Ironis, Bangsa Tempe Impor Kedelai

Oleh :
Sutawi
Dosen Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang

Dalam puisi “Pity the Nation” Kahlin Gibran menulis, “Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak ia panen, dan meminum susu yang ia tidak memerahnya”. Puisi tersebut sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Indonesia adalah bangsa produsen dan konsumen tahu dan tempe, namun tidak mampu memproduksi kedelai dalam jumlah cukup, sehingga selama puluhan tahun harus mengandalkan kedelai impor. BPS mencatat impor kedelai Indonesia terus meningkat dari 2,26 juta ton (2016) menjadi 2,67 juta ton (2019). Sepanjang semester-I 2020 impor kedelai Indonesia mencapai 1,27 juta ton senilai US$ 510,2 juta (sekitar Rp 7,52 triliun), sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat. Selama sepuluh tahun terakhir, volume kedelai impor mencapai 2-7 kali lipat produksi kedelai lokal, sebagian besar berasal dari Amerika Serikat.

Ketergantungan terhadap kedelai impor berisiko terhadap bisnis tahu tempe jika terjadi lonjakan harga. Harga kedelai impor sejak Desember 2020 sampai awal Januari 2021 melonjak Rp9.200-10.000/kg dari harga sebelumnya Rp6.500-7.000 per kg. Pada harga kedelai Rp7.000, harga tempe berkisar antara Rp11.000-Rp12.000 ribu/kg. Ketika harga kedelai naik menjadi Rp9.200, biaya produksi tempe menjadi Rp14.000-an/kg. Lonjakan harga tersebut menyebabkan perajin tahu tempe di berbagai daerah mogok massal. Kejadian serupa pernah terjadi pada September 2013, di mana harga kedelai yang dalam kondisi normal sekitar Rp7.000/kg, mengalami beberapa kali kenaikan sebesar Rp300–Rp1.000/kg, dan bahkan telah melampaui batas keekonomian, yakni di atas Rp9.000/kg. Kejadian demikian dikawatirkan akan terulang dengan frekeunsi yang semakin sering dan intensitas yang semakin tajam.

Ada banyak masalah endemik pada agribisnis kedelai di Indonesia yang belum pernah teratasi. Pertama, luas panen, produksi, dan produktivtas kedelai rendah. Luas panen kedelai menurun sekitar 20.000 ha/tahun dari sekitar 1 juta hektar (2000) menjadi sekitar 600 ribu hektar (2019). Produktivitas kedelai di Indonesia hanya 1,0-1,5 ton/ha, kurang dari setengah produktivitas kedelai di Amerika sebesar 2,5-3,5 ton/ha. Kedelai berasal dari daerah subtropis, sehingga jika ditanam di daerah tropis seperti Indonesia, hasilnya lebih rendah dibanding di negara subtropis. Di daerah tropis, panjang hari (photoperiodisitas efektif) rata-rata sekitar 11-12 jam, sedangkan di daerah subtropis mencapai 14-16 jam. Karena kedelai termasuk tanaman yang peka terhadap photoperiode, maka di Indonesia umur kedelai menjadi pendek, cepat berbunga, dan produktivitas rendah. Kombinasi luas lahan menyusut dan produktivitas rendah menghasilkan produksi kedelai Indonesia hanya sekitar 900 ribu ton/tahun, di mana 32,87% di antaranya disumbang Provinsi Jawa Timur.

Kedua, konsumsi kedelai meningkat. Kedelai merupakan komoditas pangan yang penting setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, perekonomian dan kesadaran gizi. Kebutuhan kedelai nasional sekitar 2,5 juta ton setiap tahun sebagian besar (80,41%) digunakan untuk konsumsi langsung penduduk, 13,49% untuk industri makanan, 3,96% untuk hotel, restoran dan rumah makan, dan 2,14% untuk benih. Rata-rata konsumsi kedelai penduduk Indonesia sebanyak 7,51 kg/kapita/tahun, 89% di antaranya dikonsumsi dalam bentuk tempe 3,80 kg dan tahu 2,88 kg. Dalam masa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 saat ini, di mana pendapatan masyarakat menurun, tahu dan tempe merupakan sumber protein termurah dibanding daging sapi, daging ayam, telur, dan ikan.

Ketiga, minat petani menanam kedelai rendah karena keuntungan sedikit. Hasil survei BPS (2017) tentang ongkos usahatani menunjukkan keuntungan usahatani kedelai paling rendah. Keuntungan usahatani padi Rp 1,238 juta/ha/bulan, kacang tanah Rp 1,052 juta/ha/bulan, jagung Rp 1,047 juta/ha/bulan, singkong Rp 869 ribu/ha/bulan, dan kacang hijau 470 ribu/ha/bulan, sedangkan kedelai hanya Rp 307 ribu/ha/bulan. Selain itu, petani merasakan harga benih bermutu terlalu mahal, risiko kegagalan budidaya kedelai cukup besar terutama adanya serangan hama/penyakit, dan jaminan Harga Acuan Pembelian (HAP) yang ditetapkan pemerintah tidak berlaku, karena pada pada musim panen raya harga kedelai impor lebih murah.

Keempat, kualitas kedelai lokal rendah. Perajin tahu tempe menilai kualitas kedelai lokal lebih rendah dibanding kedelai impor. Kadar air yang terlalu banyak menyebabkan kedelai lokal lebih cepat membusuk, karena proses pengeringannya masih menggunakan cara dijemur. Bahkan, seringkali kedelai basah langsung dijual karena petani membutuhkan uang. Sebagai bahan baku pembuatan tahu, kedelai lokal sebenarnya lebih unggul dibanding kedelai impor, yaitu rasa tahu lebih lezat, rendemen lebih tingi, dan risiko terhadap kesehatan cukup rendah, karena bukan berasal dari benih transgenik. Kedelai lokal mempunyai banyak kelemahan jika digunakan sebagai bahan baku tempe, yaitu ukuran bijinya kecil, tidak seragam dan kurang bersih; kulit ari kedelai sulit terkelupas pada saat proses pencucian; proses peragiannya lebih lama; dan setelah menjadi tempe, proses pengukusan untuk mengempukkan lebih lama atau bahkan kurang empuk.

Kelima, gagal swasembada. Target swasembada kedelai pernah dicanangkan oleh Presiden Habibie melalui Gema Palagung 2001 (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, Jagung), dilanjutkan Presiden SBY melalui RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan). Pada tahun 2014 Presiden Jokowi juga menargetkan swasembada kedelai tahun 2017, kemudian diundur tahun 2020. Namun, target swasembada kedelai ketiga presiden tersebut gagal total. Sampai hari ini angka SSR (Sefl Sufficient Ratio) dan IDR (Import Dependency Ratio) kedelai Indonesia masing-masing 12% dan 88%. Artinya, tingkat keswasembadaan kedelai Indonesia hanya 12%, sedangkan ketergantungan impor mencapai 88%. Suatu negara dikatakan berswasembada jika angka SSR suatu komoditas minimal 90%.

Keenam, munculnya fenomena feeding frenzy. Feeding frenzy dirumuskan oleh McMohan (2017) sebagai situasi di mana negara pengekspor melakukan pembatasan terhadap arus keluar bahan pangan sebagai upaya menahan kenaikan harga dalam negeri. Sebaliknya, negara pengimpor menghapus semua bea impor dan berupaya mendatangkan sebanyak mungkin bahan makanan untuk mengamankan persediaan dalam negeri. McMahon menyebut, tindakan sebagian besar negara untuk mendahulukan kepentingan nasional masing-masing daripada bersinergi merumuskan kebijakan demi kemakmuran bersama justru memperparah krisis dan memicu kenaikan harga pangan dunia. Melonjaknya harga kedelai impor merupakan indikator terjadinya feeding frenzy. Kenaikan harga kedelai ini dipicu lonjakan permintaan kedelai oleh China kepada AS selaku eksportir kedelai terbesar dunia. Pada Desember 2020 permintaan kedelai China naik dua kali lipat, yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton. China tampaknya mengantisipasi peringatan FAO tentang krisis pangan akibat pandemi Covid-19 yang diperkirakan terjadi sampai tahun 2022.

———— *** ————-

Rate this article!
Tags: