vulgar saat ini adalah para elite politik hanya mengutak-atik strategi untuk mendapatkan kekuasaan, mengeruk kekayaan sebesar-besarnya, dan melanggengkannya agar bisa terus-menerus dinikmati.
Prestasi yang muncul kepermukaan dan sampai kepada rakyat bukanlah prestasi memajukan kemakmuran rakyat serta bangsa tetapi elite politik yang cenderung dekat dengan perilaku penyimpangan politik seperti KKN, mark-up anggaran, suap, gratifikasi sampai kepada skandal seks. Wajar saja bila Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis data bahwa sebanyak 48 calon anggota legislatif 2014-2019 terpilih tersangkut perkara korupsi. Dari 48 orang yang tersangkut korupsi, sebanyak 26 orang menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kotamadya, 17 orang menjadi anggota DPRD Provinsi, dan 5 orang dilantik sebagai anggota DPR RI. Berdasarkan status hukum, sebanyak 32 orang berstatus tersangka korupsi, 15 orang terdakwa dan 1 orang merupakan terpidana. Angka ini tentu semakin memperkuat data Kementerian Dalam Negeri Tahun 2014 yang menyebutkan, terdapat 3.169 anggota DPRD se-Indonesia yang tersangkut perkara korupsi selama kurun waktu 2004-2014.
Keseharian elite politik kita hanya disibukkan dengan perang kata-kata yang tidak pantas diungkap di tengah umum. Mereka saling membentak dan bersilat lidah yang jatuhnya pada debat kusir. Fitnah dan saling tuding pun menjadi sebuah keharusan untuk mengusung agenda-agenda pribadi dan kelompok. Dalil yang dimunculkan hanya sekedar bualan atau basa-basi.  Konon, elite politik kita saat  ini adalah putra-putri terbaik bangsa yang dibesarkan dalam nuansa keluarga yang harmonis, lingkungan yang guyub-rukun, dan masyarakat yang kaya nilai spiritualitas. Namun sayangnya, kondisi berbeda 180 derajat, elite politik justru sangat gersang dari nilai spiritualitas politik. Elite politik kita hanya berjalan dalam gerbong pementingan nafsu dan keluar dari rel nilai-nilai spiritualitas yang semestinya dijunjung tinggi. Jejak-jejak ajaran kitab suci seperti tanpa bekas dalam perilaku-perilaku elite politik bangsa. Wajar jika rakyat Indonesia sebagian besar kini menjadi apriori dan sinis.
Gersangnya Spiritualitas Politik
Spiritualitas adalah berkaitan dengan hubungannya individu dengan Sang Pencipta. Spiritualitas terkait dengan menemukan arti dan tujuan hidup, menyadari kemampuan menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri, dan mempunyai perasaan keterikatan diri dengan Dia Yang Maha Tahu segalanya. Spiritualitas tidak lain adalah nilai yang ada dalam diri manusia yang meyakini bahwa terdapat kekuatan besar (tuhan) di atas kekuatannya sendiri sebagai manusia. Itulah cara manusia untuk mentransendensikan seluruh aktivitas mereka di dunia dan “melayani” Tuhan dalam setiap urusan yang mereka kerjakan.
Sementara itu, spiritualitas politik merujuk pada pengalaman hidup rohani, menyangkut selalu “hadirnya” dalam relasi politik yang dijalani. Spiritualitas politik dimaknai sebagai penghayatan hidup rohani yang tampak dalam dunia politik. Secara khusus, politik mengacu pada keterlibatan langsung dalam politik praktis demi tercapainya kebaikan umum, seperti di tingkat legislatif, yudikatif atau eksekutif dalam tata pemerintahan negara.
Idealnya, jubah spiritualitas dikenakan dan menjadi pelindung hati nurani, dalam berpolitik. Sayangnya, elite politik kita menganggap bahwa dunia politik tidak ada kaitannya dengan spiritualitas. Logika politik mereka menegaskan, spiritualitas justru akan menjadi penghambat karena akan membatasi ruang gerak untuk bertindak sesuai kehendak sendiri. Logika seperti inilah, yang menyebabkan bangsa kita kian terpuruk.
Menyuburkan Kembali Spiritualitas
Politik adalah bagian inti dari agama, agama apapun itu. Jika politik di anggap wilayah yang kotor, maka berkecimpung di dalamnya akan berkonsekuensi mengotori spiritualitas. Tapi, jika politik adalah medan jihad, maka pada saat yang sama ia akan menjadi sarana ibadah. Prinsip inilah yang selau harus dipegang.
Setiap insan politik yang percaya akan adanya Tuhan memiliki tanggung jawab spiritual untuk memakmurkan kehidupan dan meningkatkan, kualitas kemanusiaan dan bangsa. Tentu sudah waktunya para elite melakukan introspeksi diri, bertaubat, dan sembari melakukan hal yang terbaik. Kita semua sebagai bagian dari bangsa yang kita cintai ini berharap bahwa spiritualitas politik akan bermuara pada lahirnya para pemegang kekuasaan yang benar-benar sebagai pemegang mandat rakyat, bukan hamba kekuasaan.
Para elite politik tidak boleh memandang kekuasaan dan jabatan yang dimiliki saat ini sebagai berhala kehormatan yang senantiasa disembah. Para elite harus menyadari bahwa mereka bukan raja diraja, melainkan hanyalah hamba. Posisi dan aktivitas mereka akan senantiasa mendapatkan kontrol oleh Tuhan. Andaipun mereka bisa mengelabui rakyat, maka  tentu Tuhan Maha Mengetahui tingkah polah hambanya.
Akhirnya, apabila spiritualitas politik tumbuh subur kembali pada diri para elite, maka kita tidak akan pernah menyaksikan kisruh dan gaduh politik seperti saat ini. Dan pada akhirnya, kemakmuran rakyat serta bangsa bukan hal mustahil untuk tercapai. Semoga saja.

                                                   —————————- *** —————————-

Rate this article!
Tags: