Ishlah “Secara Adat”

“Jika di kalangan atas politik berbuat, janganlah yang dibawah memakan tragedi.” Begitu kata Sri Sultan Hamengku Buwono (HB X), memberi tamsil ke-riuh-an politik dampak pilpres 2019. Sampai usai coblosan pemilu, ke-gaduh-an bagai masih “dipelihara” hingga tingkat grass-root. Suasana ke-guyub-an antar dua kubu Capres belum tersambung kembali. Karena itu Pemerintah Daerah dapat menggagas peran aktif peng-akur-an lokal.
Forum komunikasi pimpinan daerah (Forkompinda) termasuk Pangdam, Kapolda, Kajati, dan Ketua Pengadilan Tinggi, dapat berperan menggagas ishlah (sambung) politik. Perjamuan Forkompinda dapat menjadi jembatan ishlah. Artinya, menurut Sultan HB X, tokoh-tokoh di daerah yang bersimpati kepada 01 maupun 02, keduanya amat terbuka untuk bersama-sama memasuki gerbang ishlah kultural. Bagai selorohan, “diselesaikan secara adat.”
Ishlah sosial politik di daerah, sesungguhnya memiliki momentum strategis. Kalangan elit politik, khususnya jajaran DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) bisa melakukan melalui sidang paripurna. Karena usai lebaran hingga akhir bulan Juni, DPRD mulai membahas LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) Kepala Daerah terhadap pelaksanaan APBD 2018.
Di Jawa Timur, Pemandangan Umum fraksi-fraksi (partai politik) selalu diawali dengan kalimat “selamat hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir batin.” Selanjutnya dilanjutkan dengan berjabat tangan. Terasa plong. Walau masih banyak anggota dewan belum hadir dalam sidang paripurna. Begitu pula pembahasan pelaksanaan APBD 2018 di komisi-komisi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), juga diawali dengan ber-halal bihahal.
Suasana politik saat ini, nyaris lebih terbelah dibanding 71 tahun yang lalu. Ketika itu (tahun 1948) tercetus gagasan ishlah (silaturahim) politik kalangan elit bangsa. Bukan silaturahim biasa, melainkan dengan tema halal bihalal. Saling memaafkan. Keterbelahan politik saat ini disebabkan pemilu serentak (pilpres dan pileg). Pemisahan sosial “diametral” sebagai dampak sosialisasi Capres-Wapres, yang diikuti hanya dua pasangan calon.
Suasana dalam medsos “perang terbuka” tanpa batas. Berbagai tanda pagar (tagar) juga telah menunjukkan permusuhan nyata. Misalnya, tagar yang ditulis pada kostum, telah menimbulkan bentrok antar-pendukung. Begitu pula seluruh medsos (facebook, WhatsApp, twitter, instagram, sampai email), dan sejenisnya, telah dijadikan arena perseteruan. Sehingga ke-terbelah-an masyarakat, bagai jurang sangat luas dan dalam.
Selama tujuh bulan (Setember 2018 sampai April 2019), menjadi periode paling sulit. Karena suasana panas politik. Sejak pengumuman dua bakal calon presiden, telah terbukti adanya “tawur sosial” di media sosia (medsos). Berjuta-juta narasi, dan olok-olok ditebar. Begitu juga fakta-fakta, dan data hoax di-posting luas. Padahal pilpres secara langsung (dipilih rakyat) merupakan rutinitas politik lima tahunan, sesuai amanat konstitusi.
UUD pasal 6A ayat (1). Dinyatakan, bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Amanat ini sudah emat kali dilaksanakan oleh rakyat Indonesia (mulai pilpres tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019). Pada pilpres 2019, sebanyak 158 juta lebih masyarakat telah mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara). Masyarakat telah mencatatkan partisipasi terbesar selama 5 kali pemilu terakhir.
Ke-terbelah-an masyarakat tidak perlu terjadi, manakala elit politik menggunakan adat kesantunan. Tidak menista (dan menebar fitnah) kelompok lain. Bagai meng-iris seluruh tatanan sosial, ke-adat-an, dan ke-adab-an. Bersyukur, seluruh daerah memiliki budaya peng-akur-an secara adat. Terutama di kalangan keraton, melalui budaya perjamuan umum keluarga kerajaan, bersama abdi dalem (pegawai), dan masyarakat.
Maka seyogianya, kearifan lokal dapat berperan aktif dengan mengundang elit politik nasional sesuai daerah pemilihan. Ishlah secara adat, akan merekatkan kembali kesatuan nasional, tanpa pandang altar politik.

——— 000 ———

Rate this article!
Ishlah “Secara Adat”,5 / 5 ( 1votes )
Tags: