Ishlah Politik Melalui Halal Bihalal

(Segera, Rekonsiliasi Akur Nasional Tanpa Syarat)

Oleh
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik
Sejak penentuan memilih hari proklamasi Republik Indonesia, Bung Karno, (presiden pertama RI), sudah dibuat pusing. Kelompok-kelompok aktifis politik masing-masing kukuh mempertahankan pemikirannya. Perbedaan makin sengit. Memuncak pada upaya, menculik dan membawa Bung Karno dari Rengas Dengklok ke Jakarta. Tetapi perbedaan politik saat itu, walau sengit, tidak sampai memutus hubungan silaturahim antar individu. Masih tetap makan bersama, tidur sekamar di rumah kontrakan.
Sesaat (dua pekan) setelah proklamasi, telah terjadi ishlah (rujuk) politik nasional. Terutama setelah penyusunan konstitusi (UUD 1945), yang cukup menguras energi persatuan nasional. Namun sebenarnya, perseteruan politik tidak pernah padam benar. Karena perbedaan visi politik dianggap sebagai kelaziman demokrasi. Terdapat koridor yang membatasi perseteruan. Yakni, keputusan yang diputuskan melalui suara terbanyak dengan jalan musyawarah.
Lobi politik menjadi keniscayaan. Walau tidak selalu berhasil mempersatukan pendapat. Pada forum BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Kemerdaan Indonesia), dan forum KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), perbedaan pendapat lazim terjadi. Akumulasi ketegangan politik sejak awal proklamasi berlanjut sampai beberapa tahun. Selama itu pula Bung Karno, selalu mencari formula “pendinginan” hiruk pikuk elit politik yang bisa menyebabkan kegaduhan sosial yang masif.
Indonesia yang baru diproklamirkan, masih menghadapi situasi sangat sulit di berbagai bidang. Tak terkecuali perekonomian yang minus, akibat penghisapan sumber-sumber oleh penjajah. Di berbagai daerah masih terjadi perang melawan tentara Belanda. Serta pengakuan internasional (negara-negara tetangga) belum banyak yang merespons proklamasi RI. Pengakuan kedaulatan negara Indonesia, baru dinyatakan oleh India, Mesir, dan Palestina.
Ironisnya, juga terdapat dua kelompok pemberontakan sekaligus yang harus dihadapi oleh pemerintahan Bung Karno. Yakni, ke-tidak puas-an tentara kelompok Darul Islam (DI-TII), dan pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Kedua pemberontakan terjadi bagai perang saudara, masing-masing dengan mengokang senjata. Lebih ironis, PKI juga melancarkan kriminal sistemik, terstruktur, dan masif, berupa penculikan orang, perampokan, dan pembunuhan sadis tokoh pemerintahan.
Politik Halal Bihalal
Ingat misalnya, pembunuhan Gubernur Jawa Timur (pribumi pertama), RMT Soerjo. Jasadnya ditemukan beberapa hari kemudian, di kawasan hutan jati Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur, Beberapa ustadz dan kyai di Madiun, dan sekitarnya (Pacitan, Ponorogo, Ngawi, dan Trenggalek), juga dibunuh oleh gerombolan kader PKI. Diantaranya, kyai pengasuh pesantren Tremas (Pacitan).
Sampai pada penghujung Ramadhan tahun 1948, Bung Karno, bertemu dengan KH Wahab Chasbullah (saat itu Rois ‘Am Syuriyah Pengurus Besar NU, seperti jabatan KH. Ma’ruf Amin, Cawapres Jokowi). Bung Karno, ingin diajarkan doa untuk menundukkan (mempersatukan elit politik). Tetapi tak terduga, KH Wahab Chasbullah, malah memberi formula mempersatukan elit politik, berdasar adat, dan budaya, sekaligus berbasis ajaran kewajiban agama.
Prinsipnya, formula yang difatwakan oleh KH Wahab Chasbullah, adalah silaturahim. Yakni, pertemuan seluruh pihak yang bersengketa, dengan momentum lebaran hari raya Idul Fitri. Bukan sembarang silaturahim, melainkan disertai pemberian maaf. Ini sesuai ajaran agama, sebagai substansi pesan dan spirit Idul Fitri. Hal itu dinyatakan dalam hadits Nabi SAW, yang diajarkan oleh malaikat Jibril. Bahwa, tidak akan diterima puasa Ramadhan, manakala tidak memberi maaf (dan meminta maaf) dalam pergaulan sosial.
KH Wahab Chasbullah, juga memberi istilah berlebaran (dengan saling memberi maaf), sebagai halal bihalal. Terminologi halal bihalal, diadopsi dari ilmu balaghah (sastera) tingkat tinggi. Hanya dimiliki oleh ulama yang menguasai ilmu sastera Islam dengan berbagai percabangan. Secara harfiah, halal bermakna seluruh jenis aktifitas fisik, dan pemikiran yang dianjurkan. Begitu pula dalam bentuk makanan dan minuman yang dianjurkan untuk dikonsumsi.
Halal, secara pendek bisa diartikan sebagai “oke.” Sehingga halal bihalal, berarti saling meng-oke-kan, segalanya (kesalahan) bisa dimaafkan. Bung Karno kepincut dengan formula halal bihalal yang digagas oleh KH Wahab Chasbullah. Maka sejak usai shalat Idul Fitri tahun 1948, dilakukan halal bihalal oleh presiden bersama seluruh kelompok elit politik. Sampai sekarang, setiap tahun, istana negara selalu menyelenggarakan halal bihalal. Bahkan terbuka untuk seluruh masyarakat.
Saat ini, lebaran resmi kenegaraan telah menjadi halal bihalal ke-71. Bukan hanya kalangan pejabat publik (elit politik), melainkan telah menjadi budaya yang masif. Halal bihalal gampang diterima sangat luas di seluruh Indonesia, menjadi kegiatan rutin di tingkat desa, dan kampung, hingga di perkantoran. Karena sesungguhnya, halal bihalal berbasis pada adat budaya di seluruh daerah.
Berbeda Bukan Musuh
Misalnya di Jawa, terdapat budaya sungkem-an. Yakni, permohonan maaf kepada kedua orangtua secara khidmat, dengan cara menunduk samai nyaris mencium dengkul orangtua. Sungkeman, tak jarang disertai isak tangis, dan doa seluruh anggota keluarga. Pada adat keraton, juga dilakukan sungkeman seluruh abdi dalem (pegawai kerajaan) kepada raja. Setelah sungkeman berlanjut pesta jamuan untuk rakyat umum.
Sejak diselenggarakan pertama kali, harus diakui, halal bihalal telah bernuansa (solusi) politik. Sebagai peredam perbedaan sengit politik. Tak terkecuali perbedaan pandangan yang sangat tajam antara Soekarno (Presiden) dengan Moh. Hatta (Wakil Presiden). Juga perbedaan pandangan politik jajaran Menteri (kabinet). Termasuk dalam penyusunan UUD maupun dasar negara (Pancasila). Tetapi perbeda pandangan politik, tidak menjadikan permusuhan permanen. Melainkan sekadar cara pandang dalam visi kebaikan tatanan kenegaraan.
Rasanya, realita suasana politik saat ini, nyaris lebih terbelah dibanding 71 tahun yang lalu. Keterbelahan politik saat ini disebabkan pemilu serentak (pilpres dan pileg). Dampaknya, telah terjadi pemisahan sosial secara diametral, terutama kalangan menengah dan elit pendukung Capres Cawapres. Sejak pengumuman dua bakal calon presiden, telah terjadi “tawur sosial” di medsos.
Berjuta-juta narasi, dan olok-olok ditebar. Begitu juga fakta-fakta palsu, dan data hoax di-posting luas. Berbagai tanda pagar (tagar) juga telah menunjukkan permusuhan nyata. Tak terkecuali menista institusi kenegaraan vital. Sampai menghina TNI, dan Mahkamah Konstitusi (MK). Begitu pula seluruh medsos (facebook, WhatsApp, twitter, instagram, sampai email), dan sejenisnya, telah dijadikan arena perseteruan masif. Perseteruan melalui dunia maya (medsos) bagai “perang terbuka” tanpa batas.
Berbagai konten berbasis medsos, telah dimanfaatkan untuk propaganda. Sekaligus menghantam pihak lain yang dianggap sebagai penghalang. Tanpa batas kebebasan menyatakan pendapat, nyata-nyata telah menyebabkan kegaduhan sosial. Persatuan dan ketahanan nasional, bisa terancam. Sudah banyak penyebar isu perusuhan sosial yang ditangkap, dan divonis penjara (melalui Pengadilan).
Coblosan pemilu serentak sudah usai. Rakyat telah melaksanakan hak dan kehendaknya. Hasil akhir pemilu telah bermuara di MK sebagai pengadil terakhir sengketa pemilu. Elit parpol wajib menjaga persatuan nasional. Keutuhan kebangsaan di atas segala kepentingan politik sesaat (kekuasaan). Toh dengan sistem demokrasi, partisipasi kenegaraan (dan ke-pemerintah-an), bukan hanya pada ranah ke-presiden-an (eksekutif). Melainkan juga bisa digencarkan pada ranah legislatif (parlemen pusat, dan DPRD).
Melalui momentum halal bihalal, kedua Capres, dapat berkumpul dalam kesetaraan. Menjalin rekonsiliasi politik tanpa syarat. Dalam konteks halal bihalal, tiada yang disebut pemenang maupun pecundang (kalah). Yang dinyatakan kalah dalam paradigm halal bihalal, adalah yang tidak bersedia minta maaf, dan tidak bersedia memberi maaf.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: