Ironi Warga Pulau Gili Ketapang, Kabupaten Probolinggo

Pulau Gili Ketapang yang terus tergerus ombak dan kini luasnya semakin berkurang. [wiwit agus pribadi]

Luas Pulau Terus Menyusut, Harga Kebutuhan Sandang dan Pangan Sangat Mahal
Kab Probolinggo, Bhirawa
Tinggal di pulau kecil dengan keterbatasan sarana dan prasarana memang sangat sulit. Contohnya adalah warga yang tinggal di Pulau Gili Ketapang, Kabupaten Probolinggo. Warga yang tinggal di pulau yang sangat indah untuk obyek wisata ini harus pergi ke Kota Probolinggo untuk memenuhi kebutuhan hidupnya jika ingin mendapat harga murah. Belum lagi luas Pulau Gili Ketapang yang terus menyusut akibat pengambilan pasir untuk pembangunan fisik di pulau tersebut.
Terlepas dari kesulitan air bersih saat ini, pemenuhan kebutuhan hidup warga Desa Gili Ketapang, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, sebenarnya memang banyak bergantung dari luar pulau. Khususnya dari Kota Probolinggo, daratan terdekat dan yang paling mudah dijangkau.
Dengan naik kapal motor khusus penyeberangan, warga bisa sampai di kota. Dari sini pula, warga memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Mulai kebutuhan sandang, pangan, kesehatan, pembangunan fisik, juga pendidikan. Untuk kebutuhan makan dan minum misalnya, warga berbelanja di keluar pulau. Itu dilakukan warga untuk kebutuhan rumah tangga, maupun warga yang membuka toko atau peracangan.
“Warga memang tetap belanja ke kota, istilahnya kulak ke kota. Mulai bahan baku makan dan minum, pakaian dan bahan bangunan. Kadang belanjanya satu minggu sekali, ada pula yang sebulan sekali,” terang Kepala Desa Gili Ketapang, Suparyono.
Dengan menggunakan alat transportasi kapal motor, warga menyeberang ke kota berbelanja. Jika barang dijual lagi di Desa Gili, memang kemudian harga jualnya lebih mahal. Bahan bangunan di Desa Gili misalnya, harganya dua kali lipat lebih mahal dibanding di luar Gili.
Sebab, warga harus mengeluarkan biaya transportasi laut dan darat. Sebelum dinaikkan ke kapal dan setelah diturunkan dari kapal, ada biaya transportasi darat. Belum lagi jasa pengangkutan barang. Baik jasa angkut ke kapal, juga jasa angkut saat diturunkan dari kapal.
Seperti yang ditegaskan Kasi Kesra Desa Gili Ketapang Solehuddin. Menurutnya, harga jual kebutuhan di Gili mahal, karena biaya transportasi dari dan menuju Gili juga mahal. “Kalau harga tanah murah di Gili. Lebih mahal harga tanah di kota. Namun pembangunan rumahnya yang mahal. Membangun satu unit rumah di sini, sama saja dengan membangun tiga unit rumah di kota. Sebab, harga bahan bangunan mahal. Bisa dua atau tiga kali lipat harga jual di kota,” lanjutnya.
Karena harga tanah yang murah itulah, ada larangan warga luar Gili membeli tanah di Gili. “Jadi warga luar Gili tidak bisa membeli tanah di Pulau Gili. Kalau diperbolehkan, bisa-bisa nantinya tanah warga Gili banyak dibeli orang luar,” tuturnya.
Aturan itu, menurutnya, menguntungkan warga Gili. Mereka tidak perlu khawatir orang luar membeli tanah mereka dengan murah. Namun, yang tetap jadi kendala adalah harga bahan bangunan sangat mahal. Karena itu, warga berharap ada pemasok bahan bangunan ke Gili. Sehingga, warga tidak kesulitan saat akan melakukan pembangunan fisik. Misalnya membangun rumah.
Seperti yang diungkapkan Sucipto, Ketua BUMDes Wisata di Desa Gili Ketapang. “Harapan kami ada pemasok bahan baku bangunan. Jadi harganya tidak mahal. Pasir misalnya, ada yang memasok. Sehingga, warga tidak memakai pasir di Pulau Gili untuk membangun,” lanjutnya.
Diakuinya, mahalnya harga bahan baku bangunan membuat warga setempat memanfaatkan pasir di Gili untuk pembangunan fisik. Akibatnya menurutnya, luas Pulau Gili pun bekurang. Pernah tercatat memiliki luas 68 hektare, saat ini luas Pulau Gili tercatat 61 hektare. “Kalau warga terus-terusan menggunakan pasir sini, lama-lama Pulau Gili ini semakin kecil dan sempit. Sementara jumlah penduduk naik,” tandasnya.
Selain kebutuhan sandang pangan, pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan di Pulau Gili juga terbatas. Memang, ada lembaga pendidikan dan fasilitas kesehatan di sana. Namun, terbatas. Untuk pendidikan misalnya, di Gili sudah ada TK, SD, dan SMP. Namun untuk melanjutkan ke SMA tetap harus keluar pulau. Karena itu, banyak anak Gili yang keluar pulau untuk melanjutkan sekolah atau masuk pesantren selulus SMP. Ada yang sekolah atau masuk pesantren di Kota atau Kabupaten Probolinggo. Ada juga yang melanjutkan keluar daerah.
Namun tak sedikit pula yang tak melanjutkan sekolah. Mereka kemudian mengikuti jejak keluarga menjadi nelayan. Untuk fasilitas kesehatan, sudah ada puskesmas pembantu (pustu) di Desa Gili Ketapang. Tentu saja, kelengkapan alatnya jauh di bawah puskesmas. Karena itu, warga Gili yang sakit tetap harus ke rumah sakit di Kota atau Kabupaten Probolinggo.
Meski demikian, kondisi itu tidak membuat warga setempat berkeinginan hengkang dari pulau dan pindah ke Kota atau Kabupaten Probolinggo. Walaupun faktanya, banyak warga Gili yang punya rumah di luar pulau.
“Banyak warga Gili yang punya rumah di kota atau kabupaten. Namun untuk pindah atau hengkang dari pulau sangat kecil. Sebab, selain ini tanah kelahiran kami, di pulau ini kami bisa lebih produktif menghasilkan uang,” terang Sucipto.
Misalnya menjadi operator snorkeling seperti dirinya. Atau menjadi nelayan, bekerja di kapal penyeberangan atau menyediakan jasa angkut. “Bisa dibilang perputaran uang di Pulau Gili ini cepat dan produktif. Saya juga membeli rumah subsidi di kota,” tandasnya.
Pulau ini masuk dalam Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo. Namun, letaknya lebih dekat dengan Kota, bahkan segala aktivitas perekonomiannya berjalan di Kota Probolinggo. Pulau ini memiliki luas 64 hektare dan terus berkurang akibat pengambilan pasir putih sebagai bahan bangunan. Dulu seluruh pesisir pulau bisa dibuat lapangan bola, sekarang di sebelah selatan dan timur tidak ada sisa.
Banyak orang menyangka pulau Giliketapang memiliki penduduk yang sedikit. Ternyata itu salah besar. Gili Ketapang termasuk pulau terpadat di Indonesia, penduduk disana kurang lebih 10 ribu jiwa. Dan hampir 95 persen lebih berprofesi sebagai nelayan. Penduduk giliketapang mayoritas suku Madura dan beragama Islam dengan kekentalan tradisi pesantrennya. Sekitar 90 persen pemuda di Gili Ketapang menempuh pendidikan pesantren.
Pulau Gili Ketapang bukanlah pulau wisata dan masih belum diproyeksikan sebagai tempat wisata. Hal ini karena warga masih trauma dengan kejadian 20-25 tahun yang lalu tentang isu relokasi penduduk Gili Ketapang ke pesisir timur Pantai Bentar.
Namun, sejak 2016 mulai dibangun dan dirintis sebagai pulau wisata bahari. Hal ini tak lepas dari tangan Lailul Marom, Rohman, dan Khunin. Project Wisata Bahari yang dibangunnya mulai tumbuh dan berkembang dengan pesat. Awalnya penuh penolakan, namun sejak tahun 2017 akhir masyarakat mulai membuka diri dan menerima dengan lapang. Saat ini sudah terdapat 16 operator yang semua berasal dari warga lokal. [wiwit agus pribadi]

Tags: